Rabu, 15 November 2017

JUAL BELI SYARIAH

Pertanyaan:

Di sekitar kita sering ada transaksi jual beli dengan harga berbeda antara tunai dan cicil, misalnya jika membeli tunai dikenakan harga Rp 100.000,00, namun jika membeli dengan dicicil dikenakan harga Rpp 120.000,00 untuk dua kali pembayaran dan tempo dua bulan.

 

Apakah selisih harga tersebut termasuk riba? Kalau untuk membeli rumah/kendaraan kansulit untuk membayar tunai. Bagaimana hukumnya jual beli kredit dalam Islam? Kredit seperti apa yang diperbolehkan?

 

Jawaban:

Memberikan 2 penawaran harga itu boleh. Yang tidak boleh adalah 2 akad dalam 1 transaksi.

 

Meski ada 2 penawaran, nanti ketika akad tetap hanya salah satu harga yang dipakai. Misalnya harga tunai saja atau harga kredit saja. Jadi tidak termasuk 2 akad dalam 1 transaksi.

 

Kredit rumah/kendaraan itu halal, namun menjadi haram apabila:

1.      Ada denda jika terlambat bayar. Ini termasuk riba.

2.      Barang yang dijadikan jaminan adalah barang yang sedang dikredit itu. Ini haram karena barang itu belum sepenuhnya milik kita. Ini biasa terjadi di leasing. Seharusnya, barang yang dijadikan jaminan adalah barang lain.

3.      Ada 2 akad dalam 1 transaksi. Ini juga biasa terjadi di leasing. Misalnya kita kredit motor, itu sebenarnya akadnya 2, yaitu sewa dan beli. Ketika masih dalam waktu mencicil, leasing menganggap itu masa sewa sehingga jika kita tidak sanggup bayar, maka motornya disita. Setelah lunas, akadnya berubah jadi beli.

 

 

Penjelasan:

 

JUAL BELI KREDIT

 

Al-Bay’ (jual-beli) secara bahasa artinya pertukaran, sedangkan secara syar‘i bermakna mubâdalah mâl[in] bi mâl[in], tamlîk[anl wa tamalluk[an] ‘alâ sabîl at-tarâdhî, yaitu pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua pihak.

 

Jual-beli ada tiga bentuk, yaitu

1.        Jual-beli tunai, di mana barang dan harga diserahterimakan pada saat akad.

2.        Jual-beli salaf atau salam (pesanan), di mana harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu.

3.        Jual-beli kredit, di mana barang diserahkan pada saat akad, sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil. Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay’ bi ad-dayn wa bi at-taqsîth).

 

Syariah memperbolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282.

 

Aisyah ra. meriwayatkan, “Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya.” (HR al-Bukhari)

 

Aisyah ra. juga menuturkan bahwa Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga sembilan awqiyah yang dibayar satu awqiyah setiap tahun (HR al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan cara dicicil.

 

Rukun Jual-beli Kredit

1.    Al-‘Aqidân, yaitu dua orang yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukan tasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz.

2.   Shighât (ijab-qabul).

3.    Mahal al-’aqd (objek akad), yaitu al-mabi’(barang  dagangan) dan ats-tsaman (harga).

 

Syarat-syarat al-mabî’ (barang dagangan)

1.    Al-mabî’ itu harus sesuatu yang suci, tidak najis

2.    Halal dimanfaatkan

3.    Adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya

4.    Harus ma‘lûm (jelas), tidak majhul.

5.    Jika barang dagangannya berupa tamar(kurma), sa’îr (barley), burr (gandum), dzahab(emas), fidhah (perak), atau uang, dan milh(garam) maka tidak  boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit.

 

Rasul saw. bersabda:

 

َناَك اَذِإ ْمُتْئِش َفْيَكدَيِب اًدَي اوُعيِبَف ُفاَنْصَألْا ِهِذَهْتَفَلَتْخا اَذِإَف ٍدَيِب اًدَي ٍءاَوَسِب ًءاَوَس ُحْلِمْلاَوٍلْثِمِب ًالْثِم ِحْلِمْلاِب ِرْمَّتلاِب ُرْمَّتلاَوِريِعَّشلاِب ِّرُبْلاِب ُّرُبْلاَو ِةَّضِفْلاِبُريِعَّشلاَو ُبَهَّذلاُةَّضِفْلاَو ِبَهَّذلاِب

 

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)

 

Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit.

 

6.    Al-mabî’ (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya.

 

Rasul saw. bersabda:

 

َكَدْنِع َسْيَل اَمْعِبَت َال

 

“Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi)

 

Jual-beli kredit ini tidak seperti as-salaf atau as-salam yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. Jika barang itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit. Ketentuan ini menjadi salah satu titik kritis dalam muamalah al-murâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’—sering disebut murabahah saja—dan al-bay’ bi ats-tsaman âjil, atau yang sejenis.

 

Supaya akad jual-beli kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mabî’ itu dari penjual kepada pembeli. Jika al-mabî’ itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd, al-makîl wa al-mawzûn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan qabul, terjadilah perpindahan pemilikan atas al-mabî’. Intinya, pemilikan pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna jika tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharruf barang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi, dihibahkan dan sebagainya.

 

Harga dalam Jual Beli Kredit

Adapun harga dalam jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang (dayn), baik dibayar sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi di atas.

 

Seseorang boleh menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kredit—biasanya lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:

 

ٍضاَرَتْنَع ُعْيَبْلا اَمَّنِإ

 

“Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli).” (HR Ahmad dan Ibn Majah).

 

Jadi, seorang penjual berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pula pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai ataupun kredit. Namun, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual-beli, harus satu harga. Misal, boleh saja si A mengatakan, “Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu, kalau kredit sebulan 110 ribu.” Jika si B berkata, “Saya beli kredit satu bulan 110 ribu,” maka jual-beli itu sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, “Baik, saya setuju,” atau, “Baik, saya beli.” Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Mas‘ud mengatakan:

 

ٍةَدِحاَو ٍةَقْفَص يِف ِنْيَتَقْفَص ْنَع ملسو هيلع هللا ىلصِهللا ُلوُسَر ىَهَن

 

Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu akad (HR Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani).

 

Jika telah disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya, kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi tetapi dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya tidak boleh. Sebab, itu artinya telah terjadi dua jual-beli dalam satu barang atau satu jual-beli (bay’atayn fî al-bay’ah). Abu Hurairah berkata:

 

ٍةَعْيَب يِفِنْيَتَعْيَب ْنَع ملسو هيلع هللا ىلصِهللا ُلوُسَر ىَهَن

 

“Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu jual-beli.” (HR. Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban)

 

Jika terjadi kasus tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:

 

اَبِّرلاْوَأ اَمُهُسَكْوَأُهَلَف ِنْيَتَعْيَب َعاَب ْنَم

 

“Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya harga yang lebih rendah atau riba.” (HR. Abu Dawud)

 

Jadi, jika terjadi kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga awal adalah riba.

 

Ada jenis jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp 10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli seperti ini yang menurut para fukaha dinamakan al-bay’ al-‘înah. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:

 

ْمُهَنيِد ىَّتَح ْمُهْنَع ُهْعَفْرَي ْمَلَفْوُعِجاَرُي ِليِبَس،ًّالُذ ْمِهِب ُهللا َلَزْنَأ،ِهللا يِف َداَهِجْلا اوُكَرَتَو،ِرَقَبْلا َباَنْذَأ ،ِةَنيِعْلاِب اوُعَياَبَتَواوُعَبَّتاَو اَذإ،ِمَهْرِّدلاَو ِراَنيِّدلاِبُساَّنلا َّنَض

 

“Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli secara al-‘înah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka.” (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la)

 

Wallahu a'lam bisshowaab.

Rabu, 18 Oktober 2017

Komite Etik dan Majelis Kehormatan Etik



PEDOMAN PENGORGANISASIAN KOMITE ETIK RUMAH SAKIT DAN
MAJELIS KEHORMATAN ETIK RUMAH SAKIT INDONESIA
PERSI - MAKERSI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

                Pelayanan kesehatan yang baik, bermutu, profesional, dan diterima pasien merupakan tujuan utama pelayanan rumah sakit. Namun hal ini tidak mudah dilakukan dewasa ini. Meskipun rumah sakit telah dilengkapi dengan tenaga medis, perawat, dan sarana penunjang lengkap, masih sering terdengar ketidak puasan pasien akan pelayanan kesehatan yang mereka terima.
Pelayanan kesehatan dewasa ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan beberapa dasawarsa sebelumnya. Beberapa faktor yang mendorong kompleksitas pelayanan kesehatan pada masa kini antara lain: 1.Semakin kuat tuntutan pasien/masyarakat akan pelayanan kesehatan bermutu, efektif, dan efisien, 2. Standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, 3. Latar belakang pasien amat beragam (tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya), dan 4. Pelayanan kesehatan melibatkan berbagai disiplin dan institusi.
Situasi pelayanan kesehatan yang kompleks ini seringkali menyulitkan komunikasi antara pasien dan pihak penyedia layanan kesehatan. Komunikasi yang baik amat membantu menyelesaikan berbagai masalah sedangkan komunikasi yang buruk akan menambah masalah dalam pelayanan kesehatan. Di samping komunikasi yang baik, pelayanan kesehatan harus memenuhi kaidah-kaidah profesionalisme dan etis. Untuk menangkal hal-hal yang berpotensi merugikan berbagai pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan maka perlu ditingkatkan kemampuan tenaga kesehatan menyelesaikan masalah-masalah medis dan non-medis di rumah sakit dan tercipta struktur yang mendukung pelayanan kesehatan secara profesional dan berkualitas. Salah satu upaya mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu dan profesional di rumah sakit adalah dengan memenuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam Kode Etik Rumah Sakit di Indonesia (KODERSI).
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia memuat rangkaian nilai-nilai dan norma-norma moral perumahsakitan Indonesia untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi setiap insan perumahsakitan yang terlibat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia. KODERSI merupakan kewajiban moral yang harus ditaati oleh setiap rumah sakit di Indonesia agar tercapai pelayanan rumah sakit yang baik, bermutu, profesional dan sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur profesi kedokteran. KODERSI pertama kali disahkan dalam Kongres VI PERSI pada tahun 1993 di Jakarta. Dalam perjalannya telah mengalami perbaikan dan penyempurnaan.
                Pada umumnya pedoman yang termuat dalam KODERSI berupa garis besar atau nilai-nilai pokok yang masih memerlukan penjabaran yang lebih rinci dan teknis. Untuk menjabarkan KODERSI dan menerapkannya dalam kebijakan rumah sakit maka setiap rumah sakit dianjurkan membentuk Komite Etik Rumah Sakit (KERS). Sedangkan di tingkat pengurus cabang pusat, badan etik rumah sakit Indonesia dinamakan Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (MAKERSI).  Dalam rangka melengkapi KODERSI maka perlu buat acuan dasar prosedural dalam bentuk Pedoman Pengorganisasian Komite Etik Rumah Sakit dan Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia (selanjutnya disingkat Pedoman). Dengan adanya pedoman ini diharapkan penerapan KODERSI dalam pelayanan perumahsakitan menjadi kenyataan sehingga rumah sakit di Indonesia mampu mengemban misi luhur dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.


Landasan Hukum
                Landasan Hukum penyusunan Pedoman ini ialah Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga PERSI dan pelbagai peraturan perundang-undangan yang relevan bagi tugas dan fungsi KERS dan MAKERSI.
Landasan peraturan perundang-undangan yang dimaksud ialah:
1.       UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang  Kesehatan.
2.       UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.       UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
5.       Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1045/MenKes/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan
                Sedangkan landasan ketentuan dan keputusan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia yang dimaksud ialah :
1.       Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
2.       Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
3.       Surat Keputusan Kongres PERSI VI, tentang pengesahan berlakunya Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, 1993.
4.       Surat Keputusan Kongres PERSI VIII, tentang perbaikan dan penyempurnaan KODERSI, 2000
5.       Surat Keputusan Kongres IX , tentang Tata  Tertib Organisasi, 2003
6.       Surat Keputusan Kongres PERSI X, tentang perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PERSI, 2006
7.       Hasil Rapat Kerja PERSI di Balikpapan, 2008
8.       Surat Keputusan Kongres PERSI XI 2009




Pasal 1
Pengertian

                Untuk memudahkan penerapan pedoman, perlu dirumuskan ketentuan umum dan pengertian pokok sebagai berikut :
1.                   Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang telah ditentukan dan diatur  oleh peraturan perundang undangan Negara Republik Indonesia. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan merupakan unit sosial ekonomi, harus mengutamakan tugas kemanusiaan dan mendahulukan fungsi sosialnya.
2.                   Insan perumahsakitan adalah mereka yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit.
3.                   Kode Etik Rumah Sakit Indonesia adalah rangkuman norma-norma moral yang telah dikodifikasi oleh PERSI sebagai organisasi profesi bidang perumahsakitan di Indonesia.
4.                   Komite Etik Rumah Sakit (KERS) adalah suatu perangkat organisasi non struktural yang dibentuk dalam rumah sakit untuk membantu pimpinan rumah sakit dalam melaksanakan KODERSI
5.                   Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) adalah organisasi yang menghimpun dan mewakili rumah-rumah sakit di Indonesia
6.                   Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia (MAKERSI) adalah badan otonom PERSI yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat dan Daerah untuk menjalankan KODERSI



Pasal 2
Tujuan

Pedoman ini menjadi acuan tatalaksana pembentukan dan tatakerja Komite Etik Rumah Sakit dan Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit  di Indonesia.
BAB II
TATALAKSANA ORGANISASI KOMITE ETIK RUMAH SAKIT

Pasal 3
Pembentukan KERS

1.       Komite Etik Rumah Sakit (KERS) merupakan perangkat organisasi rumah sakit di bentuk di Rumah Sakit dalam rangka membantu pimpinan rumah sakit menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di rumah sakit.
2.       Pembentukan KERS adalah wajib
3.       Ketua dan Anggota KERS dipilih dan diangkat oleh Direktur/Pimpinan Rumah Sakit, untuk selama masa bakti tertentu. KERS sekurang-kurangnya harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan 2 (dua) orang Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 7 (tujuh) orang.
4.       Keanggotaan KERS harus mewakili berbagai profesi di dalam rumah sakit.
5.       Dalam struktur organisasi rumah sakit, posisi KERS setingkat direktur rumah sakit dan komite medik rumah sakit. Selain itu KERS juga bisa berada di bawah direktur rumah sakit dan setingkat komite medik rumah sakit.
6.       Komite etik rumah sakit bertanggung jawab langsung kepada pimpinan rumah sakit atau yang mengangkatnya.
7.       Bila dipandang perlu anggota KERS dapat berasal dari individu di luar rumah sakit
8.       Syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota KERS: berjiwa Pancasila, memiliki integritas, kredibilitas sosial, dan profesional. Ia juga memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah sosial, lingkungan, dan kemanusiaan.
9.       Keanggotaan KERS diupayakan tidak dirangkap dengan jabatan-jabatan struktural di rumah sakit.





Pasal 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab KERS

  1. Secara umum KERS bertugas membantu pimpinan rumah sakit menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di rumah sakit, baik diminta maupun tidak diminta.
  2. Secara khusus KERS memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab:
    1. Melakukan pembinaan insan perumahsakitan secara komprehensif dan berkesinambungan, agar setiap orang menghayati dan mengamalkan KODERSI sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing di rumah sakit. Pembinaan ini merupakan upaya preventif, persuasif, edukatif, dan korektif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran KODERSI. Pembinaan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, diskusi kasus, dan seminar.
    2. Memberi nasehat, saran, dan pertimbangan terhadap setiap kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pimpinan atau pemilik rumah sakit
    3. Membuat pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang terkait dengan etika rumah sakit.
    4. Menangani masalah-masalah etik yang muncul di dalam rumah sakit
    5. Memberi nasehat, saran, dan pertimbangan etik kepada pihak-pihak yang membutuhkan
    6. Membantu menyelesaikan perselisihan/sengketa medik yang terjadi di lingkungan rumah sakit
    7. Menyelenggarakan pelbagai kegiatan lain yang dipandang dapat membantu terwujudnya kode etik rumah sakit.
  3. Dalam melaksanakan tugasnya KERS wajib menerapkan prinsip kerjasama, koordinasi, dan sinkronisasi dengan Komite Medik serta struktur lain di rumah sakit sesuai dengan tugas masing-masing.
  4. Pimpinan dan anggota KERS wajib mematuhi peraturan rumah sakit dan bertanggung jawab kepada pimpinan rumah sakit serta menyampaikan laporan berkala pada waktunya.  
  5. KERS dapat meminta saran, pendapat atau nasehat dari MAKERSI Daerah bila menghadapi kesulitan.
  6. KERS wajib memberikan laporan kepada MAKERSI Daerah mengenai pelaksanaan KODERSI di rumah sakit , minimal sekali setahun.
  7. KERS wajib melaporkan masalah etik yang serius atau tidak mampu ditangani sendiri ke MAKERSI Daerah.

BAB III
TATA LAKSANA ORGANISASI MAKERSI

Pasal 5
Pembentukan MAKERSI

  1. Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (MAKERSI) adalah badan otonom, perangkat organisasi PERSI.
  2. MAKERSI dibentuk di tingkat pusat disebut MAKERSI Pusat dan di tingkat propinsi/kotamadya disebut sebagai MAKERSI Daerah.
  3. Pembentukan MAKERSI Pusat dan MAKERSI Daerah adalah wajib.
  4. Pembentukan MAKERSI Daerah hanya dibenarkan jika di propinsi tersebut telah ada pengurus PERSI Daerah
  5. Apabila di suatu daerah belum terbentuk MAKERSI Daerah maka MAKERSI Pusat berwenang menunjuk MAKERSI Daerah terdekat untuk menjalankan tugas dan fungsi MAKERSI di daerah tersebut.

Pasal 6
Pemilihan Pengurus MAKERSI

  1. Pemilihan Ketua MAKERSI Pusat dilakukan melalui formatur
  2. Jumlah formatur maksimum 3 orang
  3. Calon formatur diusulkan oleh utusan Daerah
  4. Kriteria calon Ketua MAKERSI Pusat:
    1. Mempunyai kemampuan visioner dalam organisasi
    2. Mempunyai pengalaman dalam memimpin rumah sakit
    3. Pernah menjadi pengurus PERSI atau MAKERSI
  5. Ketua MAKERSI Pusat dipilih dalam Kongres PERSI, untuk masa jabatan selama Kepengurusan Persi Pusat, dan bertanggung jawab kepada Kongres PERSI.
  6. Ketua terpilih berwenang menyusun anggotanya yang sekurang-kurangnya harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 9 (sembilan) orang.
  7. Pemilihan Ketua MAKERSI Daerah dapat melalui aklamasi atau formatur dalam Rapat Pleno anggota PERSI Daerah.
  8. Ketua MAKERSI Daerah dipilih dalam Rapat Pleno untuk masa jabatan selama Kepengurusan Persi Daerah, dan bertanggung jawab kepada Rapat Pleno PERSI Daerah.
  9. Ketua terpilih berwenang menyusun anggotanya yang sekurang-kurangnya harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 5 (lima) orang.
  10. Anggota MAKERSI harus mewakili berbagai profesi yang ada di dalam rumah sakit
  11. Syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota MAKERSI:
    1. Berjiwa Pancasila, memiliki integritas, kredibilitas sosial, dan profesional.
    2. Memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah sosial, lingkungan, dan kemanusiaan.
    3. Memiliki pengalaman sebagai pimpinan atau jabatan lain yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit.
  12. Keanggotaan MAKERSI Pusat dan MAKERSI Daerah, tidak dibenarkan merangkap jabatan dalam dalam kepengurusan PERSI yang setingkat; ialah jabatan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan jabatan struktural lainnya dalam kepengurusan PERSI yang setingkat. Tidak termasuk jabatan sebagai penasehat atau kelompok kerja.
  13. Apabila salah seorang pengurus MAKERSI berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau karena sesuatu hal diberhentikan sebagai pengurus, maka penggantiannya dilakukan oleh Ketua MAKERSI.
  14. Batasan masa jabatan Ketua MAKERSI dalam tingkatan manapun maksimal dua kali berturut-turut dan setelah satu periode masa jabatan tidak menduduki jabatan Ketua MAKERSI dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya.

Pasal 7
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab MAKERSI

MAKERSI Pusat mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagai berikut:
  1. Menyusun dan menetapkan kebijakan dan garis-garis besar program pembinaan KODERSI secara nasional.
  2. Membuat pedoman pelaksanaan KODERSI.
  3. Memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan secara lisan dan atau tertulis, diminta atau tidak diminta mengenai segala sesuatu yang menyangkut KODERSI kepada Pengurus PERSI Pusat.
  4. Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi kesehatan lainnya, khususnya badan-badan etik organisasi profesi di tingkat nasional.
  5. Menampung dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang diajukan oleh MAKERSI Daerah yang tidak bisa diselesaikan di tingkat daerah.

MAKERSI Daerah mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagai berikut:
  1. Melakukan pembinaan dan mengkoordinasikan KERS di rumah-rumah sakit yang berada di wilayah dari Cabang PERSI yang bersangkutan sesuai dengan program dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh MAKERSI Pusat
  2. Memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan secara lisan dan atau tertulis, diminta atau tidak diminta mengenai segala sesuatu yang menyangkut KODERSI kepada Pengurus PERSI Daerah.
  3. Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi kesehatan lainnya, khususnya badan-badan etik organisasi profesi di tingkat cabang
  4. Menampung dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang diajukan oleh KERS setempat.
  5. Jika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat daerah maka dapat meminta saran, pendapat, atau nasehat dari MAKERSI Pusat.

Pasal 8
Rapat-rapat

Rapat MAKERSI terdiri dari:
  1. Kongres, dilaksanakan sekali dalam tiga tahun
  2. Rapat Kerja Tahunan, merupakan rapat antara Pengurus Pusat dan Pengurus Daerah, membicarakan pelaksanaan program kerja dan masalah-masalah yang baru timbul
  3. Rapat Pengurus MAKERSI Pusat diadakan sekurang-kurangnya dua kali setahun
  4. Rapat Pengurus MAKERSI Daerah diadakan menurut kebutuhan



Pasal  9
Sumber Keuangan

  1. Sumber keuangan KERS berasal dari anggaran Rumah Sakit yang bersangkutan.
  2. Sumber keuangan Makersi Pusat berasal dari PERSI Pusat
  3. Sumber Keuangan Makersi Daerah berasal dari PERSI Daerah

BAB IV
Pasal 10
Penutup

1.        Hal-hal yang belum tercantum dalam tatalaksana ini dapat diputuskan sendiri oleh MAKERSI Pusat atau MAKERSI Cabang
2.        Keputusan yang dimaksud harus tidak bertentangan dengan tatalaksana ini dan atau pelbagai ketentuan organisasi lainnya dari PERSI serta harus dikomunikasikan kepada MAKERSI pusat.
3.        Dengan demikian diharapkan KODERSI dapat dilaksanakan dengan baik di rumah sakit Indonesia.

==/\==

Chapter 1: The Hidden Secrets of Trade

I. Introduction In the bustling world of global commerce, where goods and services flow across borders with the speed of light, there exists...