JUAL BELI SYARIAH

Pertanyaan:

Di sekitar kita sering ada transaksi jual beli dengan harga berbeda antara tunai dan cicil, misalnya jika membeli tunai dikenakan harga Rp 100.000,00, namun jika membeli dengan dicicil dikenakan harga Rpp 120.000,00 untuk dua kali pembayaran dan tempo dua bulan.

 

Apakah selisih harga tersebut termasuk riba? Kalau untuk membeli rumah/kendaraan kansulit untuk membayar tunai. Bagaimana hukumnya jual beli kredit dalam Islam? Kredit seperti apa yang diperbolehkan?

 

Jawaban:

Memberikan 2 penawaran harga itu boleh. Yang tidak boleh adalah 2 akad dalam 1 transaksi.

 

Meski ada 2 penawaran, nanti ketika akad tetap hanya salah satu harga yang dipakai. Misalnya harga tunai saja atau harga kredit saja. Jadi tidak termasuk 2 akad dalam 1 transaksi.

 

Kredit rumah/kendaraan itu halal, namun menjadi haram apabila:

1.      Ada denda jika terlambat bayar. Ini termasuk riba.

2.      Barang yang dijadikan jaminan adalah barang yang sedang dikredit itu. Ini haram karena barang itu belum sepenuhnya milik kita. Ini biasa terjadi di leasing. Seharusnya, barang yang dijadikan jaminan adalah barang lain.

3.      Ada 2 akad dalam 1 transaksi. Ini juga biasa terjadi di leasing. Misalnya kita kredit motor, itu sebenarnya akadnya 2, yaitu sewa dan beli. Ketika masih dalam waktu mencicil, leasing menganggap itu masa sewa sehingga jika kita tidak sanggup bayar, maka motornya disita. Setelah lunas, akadnya berubah jadi beli.

 

 

Penjelasan:

 

JUAL BELI KREDIT

 

Al-Bay’ (jual-beli) secara bahasa artinya pertukaran, sedangkan secara syar‘i bermakna mubâdalah mâl[in] bi mâl[in], tamlîk[anl wa tamalluk[an] ‘alâ sabîl at-tarâdhî, yaitu pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua pihak.

 

Jual-beli ada tiga bentuk, yaitu

1.        Jual-beli tunai, di mana barang dan harga diserahterimakan pada saat akad.

2.        Jual-beli salaf atau salam (pesanan), di mana harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu.

3.        Jual-beli kredit, di mana barang diserahkan pada saat akad, sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil. Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay’ bi ad-dayn wa bi at-taqsîth).

 

Syariah memperbolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282.

 

Aisyah ra. meriwayatkan, “Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya.” (HR al-Bukhari)

 

Aisyah ra. juga menuturkan bahwa Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga sembilan awqiyah yang dibayar satu awqiyah setiap tahun (HR al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan cara dicicil.

 

Rukun Jual-beli Kredit

1.    Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz.

2.   Shighât (ijab-qabul).

3.    Mahal al-’aqd (objek akad), yaitu al-mabi’(barang  dagangan) dan ats-tsaman (harga).

 

Syarat-syarat al-mabî’ (barang dagangan)

1.    Al-mabî’ itu harus sesuatu yang suci, tidak najis

2.    Halal dimanfaatkan

3.    Adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya

4.    Harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul.

5.    Jika barang dagangannya berupa tamar(kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab(emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh(garam) maka tidak  boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit.

 

Rasul saw. bersabda:

 

َناَك اَذِإ ْمُتْئِش َفْيَكدَيِب اًدَي اوُعيِبَف ُفاَنْصَألْا ِهِذَهْتَفَلَتْخا اَذِإَف ٍدَيِب اًدَي ٍءاَوَسِب ًءاَوَس ُحْلِمْلاَوٍلْثِمِب ًالْثِم ِحْلِمْلاِب ِرْمَّتلاِب ُرْمَّتلاَوِريِعَّشلاِب ِّرُبْلاِب ُّرُبْلاَو ِةَّضِفْلاِبُريِعَّشلاَو ُبَهَّذلاُةَّضِفْلاَو ِبَهَّذلاِب

 

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)

 

Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.

 

6.    Al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya.

 

Rasul saw. bersabda:

 

َكَدْنِع َسْيَل اَمْعِبَت َال

 

“Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi)

 

Jual-beli kredit ini tidak seperti as-salaf atau as-salam yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. Jika barang itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit. Ketentuan ini menjadi salah satu titik kritis dalam muamalah al-murâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’—sering disebut murabahah saja—dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil, atau yang sejenis.

 

Supaya akad jual-beli kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mabî’ itu dari penjual kepada pembeli. Jika al-mabî’ itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd, al-makîl wa al-mawzûn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan qabul, terjadilah perpindahan pemilikan atas al-mabî’. Intinya, pemilikan pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna jika tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharruf barang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi, dihibahkan dan sebagainya.

 

Harga dalam Jual Beli Kredit

Adapun harga dalam jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang (dayn), baik dibayar sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi di atas.

 

Seseorang boleh menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kredit—biasanya lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:

 

ٍضاَرَتْنَع ُعْيَبْلا اَمَّنِإ

 

“Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli).” (HR Ahmad dan Ibn Majah).

 

Jadi, seorang penjual berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pula pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai ataupun kredit. Namun, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual-beli, harus satu harga. Misal, boleh saja si A mengatakan, “Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu, kalau kredit sebulan 110 ribu.” Jika si B berkata, “Saya beli kredit satu bulan 110 ribu,” maka jual-beli itu sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, “Baik, saya setuju,” atau, “Baik, saya beli.” Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Mas‘ud mengatakan:

 

ٍةَدِحاَو ٍةَقْفَص يِف ِنْيَتَقْفَص ْنَع ملسو هيلع هللا ىلصِهللا ُلوُسَر ىَهَن

 

Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu akad (HR Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani).

 

Jika telah disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya, kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi tetapi dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya tidak boleh. Sebab, itu artinya telah terjadi dua jual-beli dalam satu barang atau satu jual-beli (bay’atayn fî al-bay’ah). Abu Hurairah berkata:

 

ٍةَعْيَب يِفِنْيَتَعْيَب ْنَع ملسو هيلع هللا ىلصِهللا ُلوُسَر ىَهَن

 

“Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu jual-beli.” (HR. Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban)

 

Jika terjadi kasus tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:

 

اَبِّرلاْوَأ اَمُهُسَكْوَأُهَلَف ِنْيَتَعْيَب َعاَب ْنَم

 

“Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya harga yang lebih rendah atau riba.” (HR. Abu Dawud)

 

Jadi, jika terjadi kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga awal adalah riba.

 

Ada jenis jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp 10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli seperti ini yang menurut para fukaha dinamakan al-bay’ al-‘înah. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:

 

ْمُهَنيِد ىَّتَح ْمُهْنَع ُهْعَفْرَي ْمَلَفْوُعِجاَرُي ِليِبَس،ًّالُذ ْمِهِب ُهللا َلَزْنَأ،ِهللا يِف َداَهِجْلا اوُكَرَتَو،ِرَقَبْلا َباَنْذَأ ،ِةَنيِعْلاِب اوُعَياَبَتَواوُعَبَّتاَو اَذإ،ِمَهْرِّدلاَو ِراَنيِّدلاِبُساَّنلا َّنَض

 

“Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli secara al-‘înah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka.” (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la)

 

Wallahu a'lam bisshowaab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gunung Cupu

BUDAK ANGON JEUNG BUDAK JANGGOTAN

Sapuratina