Selasa, 21 November 2017

Sapuratina

Poek mongkleng buana nalika nyengled sarangenge.
Tinghaleuang patembalan mangrupa adzan.
Dina rancucut waragad iman jeung ihsan
Galideur hate bangbaung mertela bunisora.
Gumati lumampah eusi cawet jeung ubun-ubun.
Nyanggakeun manah sapuratina.

Kadar rasa balukar hate, kadar bagja tandesna wilangan
Ilahar warta nu matak cilaka
Ilahar beja nu matak parna
Teu aya titirah dunya ngajadikeun amarwatasuta.
Saukur rekaan gede leutik carita
Omat tegeskeun rangkeupkeun
Laer aisan sugih harepan
Miboga mundinglaya dina carantang

Leuweung ngajadi lembur
Lembur ngajadi puser
Puser ngajadi dumasar ragragna basa
Basa tingkeletrek ngajadi dangdanggula
Pupuh sinom magatru nyurup sapuratina
Sapuratina hideup ku hideup, urang ku urang.
Kawula sapuratina ngalayang dina tangtung
Tegeskeun budi ngahiji dina purwarupa
Leberkeun taktak medarkeun tanggungan.
Rawuh pangaweruh sapuratina.
Enjagkeun kilurah drona dina amarta.
Omat jeung sapuratina

Kamis, 16 November 2017

TUTUGAN LANDEUH SARONGGE

Tutugan Landeuh Sarongge

Lamping gawir cipelah minangka datarna
Cibarani kimaranggi nya sikluk pasaleman
Nangkod rupa negrak dayeuh aisan gunung sawal
Carita heubeul nandeskeun sim kuring nyanding ku cibenyerna
Ka ibunan ka caian ka anginan ka soraan Tutugan Landeh Sarongge

Tilu taun ka carita samemeh  Galunggung Bucat ku Tohagana
Mangsa janari maju ka shubuh miheulaan kongkorongok hayam
Amanah bijil mangrupa jaladra dina purwarupa nu teu bireuk
Maju bari mipir buana jagat alas pringga dina cala
samemeh mangsa ditutupna lawang sigotaka

Ngider rasa, ngumbar hate sapanimuan nu acan katimu
Mapag lampah ngedalkeun sora nu acan kahaleuang
Ngemplongkeun beja bari irit ku ngentepna  harti anu buni
Nyuprih pangaweruh anu sesa pinilih ngarah teu leuwih kiruh
Karasa lain ku carita matak ku matakna ragragna cimata
Karasa lain ku carita matak ku matakna manah gumbira
Silih dedetkeun dina kala pertengtang.

Ema, Bapa, doakeun
Nini, Aki, pangapingkeun
Allahu Rabbi Ijati Ridhoan abdi
katukang sakitu kahotna, kahareup kacipta ragotna
Ujang lain kumbakarna, lain rahwana sumawona lain sugriwa tur sri rama
Ngan saukur cai pati tutugan Landeh Sarongge
Anu nyanding ku cibenyerna, mugia Ginanjar Kawilujengan 

By Sanx Atoeb Damai

Rabu, 15 November 2017

Cika-cika manahna khalifah

Beuki poek tambah baranang
Beuki tiis tambah haneut
Cika-cika gumantung kanu caang
Burudul salenyeupaneun
Balatak saurusaneun
Ting alabring sakabutuhna
Ilaharna Cika-cika ngan lain nu eta tea

Saha atuh geuning bet tambah peuting lain tambah jempling,
Sanajan enyana mongkleng jentre tambah caraang,
Tegesna kasab doroba fil ardhi teu weleh anggeus,  datang aleut aleutan tuluy tuluyan
Nyuprih harti tafsirna rasa, manusa dina buana peuting, karandapan sakabehna mugia selamat rawuh bagja dina pepeling jeung pitulung Rabbul Ijati.

BISNIS DALAM SYARIAH ISLAM

Kerja Sama Bisnis (Perseroan) yang Dibolehkan dalam Islam

 

 

PERTANYAAN:

Saya, si B dan si C diajak berkerja sama untuk membuat Rumah Bersalin. Modal dan tempat menggunakan milik si D. Kami akan menggunakan sistem bagi hasil. Tetapi saya belum mengerti bagi hasil yang baik itu seperti apa? Selain itu, si C dan si D merupakan non muslim, bagaimana hukumnya berkerja sama dengan mereka?

 

 

JAWABAN:

1.    Dari fakta di atas, maka model syirkah yang mungkin dilakukan adalah mudharabah. Anda, A dan B adalah Mudharib (pengelola) dan C adalah Shahibul Maal (Pemodal)

2.    Dalam rukun syirkah mudharabah tidak ada syarat harus muslim. Yang penting dia bisa melakukan tasharruf (pengelolaan) dan bersedia berakad memakai syirkah mudharabah.

3.    Tentang bagi hasil, itu sesuai kesepakatan. Mau 60:40 silakan, mau 70:30 silakan.

4.    Karena modalnya bukan berupa uang, maka di perjanjian harus dinilai dengan uang. Misalnya, alat kesehatan senilai 50 juta, bangunan senilai 200 juta.

5.    Tentukan dasar kalkulasi pada modal yang berupa barang. Dalam kasus ini, nilai bangunan dapat dihitung berdasarkan sewa bangunan selama akad berlangsung atau pun berdasarkan nilai jual bangunan. Misal, akad kerja sama Rumah Bersalin berlangsung selama 20 tahun, maka hitunglah nilai sewa selama 20 tahun dan itu mnjadi nilai modal pemilik bangunan serta bangunan tetap miliknya. Namun bila dasar kalkulasinya adalah harga jual bangunan beserta tanahnya, maka tanah dan bangunan itu menjadi harta syirkah dan saat syirkahberakhir misal, maka bnngunan itu dinilai ulang dan menjadi bagian dari perhitungan harta yg dikembalikan sesuai dengan modal masing-masing.

PENJELASAN:

Kerja sama bisnis (perseroan) yang dibolehkan dalam istilah syariah Islam disebut "SYIRKAH". Lalu, apa sih Syirkah itu?

 

Definisi Syirkah

 

Kata syirkah berasal dari kata syarika-yasyraku–syarik[an] wa syirkat[an] wa syarikat[an], artinya mukhâla-thah asy-syarîkayn atau dalam bahasa Indonesia adalah percampuran dua hal yang bersekutu. Syirkah secara bahasa artinya percampuran dua bagian atau lebih sehingga tidak bisa lagi dibedakan satu sama lain.

Secara istilah, syirkah adalah ijtimâ’fî istihqâq aw tasharruf, yaitu pertemuan dalam hal hak atau pengelolaan. (Ibn Qudamah, Al-Mughni, V/109, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983). Yang dimaksud dengan Ijtimâ’ fî istihqâq adalahsyirkah al-milk, sedangkan Ijtimâ’ fî tasharrufadalah syirkah al-’aqd. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa syirkah itu ada dua macam, yaitu syirkah al-milk dan syirkah al-’aqd.

Semua fukaha berpandangan bahwa syirkah—baik syirkah al-milk maupun syirkah al-’aqd—termasuk al-‘uqûd al-jâ’izah, bukan al-‘uqûd al-lâzimah. Artinya, masing-masing pihak berhak memisahkan diri atau keluar dari syirkah kapan saja ia kehendaki.

Rukun Syirkah

 

Syirkah al-’aqd absah jika memenuhi ketentuan syariah berkaitan dengan rukun dan syarat keabsahan akadnya.

 

Rukun syirkah ada 3, yaitu:

 

1.        Adanya ijâb-qabûl

Dalam ijâb-qabûl harus ada ungkapan baik lisan atau tertulis, bahwa salah satu pihak mengajak pihak lain untuk berserikat melakukan aktivitas bisnis, dan harus ada penerimaan/persetujuan pihak lain terhadap ajakan itu. Oleh karena itu, sekadar kesepakatan untuk berserikat tidak bisa disebut akad syirkah. Begitu pula kesepakatan menyetor sejumlah harta untuk berserikat seperti dalam kasus PT dan koperasi juga belum bisa dinilai sebagai akad syirkah. Akad syirkah harus mengandung pengertian berserikat untuk melakukan suatu aktivitas finansial/bisnis.

 

2.        Adanya dua pihak yang berakad (Al-‘âqidâni)

Pertama, pihak yang menyatakan ijâb, yaitu pihak yang menyampaikan ajakan berserikat untuk melakukan suatu aktivitas bisnis. Kedua, pihak yang menyatakan qabûlatau menerima ajakan itu. Kedua pihak itu harus memiliki kelayakan (ahliyah) melakukan tasharruf.

 

3.        Obyek akad (ma’qûd ‘alayhi)

 

(Al-Jazairi, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, hlm. 69; Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm, hlm. 13, Dar as-Salam, 1989).

Syarat Sah Syirkah

 

1.    Akad syirkah dipandang sah jika memenuhi dua hal berikut, yaitu:

·        Obyek akad harus berupa tasharruf.

·        Tasharruf yang diakadkan itu harus bisa di-wakalah-kan sehingga apa yang diperoleh dari tasharruf itu menjadi hak kedua pihak secara berserikat.

(Lihat: an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 148, Dar al-Ummah, cet vi [muktamadah]. 2004).

2.    Ada unsur al-badn (unsur badan)

Di dalam syirkah juga harus ada unsur al-badn (unsur badan), yaitu pribadi yang memiliki hak melakukan tasharruf atau menjalankan aktivitas syirkah. Disebut unsur badan karena andilnya berupa badan (tenaga dan pikiran) untuk mengelola syirkah, bukan modal.

 

Adanya unsur badan ini merupakan syarat mendasar yang menentukan terakadkan-tidaknya atau ada-tidaknya syirkah itu. Alasannya, yaitu:

·          Pertama, karena di dalam syirkah itu harus ada kesepakatan antara al-‘âqidâniuntuk melakukan aktivitas finansial/bisnis (‘amal[un] mâliy[un]). Itu artinya, aktivitas finansial itu harus berasal dari kedua pihak atau salah satunya. Jadi harus ada unsur badan yang melakukannya.

·          Kedua, syirkah adalah akad atas tasharruf.Tasharruf itu harus keluar dari syarîk (pihak yang ber-syirkah). Jadi di dalam akad syirkah itu harus ada mutasharrif (yang melakukan tasharruf) syirkah. Jika tidak ada mutasharrif itu maka akadsyirkah tersebut tidak terjadi. Jadi di dalam akad syirkah harus ada unsur badan yang menjadi mutasharrif syirkahtersebut.

·          Ketiga, hukum syariah berkaitan dengan perbuatan hamba, artinya berkaitan dengan perbuatan pribadi tertentu dan satu pribadi tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan pribadi yang lain. Syirkah adalah hukum syariah. Jadi hukum syirkah itu berkaitan dengan pribadi orang yang ber-syirkah. Jika di dalam syirkah itu tidak ada badan yang menjadi sandaran hukum syirkahmaka artinya syirkah itu tidak ada, dan berikutnya hukum syirkah itu juga tidak terjadi karena obyek hukumnya tidak ada.

Atas dasar semua itu, di dalam akadsyirkah tersebut harus ada pihak yang di dalam akad syirkah dinyatakan sebagai mutasharrif syirkah, yaitu pribadi yang diakadkan untuk menjalankan aktivitassyirkah. Mudahnya, di dalam akad syirkahharus ada pihak yang menjadi pengelolasyirkah yang bukan sekadar sebutan, tetapi pengelola sebagaimana yang dimaksudkan dalam hukum syirkahdengan segala konsekuensinya.

 

Pembagian Keuntungan dan Kerugian

 

Islam menegaskan bahwa bukan hanya keuntungan saja yg harus dibagikan, tapi juga kerugian. Yang dijadikan patokan adalah prinsip profit and lost sharing (bagi-hasil keuntungan dan kerugian), bukan revenue sharing (bagi-hasil pendapatan). Keuntungan dan kerugian itu mengikuti kontribusi syarîk(mitra). Kontribusi para mitra itu bisa berupa harta/modal, bisa berupa kegiatan (tasharruf) (tenaga, pikiran dan waktu) menjalankan aktivitas bisnis syirkah itu.

 

Prinsip dalam pembagian keuntungan dan kerugian itu adalah seperti ungkapan oleh Ali bin Abi Thalib ra. yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq di Mushannaf-nya:
“Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra).”

Dalam hal ini bukan berarti pengelola tidak merugi. Pengelola menanggung kerugian aktivitas tasharruf-nya, yaitu rugi tenaga, pikiran dan waktunya. Sebab ketika syirkah itu impas—apalagi rugi—maka pengelola itu tidak akan mendapat bagian laba sama sekali. Sebab, tidak ada laba yang bisa dibagi. Artinya, semua jerih payah, tenaga, pikiran, waktu, dsb yang ia curahkan dalam mengelola atau menjalankansyirkah itu tidak mendapat hasil apa-apa. Itulah bentuk kerugian yang dialami oleh pengelola.

Pembagian laba itu dilakukan di akhir tiap periode syirkah setelah dilakukan perhitungan rugi-laba. Sebab, saat itulah diketahui besaran labanya. Untuk itu, mengingat kemaslahatan pengelola, periode syirkah itu hendaknya dibuat pendek.

Perlu dingat bahwa syirkah termasuk ’aqd[un] mustamirr[un] (akad kontinu). Artinya, setiap kali suatu periode berakhir, secara otomatis akadnya diperbarui. Jika ada mitra yang keluar, sementara para mitra lain tidak, maka akadsyirkah itu dibatalkan untuk mitra yang keluar itu dan secara otomatis diperbarui untuk para mitra yang tidak keluar. Dengan begitu periodesyirkah bisa dibuat pendek, seperti bulanan, mingguan bahkan untuk bisnis tertentu bisa harian.

Macam-macam Syirkah

 

1. Syirkah al-milk.

Syirkah al-milk adalah syirkah al-‘ayn, yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam kepemilikan suatu harta. Syirkah ini bisa muncul tanpa ikhtiar keduanya atau bersifatjabr[an] (paksaan) seperti persekutuan atas harta waris, hibah atau wasiat. Syirkah ini bisa juga muncul karena ikhtiar keduanya seperti melalui pembelian satu harta secara patungan.

Dalam syirkah al-milk, bagian masing-masing tidak bisa dipisahkan dari bagian yang lain karena kepemilikan mereka telah bercampur. Dalam syirkah al-milk, pertumbuhan/pertambahan harta dan kerugian/konsekuensinya menjadi milik dan tanggungan bersama menurut porsi kepemilikan masing-masing. Misal, dua orang membeli mobil/gedung secara patungan dengan porsi 60:40. Hasil sewa mobil/gedung itu atau biaya perawatan atau kerusakannya dibagi menurut porsi 60:40 itu.

2. Syirkah al-’aqd.

Syirkah al-’aqd adalah syirkah yang terbentuk di antara dua pihak atau lebih menurut akad syar’iberdasarkan keinginan, kehendak dan dengan inisiatif dari keduanya. Syirkah al-’aqd ini kemudian lebih menonjol dan akhirnya jika disebut syirkah saja maka yang dimaksud adalah syirkah al-’aqd ini.

 

Menurut istilah syar’i, syirkah adalah akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat melakukan suatu aktivitas finansial (bisnis) dengan tujuan memperoleh laba. (An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 148).

Syirkah hukumnya mubah berdasarkan taqrîr(pengakuan) Nabi saw. atas syirkah yang dilakukan para Sahabat kala itu. Selain itu, Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
“Allah telah berfirman: Aku adalah Pihak Ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).

Dari elaborasi atas syirkah al-’aqd dan hukum syariah serta dalil-dalil terkait, syirkah al-’aqditu meliputi lima jenis: 

a.      Syirkah Al-inân

Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat. (An-Nabhani, 1990: 148)

 

Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

 

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.

 

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.

 

Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).

b.      Syirkah Al-abdan

Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). (An-Nabhani, 1990: 150)

 

Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35).

 

Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]

Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

c.      Syirkah Al-mudhârabah

Inilah yang paling banyak dipraktekkan. Untuk itu penjelasannya lebih panjang dari yang lain.

Al-Fairuz Abadi di dalam al-Qâmûs al-Muhîth mengatakan: Mudhâra-bah secara bahasa: al-mudhârabah dari dharaba;dharabat ath-thayru tadhribu: pergi mencari rezeki; dharaba fi al-ardhi dharb[an] wa dharbân[an]: keluar berdagang atau berperang, atau bergegas atau pergi.
Dharaba fi al-ardhi bermakna safar (bepergian) seperti dinyatakan dalam QS an-Nisa’ [4]: 101. Adakalanya bepergian itu untuk mencari rezeki (QS al-Muzammil [73]: 20).

Menurut Ibn Manzhur di dalam Lisan al-‘Arab, kata mudharib digunakan untuk menyebut al-âmil, sebab dialah yang bepergian, datang dan pergi mencari rezeki.Mudhârabah adalah istilah penduduk Irak dan lebih banyak digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali. Penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan qirâdh ataumuqâradhah, yang lebih banyak digunakan oleh ulama mazhab Syafii dan Maliki.

Secara istilah, mudhârabah atau qirâdh, adalah persekutuan badan dengan harta. Maknanya, seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain agar orang lain itu membisniskan harta tersebut dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi kepada mereka sesuai dengan kesepakatan. (Lihat, an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 156; Ibn Qudamah, Al-Mughni, hlm. 134-135)

 

Badan tersebut adalah kiasan dari tenaga yang menjadi andil salah satu pihak dalam mudharabah tersebut.

Mudharabah itu bisa dalam tiga bentuk, yaitu:

·        Pertama: mudharib ikut andil modal ditambah modal dari syarik (mitra) lainnya.

·        Kedua: mudharib hanya andil tenaga, sementara modal dari syarik lainnya, misal antara satu orang pengelola dengan dua orang pemodal.

·        Ketiga: dua orang sama-sama mengelola dengan modal berasal dari salah satu diantara mereka. Bentuk ketiga ini oleh Ibn Qudamah dalam Al-Mughni wa Syarh al-Kabîr dinilai sebagai bentukmudharabah.

 

Mudharabah adalah syirkah (kemitraan) yang halal secara syar’i. Al-Kasani dalamBadâi’ ash-Shanâi’ menyatakan bahwa orang-orang biasa melakukan akadmudharabah dan Nabi saw. tidak mengingkari mereka sehingga hal itu merupakan persetujuan (taqrîr) dari Nabi atas kebolehan mudharabah.

Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Hakim bin Hizam juga menyerahkan harta sebagaimudharabah dan mensyaratkan seperti syarat al-‘Abbas. Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub dari bapaknya dari kakeknya bahwa Utsman memberikan harta secaramudharabah. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya bahwa Umar ra. pernah menyerahkan harta anak yatim secaramudharabah.

 

Imam asy-Syaukani dalam Nayl al-Awthar, setelah memaparkan sejumlah atsar itu, menyatakan, “Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa mudharabah dilakukan oleh para Sahabat tanpa ada seorang pun yang mengingkari sehingga hal itu menjadi ijmak mrereka bahwa mudharabah adalah boleh.”

Ibn al-Mundzir di dalam Al-Ijmâ’menyatakan, “Para ahli ilmu telah berijmak atas kebolehan mudharabah secara keseluruhan.”

Rukun akad mudharabah ada tiga, yaitu:

 

-        Pertama: dua pihak yang berakad

 

Akad mudharabah hanya sah dilakukan oleh mereka yang secara syar’i sah melakukan tasharruf, yaitu orang yang berakal, balig dan tidak sedang di-hijr(dilarang oleh hakim untuk melakukantasharruf, termasuk melakukan transaksi finansial).

 

Dua pihak yang berakad (al-‘âqidân) yang dimaksud bukan jumlahnya harus dua orang, melainkan dua pihak itu adalah satu pihak yang menjadi mûjib(menyampaikan ijab/ajakan) dan pihak yang menyampaikan qabul.

-        Kedua: ash-shighat, yaitu ijab dan qabul

Ash-Shighat atau ijab dan qabul harus dilakukan terpaut antara ijab dan qabul-nya atau harus dalam satu majelis akad. Di dalam ijab-qabul ini harus jelas andil dari masing-masing syarik (mitra), artinya harus jelas siapa yang menjadimudharib (pengelola) dan siapa yang menjadi pemodal.

-        Ketiga: obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh), yaitu amal (aktivitas), modal, dan keuntungan.

 

Obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh)mudharabah yaitu al-’amal, ra’s al-mâl(modal) dan ar-ribhu (laba). Terkaital-’amal, sebagai syirkah maka dalammudharabah harus jelas aktivitas bisnis yang diakadkan.

 

Harus dipahami dengan jelas batasan aktivitas yang termasuk dalam cakupan bisnis dalam syirkah itu, atau yang menjadi cakupan aktivitas mudharib(pengelola). Kejelasan ini penting sehingga semua pihak dapat menakar andil al-’amal itu dalam bisnis dan hasilnya. Hal itu bisa menjadi pertimbangan penting untuk membuat kesepakatan tentang pembagian laba. 

Terkait ra’s al-mâl atau modal maka ada beberapa ketentuan:

-     Modal haruslah ‘aynan (zat harta) dan ada pada waktu akad, tidak boleh berupa utang atau piutang yang ada di pihak lain.

-     Modal hendaknya dalam bentuk dinar (emas), dirham (perak) atau uang sehingga nilai nominalnya jelas. Ketentuan ini merupakan jumhur ulama.

-     Jika berupa barang, komidoti, jasa atau manfaat seperti manfaat ruko misalnya, maka para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Jika berupa barang, komoditi atau manfaat maka harus disepakati nilainya atau dinominalkan pada saat akad.

-     Jumlah modal harus jelas pada saat akad syirkah. Hal ini penting untuk mengetahui besarnya laba nantinya.

-     Mudharabah tidak sah kecuali modal seluruhnya diserahkan atau menjadi berada dalam kekuasaan mudharibpada saat akad syirkah. Tidak boleh ada sebagian modal yang diutang atau diserahkan kemudian. Akadmudharabah mengharuskan hal itu. Aktivitas finansial (bisnis) yang diakadkan itu dilakukan terhadap modal dan hal itu langsung berlaku sejak akad dilangsungkan sehingga modal yang diakadkan seluruhnya harus diserahkan kepada mudharib.

 

Adapun terkait ar-ribh (laba) maka harus diperhatikan:

-     Besarnya nisbah keuntungan yang menjadi bagian masing-masing syarik, baik pengelola maupun pemodal, harus disepakati.

Ø  Besarnya nisbah laba itu dapat disepakati, baik dengan memperhatikan porsi andil masing-masing berupa tenaga maupun modal, atau pun tanpa memperhatikan hal itu.

Ø  Besarnya laba tidak boleh ditentukan nilai nominalnya, tetapi hanya berupa nisbah atau prosentase atas laba.

Ø  Jika ditentukan nilai nominalnya, menurut Ibn Qudamah dalam Syarh al-Kabîr, membuat akadmudharabah itu batil.

 

-     Kerugian finansial hanya menjadi tanggungan modal.

Ali bin Abi Thalib berkata:
“Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra).” (HR Abdurraqaq dan Ibn Abi Syaibah)

Syirkah itu mencakup wakalah dan wakil tidak menjamin dan kerugian hanya ditanggung pihak yang mewakilkan, kecuali kerugian itu karena kesengajaan wakil. Selain itu, bagian laba dan tanggungan kerugian itu mengikuti andil. Badan tidak menanggung kerugian harta, melainkan merugi tenaga, waktu dan pikiran yang dicurahkan saja.

 

-     Pembagian laba dilakukan setelah dihitung rugi-labanya dan modal disisihkan (dikembalikan ke pemodal).

Ø  Untuk itu harus ditentukan periodesyirkah, bisa pertransaksi, harian, mingguan, bulanan, tahunan; sesuai dengan fakta bisnis dan mempertimbangkan kemaslahatan pengelola sebab ia bisa jadi bergantung pada pembagian laba itu sebagai penghasilannya.

Ø  Jika akad mudharabah sempurna, maka konsekuensinya hak mengelola syirkah itu hanya dimiliki oleh mudharib. Ia berhak menjalankan syirkah itu sesuai pandangan dan pendapatnya sendiri. Pemodal tidak memiliki hak atas pengelolaan syirkah itu. Sebab, akad mudharabah itu terjadi atas badan pengelola dan harta pemodal, bukan atas badan pengelola dan pemodal sehingga pemodal menjadi seperti orang asing dari syirkah itu dan ia tidak berhak atas pengelolaan syirkahtersebut.

Ø  Namun pemodal boleh menetapkan syarat-syarat atas pengelolaansyirkah itu pada saat akad.Mudharib wajib terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan itu dan tidak boleh menyalahinya sebab ia mengelola syirkah itu sesuai dengan izin sehingga ia terikat dengan izin yang diberikan.

Ø  Mudharib tidak boleh bekerja kepada syirkah yang ia kelola. Sebab, akad mudharabah itu terjadi atas badannya dan aktivitas pengelolaan syirkah itu menjadi konsekuensi dari akad tersebut.

Ø  Namun, jika pekerjaan itu di luar cakupan aktivitas, pengelolaansyirkah dan tidak mengganggu pengelolaan syirkah maka orang yang menjadi mudharib itu boleh mengerjakannya dan mendapat upah. Misal, mengecat toko, sementara bisnis syirkah-nya adalah perdagangan.

Ø  Adapun pemodal, ia boleh bekerja kepada syirkah yang ia modali itu. Sebab, badan pemodal itu tidak menjadi obyek akad syirkah dan ia seperti orang asing dari syirkahitu.

Syirkah termasuk ‘aqd[un] jâiz[un] sehingga masing-masing boleh membatalkan akadsyirkah mudharabah kapan saja. Jika salah seorang syarik meninggal maka akadsyirkah itu batal.

 

Namun, harus diingat, akad syirkahtermasuk ‘aqd[un] mustamirr[un], secara otomatis diperbaharui seiring waktu. Jika satu periode syirkah berakhir, atau ada yang menarik diri, maka secara otomatis akadsyirkah itu diperbarui untuk semua syarik yang tidak menarik diri.

d.     Syirkah Al-wujûh

Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkahwujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat.

 

Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkahmudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkahantara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.(An-Nabhani, 1990: 154)

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan.Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdansendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam. (An-Nabhani, 1990:154)

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkahyang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan. (An-Nabhani, 1990: 155-156)

e.       Syirkah Al-mufâwadhah 

Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh). (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25)

 

Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156)

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupasyirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupasyirkah wujûh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja.

Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.

Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujudsyirkah inân di antara B dan C.

Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkahwujûh di antara B dan C.

Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkahyang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

 

Kelima jenis syirkah itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam sepanjang memenuhi syarat-syarat dan hukum-hukumnya.

JUAL BELI SYARIAH

Pertanyaan:

Di sekitar kita sering ada transaksi jual beli dengan harga berbeda antara tunai dan cicil, misalnya jika membeli tunai dikenakan harga Rp 100.000,00, namun jika membeli dengan dicicil dikenakan harga Rpp 120.000,00 untuk dua kali pembayaran dan tempo dua bulan.

 

Apakah selisih harga tersebut termasuk riba? Kalau untuk membeli rumah/kendaraan kansulit untuk membayar tunai. Bagaimana hukumnya jual beli kredit dalam Islam? Kredit seperti apa yang diperbolehkan?

 

Jawaban:

Memberikan 2 penawaran harga itu boleh. Yang tidak boleh adalah 2 akad dalam 1 transaksi.

 

Meski ada 2 penawaran, nanti ketika akad tetap hanya salah satu harga yang dipakai. Misalnya harga tunai saja atau harga kredit saja. Jadi tidak termasuk 2 akad dalam 1 transaksi.

 

Kredit rumah/kendaraan itu halal, namun menjadi haram apabila:

1.      Ada denda jika terlambat bayar. Ini termasuk riba.

2.      Barang yang dijadikan jaminan adalah barang yang sedang dikredit itu. Ini haram karena barang itu belum sepenuhnya milik kita. Ini biasa terjadi di leasing. Seharusnya, barang yang dijadikan jaminan adalah barang lain.

3.      Ada 2 akad dalam 1 transaksi. Ini juga biasa terjadi di leasing. Misalnya kita kredit motor, itu sebenarnya akadnya 2, yaitu sewa dan beli. Ketika masih dalam waktu mencicil, leasing menganggap itu masa sewa sehingga jika kita tidak sanggup bayar, maka motornya disita. Setelah lunas, akadnya berubah jadi beli.

 

 

Penjelasan:

 

JUAL BELI KREDIT

 

Al-Bay’ (jual-beli) secara bahasa artinya pertukaran, sedangkan secara syar‘i bermakna mubâdalah mâl[in] bi mâl[in], tamlîk[anl wa tamalluk[an] ‘alâ sabîl at-tarâdhî, yaitu pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua pihak.

 

Jual-beli ada tiga bentuk, yaitu

1.        Jual-beli tunai, di mana barang dan harga diserahterimakan pada saat akad.

2.        Jual-beli salaf atau salam (pesanan), di mana harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu.

3.        Jual-beli kredit, di mana barang diserahkan pada saat akad, sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil. Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay’ bi ad-dayn wa bi at-taqsîth).

 

Syariah memperbolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282.

 

Aisyah ra. meriwayatkan, “Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya.” (HR al-Bukhari)

 

Aisyah ra. juga menuturkan bahwa Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga sembilan awqiyah yang dibayar satu awqiyah setiap tahun (HR al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan cara dicicil.

 

Rukun Jual-beli Kredit

1.    Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz.

2.   Shighât (ijab-qabul).

3.    Mahal al-’aqd (objek akad), yaitu al-mabi’(barang  dagangan) dan ats-tsaman (harga).

 

Syarat-syarat al-mabî’ (barang dagangan)

1.    Al-mabî’ itu harus sesuatu yang suci, tidak najis

2.    Halal dimanfaatkan

3.    Adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya

4.    Harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul.

5.    Jika barang dagangannya berupa tamar(kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab(emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh(garam) maka tidak  boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit.

 

Rasul saw. bersabda:

 

َناَك اَذِإ ْمُتْئِش َفْيَكدَيِب اًدَي اوُعيِبَف ُفاَنْصَألْا ِهِذَهْتَفَلَتْخا اَذِإَف ٍدَيِب اًدَي ٍءاَوَسِب ًءاَوَس ُحْلِمْلاَوٍلْثِمِب ًالْثِم ِحْلِمْلاِب ِرْمَّتلاِب ُرْمَّتلاَوِريِعَّشلاِب ِّرُبْلاِب ُّرُبْلاَو ِةَّضِفْلاِبُريِعَّشلاَو ُبَهَّذلاُةَّضِفْلاَو ِبَهَّذلاِب

 

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)

 

Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.

 

6.    Al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya.

 

Rasul saw. bersabda:

 

َكَدْنِع َسْيَل اَمْعِبَت َال

 

“Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi)

 

Jual-beli kredit ini tidak seperti as-salaf atau as-salam yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. Jika barang itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit. Ketentuan ini menjadi salah satu titik kritis dalam muamalah al-murâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’—sering disebut murabahah saja—dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil, atau yang sejenis.

 

Supaya akad jual-beli kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mabî’ itu dari penjual kepada pembeli. Jika al-mabî’ itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd, al-makîl wa al-mawzûn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan qabul, terjadilah perpindahan pemilikan atas al-mabî’. Intinya, pemilikan pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna jika tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharruf barang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi, dihibahkan dan sebagainya.

 

Harga dalam Jual Beli Kredit

Adapun harga dalam jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang (dayn), baik dibayar sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi di atas.

 

Seseorang boleh menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kredit—biasanya lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:

 

ٍضاَرَتْنَع ُعْيَبْلا اَمَّنِإ

 

“Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli).” (HR Ahmad dan Ibn Majah).

 

Jadi, seorang penjual berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pula pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai ataupun kredit. Namun, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual-beli, harus satu harga. Misal, boleh saja si A mengatakan, “Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu, kalau kredit sebulan 110 ribu.” Jika si B berkata, “Saya beli kredit satu bulan 110 ribu,” maka jual-beli itu sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, “Baik, saya setuju,” atau, “Baik, saya beli.” Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Mas‘ud mengatakan:

 

ٍةَدِحاَو ٍةَقْفَص يِف ِنْيَتَقْفَص ْنَع ملسو هيلع هللا ىلصِهللا ُلوُسَر ىَهَن

 

Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu akad (HR Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani).

 

Jika telah disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya, kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi tetapi dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya tidak boleh. Sebab, itu artinya telah terjadi dua jual-beli dalam satu barang atau satu jual-beli (bay’atayn fî al-bay’ah). Abu Hurairah berkata:

 

ٍةَعْيَب يِفِنْيَتَعْيَب ْنَع ملسو هيلع هللا ىلصِهللا ُلوُسَر ىَهَن

 

“Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu jual-beli.” (HR. Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban)

 

Jika terjadi kasus tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:

 

اَبِّرلاْوَأ اَمُهُسَكْوَأُهَلَف ِنْيَتَعْيَب َعاَب ْنَم

 

“Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya harga yang lebih rendah atau riba.” (HR. Abu Dawud)

 

Jadi, jika terjadi kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga awal adalah riba.

 

Ada jenis jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp 10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli seperti ini yang menurut para fukaha dinamakan al-bay’ al-‘înah. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:

 

ْمُهَنيِد ىَّتَح ْمُهْنَع ُهْعَفْرَي ْمَلَفْوُعِجاَرُي ِليِبَس،ًّالُذ ْمِهِب ُهللا َلَزْنَأ،ِهللا يِف َداَهِجْلا اوُكَرَتَو،ِرَقَبْلا َباَنْذَأ ،ِةَنيِعْلاِب اوُعَياَبَتَواوُعَبَّتاَو اَذإ،ِمَهْرِّدلاَو ِراَنيِّدلاِبُساَّنلا َّنَض

 

“Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli secara al-‘înah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka.” (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la)

 

Wallahu a'lam bisshowaab.

Chapter 1: The Hidden Secrets of Trade

I. Introduction In the bustling world of global commerce, where goods and services flow across borders with the speed of light, there exists...