Rabu, 18 Oktober 2017

Komite Etik dan Majelis Kehormatan Etik



PEDOMAN PENGORGANISASIAN KOMITE ETIK RUMAH SAKIT DAN
MAJELIS KEHORMATAN ETIK RUMAH SAKIT INDONESIA
PERSI - MAKERSI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

                Pelayanan kesehatan yang baik, bermutu, profesional, dan diterima pasien merupakan tujuan utama pelayanan rumah sakit. Namun hal ini tidak mudah dilakukan dewasa ini. Meskipun rumah sakit telah dilengkapi dengan tenaga medis, perawat, dan sarana penunjang lengkap, masih sering terdengar ketidak puasan pasien akan pelayanan kesehatan yang mereka terima.
Pelayanan kesehatan dewasa ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan beberapa dasawarsa sebelumnya. Beberapa faktor yang mendorong kompleksitas pelayanan kesehatan pada masa kini antara lain: 1.Semakin kuat tuntutan pasien/masyarakat akan pelayanan kesehatan bermutu, efektif, dan efisien, 2. Standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, 3. Latar belakang pasien amat beragam (tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya), dan 4. Pelayanan kesehatan melibatkan berbagai disiplin dan institusi.
Situasi pelayanan kesehatan yang kompleks ini seringkali menyulitkan komunikasi antara pasien dan pihak penyedia layanan kesehatan. Komunikasi yang baik amat membantu menyelesaikan berbagai masalah sedangkan komunikasi yang buruk akan menambah masalah dalam pelayanan kesehatan. Di samping komunikasi yang baik, pelayanan kesehatan harus memenuhi kaidah-kaidah profesionalisme dan etis. Untuk menangkal hal-hal yang berpotensi merugikan berbagai pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan maka perlu ditingkatkan kemampuan tenaga kesehatan menyelesaikan masalah-masalah medis dan non-medis di rumah sakit dan tercipta struktur yang mendukung pelayanan kesehatan secara profesional dan berkualitas. Salah satu upaya mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu dan profesional di rumah sakit adalah dengan memenuhi kaidah-kaidah yang tercantum dalam Kode Etik Rumah Sakit di Indonesia (KODERSI).
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia memuat rangkaian nilai-nilai dan norma-norma moral perumahsakitan Indonesia untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi setiap insan perumahsakitan yang terlibat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia. KODERSI merupakan kewajiban moral yang harus ditaati oleh setiap rumah sakit di Indonesia agar tercapai pelayanan rumah sakit yang baik, bermutu, profesional dan sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur profesi kedokteran. KODERSI pertama kali disahkan dalam Kongres VI PERSI pada tahun 1993 di Jakarta. Dalam perjalannya telah mengalami perbaikan dan penyempurnaan.
                Pada umumnya pedoman yang termuat dalam KODERSI berupa garis besar atau nilai-nilai pokok yang masih memerlukan penjabaran yang lebih rinci dan teknis. Untuk menjabarkan KODERSI dan menerapkannya dalam kebijakan rumah sakit maka setiap rumah sakit dianjurkan membentuk Komite Etik Rumah Sakit (KERS). Sedangkan di tingkat pengurus cabang pusat, badan etik rumah sakit Indonesia dinamakan Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (MAKERSI).  Dalam rangka melengkapi KODERSI maka perlu buat acuan dasar prosedural dalam bentuk Pedoman Pengorganisasian Komite Etik Rumah Sakit dan Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia (selanjutnya disingkat Pedoman). Dengan adanya pedoman ini diharapkan penerapan KODERSI dalam pelayanan perumahsakitan menjadi kenyataan sehingga rumah sakit di Indonesia mampu mengemban misi luhur dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.


Landasan Hukum
                Landasan Hukum penyusunan Pedoman ini ialah Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga PERSI dan pelbagai peraturan perundang-undangan yang relevan bagi tugas dan fungsi KERS dan MAKERSI.
Landasan peraturan perundang-undangan yang dimaksud ialah:
1.       UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang  Kesehatan.
2.       UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.       UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4.       Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
5.       Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1045/MenKes/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan
                Sedangkan landasan ketentuan dan keputusan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia yang dimaksud ialah :
1.       Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
2.       Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
3.       Surat Keputusan Kongres PERSI VI, tentang pengesahan berlakunya Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, 1993.
4.       Surat Keputusan Kongres PERSI VIII, tentang perbaikan dan penyempurnaan KODERSI, 2000
5.       Surat Keputusan Kongres IX , tentang Tata  Tertib Organisasi, 2003
6.       Surat Keputusan Kongres PERSI X, tentang perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PERSI, 2006
7.       Hasil Rapat Kerja PERSI di Balikpapan, 2008
8.       Surat Keputusan Kongres PERSI XI 2009




Pasal 1
Pengertian

                Untuk memudahkan penerapan pedoman, perlu dirumuskan ketentuan umum dan pengertian pokok sebagai berikut :
1.                   Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang telah ditentukan dan diatur  oleh peraturan perundang undangan Negara Republik Indonesia. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan merupakan unit sosial ekonomi, harus mengutamakan tugas kemanusiaan dan mendahulukan fungsi sosialnya.
2.                   Insan perumahsakitan adalah mereka yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit.
3.                   Kode Etik Rumah Sakit Indonesia adalah rangkuman norma-norma moral yang telah dikodifikasi oleh PERSI sebagai organisasi profesi bidang perumahsakitan di Indonesia.
4.                   Komite Etik Rumah Sakit (KERS) adalah suatu perangkat organisasi non struktural yang dibentuk dalam rumah sakit untuk membantu pimpinan rumah sakit dalam melaksanakan KODERSI
5.                   Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) adalah organisasi yang menghimpun dan mewakili rumah-rumah sakit di Indonesia
6.                   Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia (MAKERSI) adalah badan otonom PERSI yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat dan Daerah untuk menjalankan KODERSI



Pasal 2
Tujuan

Pedoman ini menjadi acuan tatalaksana pembentukan dan tatakerja Komite Etik Rumah Sakit dan Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit  di Indonesia.
BAB II
TATALAKSANA ORGANISASI KOMITE ETIK RUMAH SAKIT

Pasal 3
Pembentukan KERS

1.       Komite Etik Rumah Sakit (KERS) merupakan perangkat organisasi rumah sakit di bentuk di Rumah Sakit dalam rangka membantu pimpinan rumah sakit menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di rumah sakit.
2.       Pembentukan KERS adalah wajib
3.       Ketua dan Anggota KERS dipilih dan diangkat oleh Direktur/Pimpinan Rumah Sakit, untuk selama masa bakti tertentu. KERS sekurang-kurangnya harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan 2 (dua) orang Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 7 (tujuh) orang.
4.       Keanggotaan KERS harus mewakili berbagai profesi di dalam rumah sakit.
5.       Dalam struktur organisasi rumah sakit, posisi KERS setingkat direktur rumah sakit dan komite medik rumah sakit. Selain itu KERS juga bisa berada di bawah direktur rumah sakit dan setingkat komite medik rumah sakit.
6.       Komite etik rumah sakit bertanggung jawab langsung kepada pimpinan rumah sakit atau yang mengangkatnya.
7.       Bila dipandang perlu anggota KERS dapat berasal dari individu di luar rumah sakit
8.       Syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota KERS: berjiwa Pancasila, memiliki integritas, kredibilitas sosial, dan profesional. Ia juga memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah sosial, lingkungan, dan kemanusiaan.
9.       Keanggotaan KERS diupayakan tidak dirangkap dengan jabatan-jabatan struktural di rumah sakit.





Pasal 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab KERS

  1. Secara umum KERS bertugas membantu pimpinan rumah sakit menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di rumah sakit, baik diminta maupun tidak diminta.
  2. Secara khusus KERS memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab:
    1. Melakukan pembinaan insan perumahsakitan secara komprehensif dan berkesinambungan, agar setiap orang menghayati dan mengamalkan KODERSI sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing di rumah sakit. Pembinaan ini merupakan upaya preventif, persuasif, edukatif, dan korektif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran KODERSI. Pembinaan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, diskusi kasus, dan seminar.
    2. Memberi nasehat, saran, dan pertimbangan terhadap setiap kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pimpinan atau pemilik rumah sakit
    3. Membuat pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang terkait dengan etika rumah sakit.
    4. Menangani masalah-masalah etik yang muncul di dalam rumah sakit
    5. Memberi nasehat, saran, dan pertimbangan etik kepada pihak-pihak yang membutuhkan
    6. Membantu menyelesaikan perselisihan/sengketa medik yang terjadi di lingkungan rumah sakit
    7. Menyelenggarakan pelbagai kegiatan lain yang dipandang dapat membantu terwujudnya kode etik rumah sakit.
  3. Dalam melaksanakan tugasnya KERS wajib menerapkan prinsip kerjasama, koordinasi, dan sinkronisasi dengan Komite Medik serta struktur lain di rumah sakit sesuai dengan tugas masing-masing.
  4. Pimpinan dan anggota KERS wajib mematuhi peraturan rumah sakit dan bertanggung jawab kepada pimpinan rumah sakit serta menyampaikan laporan berkala pada waktunya.  
  5. KERS dapat meminta saran, pendapat atau nasehat dari MAKERSI Daerah bila menghadapi kesulitan.
  6. KERS wajib memberikan laporan kepada MAKERSI Daerah mengenai pelaksanaan KODERSI di rumah sakit , minimal sekali setahun.
  7. KERS wajib melaporkan masalah etik yang serius atau tidak mampu ditangani sendiri ke MAKERSI Daerah.

BAB III
TATA LAKSANA ORGANISASI MAKERSI

Pasal 5
Pembentukan MAKERSI

  1. Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (MAKERSI) adalah badan otonom, perangkat organisasi PERSI.
  2. MAKERSI dibentuk di tingkat pusat disebut MAKERSI Pusat dan di tingkat propinsi/kotamadya disebut sebagai MAKERSI Daerah.
  3. Pembentukan MAKERSI Pusat dan MAKERSI Daerah adalah wajib.
  4. Pembentukan MAKERSI Daerah hanya dibenarkan jika di propinsi tersebut telah ada pengurus PERSI Daerah
  5. Apabila di suatu daerah belum terbentuk MAKERSI Daerah maka MAKERSI Pusat berwenang menunjuk MAKERSI Daerah terdekat untuk menjalankan tugas dan fungsi MAKERSI di daerah tersebut.

Pasal 6
Pemilihan Pengurus MAKERSI

  1. Pemilihan Ketua MAKERSI Pusat dilakukan melalui formatur
  2. Jumlah formatur maksimum 3 orang
  3. Calon formatur diusulkan oleh utusan Daerah
  4. Kriteria calon Ketua MAKERSI Pusat:
    1. Mempunyai kemampuan visioner dalam organisasi
    2. Mempunyai pengalaman dalam memimpin rumah sakit
    3. Pernah menjadi pengurus PERSI atau MAKERSI
  5. Ketua MAKERSI Pusat dipilih dalam Kongres PERSI, untuk masa jabatan selama Kepengurusan Persi Pusat, dan bertanggung jawab kepada Kongres PERSI.
  6. Ketua terpilih berwenang menyusun anggotanya yang sekurang-kurangnya harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 9 (sembilan) orang.
  7. Pemilihan Ketua MAKERSI Daerah dapat melalui aklamasi atau formatur dalam Rapat Pleno anggota PERSI Daerah.
  8. Ketua MAKERSI Daerah dipilih dalam Rapat Pleno untuk masa jabatan selama Kepengurusan Persi Daerah, dan bertanggung jawab kepada Rapat Pleno PERSI Daerah.
  9. Ketua terpilih berwenang menyusun anggotanya yang sekurang-kurangnya harus terdiri dari seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, dan Anggota, dengan jumlah seluruhnya paling banyak 5 (lima) orang.
  10. Anggota MAKERSI harus mewakili berbagai profesi yang ada di dalam rumah sakit
  11. Syarat untuk dapat dipilih menjadi anggota MAKERSI:
    1. Berjiwa Pancasila, memiliki integritas, kredibilitas sosial, dan profesional.
    2. Memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah sosial, lingkungan, dan kemanusiaan.
    3. Memiliki pengalaman sebagai pimpinan atau jabatan lain yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit.
  12. Keanggotaan MAKERSI Pusat dan MAKERSI Daerah, tidak dibenarkan merangkap jabatan dalam dalam kepengurusan PERSI yang setingkat; ialah jabatan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan jabatan struktural lainnya dalam kepengurusan PERSI yang setingkat. Tidak termasuk jabatan sebagai penasehat atau kelompok kerja.
  13. Apabila salah seorang pengurus MAKERSI berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau karena sesuatu hal diberhentikan sebagai pengurus, maka penggantiannya dilakukan oleh Ketua MAKERSI.
  14. Batasan masa jabatan Ketua MAKERSI dalam tingkatan manapun maksimal dua kali berturut-turut dan setelah satu periode masa jabatan tidak menduduki jabatan Ketua MAKERSI dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya.

Pasal 7
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab MAKERSI

MAKERSI Pusat mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagai berikut:
  1. Menyusun dan menetapkan kebijakan dan garis-garis besar program pembinaan KODERSI secara nasional.
  2. Membuat pedoman pelaksanaan KODERSI.
  3. Memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan secara lisan dan atau tertulis, diminta atau tidak diminta mengenai segala sesuatu yang menyangkut KODERSI kepada Pengurus PERSI Pusat.
  4. Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi kesehatan lainnya, khususnya badan-badan etik organisasi profesi di tingkat nasional.
  5. Menampung dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang diajukan oleh MAKERSI Daerah yang tidak bisa diselesaikan di tingkat daerah.

MAKERSI Daerah mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagai berikut:
  1. Melakukan pembinaan dan mengkoordinasikan KERS di rumah-rumah sakit yang berada di wilayah dari Cabang PERSI yang bersangkutan sesuai dengan program dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh MAKERSI Pusat
  2. Memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan secara lisan dan atau tertulis, diminta atau tidak diminta mengenai segala sesuatu yang menyangkut KODERSI kepada Pengurus PERSI Daerah.
  3. Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi kesehatan lainnya, khususnya badan-badan etik organisasi profesi di tingkat cabang
  4. Menampung dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang diajukan oleh KERS setempat.
  5. Jika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat daerah maka dapat meminta saran, pendapat, atau nasehat dari MAKERSI Pusat.

Pasal 8
Rapat-rapat

Rapat MAKERSI terdiri dari:
  1. Kongres, dilaksanakan sekali dalam tiga tahun
  2. Rapat Kerja Tahunan, merupakan rapat antara Pengurus Pusat dan Pengurus Daerah, membicarakan pelaksanaan program kerja dan masalah-masalah yang baru timbul
  3. Rapat Pengurus MAKERSI Pusat diadakan sekurang-kurangnya dua kali setahun
  4. Rapat Pengurus MAKERSI Daerah diadakan menurut kebutuhan



Pasal  9
Sumber Keuangan

  1. Sumber keuangan KERS berasal dari anggaran Rumah Sakit yang bersangkutan.
  2. Sumber keuangan Makersi Pusat berasal dari PERSI Pusat
  3. Sumber Keuangan Makersi Daerah berasal dari PERSI Daerah

BAB IV
Pasal 10
Penutup

1.        Hal-hal yang belum tercantum dalam tatalaksana ini dapat diputuskan sendiri oleh MAKERSI Pusat atau MAKERSI Cabang
2.        Keputusan yang dimaksud harus tidak bertentangan dengan tatalaksana ini dan atau pelbagai ketentuan organisasi lainnya dari PERSI serta harus dikomunikasikan kepada MAKERSI pusat.
3.        Dengan demikian diharapkan KODERSI dapat dilaksanakan dengan baik di rumah sakit Indonesia.

==/\==

Jam Kerja di Indonesia



JAM KERJA DI INDONESIA
MENURUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2003  TENTANG KETENAGAKERJAAN


Jam Kerja, waktu Istirahat kerja, waktu lembur diatur dalam pasal 77 sampai pasal 85 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di beberapa perusahaan, jam kerja,waktu istirahat dan lembur dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Sungguh melelahkan bukan, bila kita diharuskan bekerja berjam-jam di dalam dan di luar kantor sehari-hari, bahkan ada yang sampai kerja lembur. Bagaimana dengan upah lembur kita? Berapa sih upah yang sesuai untuk jam kerja kita tersebut? Belum lagi, di sela-sela jam kerja itu, karyawan juga berhak untuk mendapat jam istirahat dan waktu untuk beribadah. Pertanyaan – pertanyaan tersebut pasti sering terlintas di pikiran.

Untuk karyawan yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Sedangkan untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.

Undang-Undang mengenai Jam Kerja, Jam Kerja dalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85. Pasal 77 ayat 1, Undang-Undang No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem seperti yang telas disebutkan diatas yaitu:

Ø   7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1  minggu; atau
Ø   8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.

Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang harus dijalankan terus-menerus, termasuk pada hari libur resmi (Pasal 85 ayat 2 UNDANG-UNDANG No.13/2003). Pekerjaan yang terus-menerus ini kemudian diatur dalam Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Dan dalam penerapannya tentu pekerjaan yang dijalankan terus-menerus ini dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift.

Perjanjian Kerja Bersama mengatur mengenai Jam Kerja Ketentuan mengenai pembagian jam kerja, saat ini mengacu pada Undang-Undang No.13/2003. Ketentuan waktu kerja diatas hanya mengatur batas waktu kerja untuk 7 atau 8 sehari dan 40 jam seminggu dan tidak mengatur kapan waktu atau jam kerja dimulai dan berakhir.

Pengaturan mulai dan berakhirnya waktu atau jam kerja setiap hari dan selama kurun waktu seminggu, harus diatur secara jelas sesuai dengan kebutuhan oleh para pihak dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Pada beberapa perusahaan, waktu kerja dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat 1 Undang-Undang No.13/2003, PP dan PKB mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (biasanya Disnaker).

Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 8 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri no.102/MEN/VI/2004). Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 minggu diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi. Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung upah sejam adalah 1/173 upah sebulan. Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004 , Rumus perhitungan upah lembur adalah sebagai berikut:
a) Perhitungan Upah Lembur Pada Hari Kerja
PERHITUNGAN UPAH LEMBUR PADA HARI KERJA
Jam Lembur
Rumus
Keterangan
Jam Pertama
1,5  X 1/173 x Upah Sebulan
Upah Sebulan adalah 100% Upah bila upah yang berlaku di perusahaan terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap.
Jam Ke-2 & 3
2   X 1/173 x Upah Sebulan
Atau 75% Upah bila Upah yang berlaku di perusahaan terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Dengan ketentuan Upah sebulan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum










Contoh :
Jam kerja Manda adalah 8 jam sehari/40 jam seminggu. Ia harus melakukan kerja lembur selama 2 jam/hari selama 2 hari. Gaji yang didapat Manda adalah Rp. 2.000.000/bulan termasuk gaji pokok dan tunjangan tetap. Berapa upah lembur yang didapat Manda? Manda hanya melakukan kerja lembur total adalah 4 jam. Take home pay Manda berupa Gaji pokok dan tunjangan tetap berarti Upah sebulan = 100% upah
Sesuai dengan rumus maka Upah Lembur Mahda :
4 jam x 1/173 x Rp. 2.000.000 = Rp.46.243

Dalam  Undang-Undang Tenaga Kerja No.13 tahun 2003 sendiri, tidak mengatur mengenai panggilan kerja secara tiba-tiba. Akan tetapi Undang-Undang No.13/2003 mengatur mengenai waktu kerja lembur pada hari kerja, hari-hari libur mingguan maupun libur resmi. Pertanyaan mengenai kerja lembur pada hari libur mingguan dan libur nasional dapat Anda lihat di “Akhir Pekan dan Perjanjian Kerja Bersama mengatur mengenai panggilan kerja secara tiba-tiba. Karena Undang-Undang Tenaga Kerja No.13 tahun 2003 tidak mengatur mengenai panggilan kerja secara tiba-tiba. Peraturan Perusahaan ataupun Perjanjian Kerja Bersama-lah yang mengatur mengenai ketentuan panggilan kerja secara tiba-tiba di hari libur.  Syarat dari pemanggilan kerja secara tiba-tiba ini adalah :
a.    Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan
b.    Terdapat pekerjaan yang membahayakan keselamatan perusahaan jika tidak cepat diselesaikan.
c.    Dalam penyelesaian pekerjaan yang sangat penting bagi perusahaan dan tetap memperhatikan saran-saran Serikat Pekerja.

Managemen perusahaan dapat mengatur jam kerja dan kerja lembur dan perhitungan upah lembur (baik melalui Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama) sepanjang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jam istirahat kerja adalah waktu untuk pemulihan setelah melakukan pekerjaan untuk waktu tertentu. Sudah merupakan kewajiban dari perusahaan untuk memberikan waktu istirahat kepada pekerjanya.Undang-Undang mengenai Jam Istirahat Kerja:
  • Setiap pekerja berhak atas istirahat antara jam kerja dalam sehari, sekurang kurangnya 1/2 jam setelah bekerja 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (Pasal 79 Undang-Undang 13/2003).  Selain itu, pengusaha wajib memberikan waktu secukupnya bagi pekerja untuk melaksanakan ibadah (Pasal 80 Undang-Undang 13/2003).
  • Masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari setelah 6 (enam) hari kerja atau tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari setelah 5 (lima) hari kerja dalam satu minggu (Pasal 79 Undang-Undang 13/2003).
  •  
Berdasarkan pasal 85 Undang-Undang no. 13 tahun 2003, pekerja tidak wajib bekerja pada hari – hari libur resmi ataupun hari libur yang ditetapkan oleh perusahaan. Karena waktu istirahat itu merupakan hak kita, maka perusahaan wajib memberikan upah penuh. Akan tetapi, ada kalanya perusahaan menuntut pekerja untuk tetap bekerja pada hari – hari libur karena sifat pekerjaan yang harus dilaksanakan terus-menerus. Perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya di hari libur, wajib membayar upah lembur.

Perjanjian Kerja Bersama mengatur mengenai Jam Istirahat Kerja Syarat-syarat kerja yang harus dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) salah satunya adalah Hari Kerja, Jam Kerja, Istirahat dan Waktu Lembur. Waktu istirahat yang sesuai dengan Undang-Undang No.13/2003, waktu istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (Pasal 79 Undang-Undang 13/2003). Dan waktu istirahat mingguan adalah 1 hari untuk 6 hari kerja/minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja/minggu (Pasal 79 Undang-Undang 13/2003).

Pada praktiknya, waktu istirahat ini diberikan oleh perusahaan pada jam makan siang, ada yang 11.30-12.30, atau 12.00-13.00 ada pula yang memberikan waktu istirahat 12.30-13.30. Ada yang memberi waktu istirahat hanya setengah jam, namun sebagian besar perusahaan memberikan waktu istirahat satu jam. Dan penentuan jam istirahat ini menjadi kebijakan dari masing-masing perusahaan yang diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Tayari and Smith (1997) menjelaskan tentang definisi shift kerja sebagai  periode waktu 24 jam  yang satu atau kelompok orang  dijadwalkan atau diatur untuk bekerja di tempat kerja. Selanjutnya Oxord Advanced Learner’s Dictionary  (2005) mendefinisikan shift kerja sebagai   suatu periode waktu  yang dikerjakan oleh sekompok pekerja  yang mulai bekerja  ketika kelompok yang lain selesai

Menurut Bhattacharya dan McGlothlin (1996) definisi shift kerja yang mendasar adalah  waktu dari sehari seorang pekerja harus berada di tempat kerja. Dengan definisi ini, semua pekerja yang dijadwalkan berada di tempat kerja secara teratur, termasuk pekerja siang hari, adalah  pekerja shift

Monk dan Folkard dalam Silaban dalam Wijayanti (2005) mengkategorikan 3 jenis sistem shift kerja, yaitu shift permanen, sistem rotasi cepat, dan sistem rotasi shift lambat.

Dalam Perjanjian Kerja Bersama, diatur lebih merinci mengenai jam kerja, waktu istirahat dan jam kerja bagi yang bekerja dengan sistem shift-shift. Dan biasanya dalam PKB pun, dirinci jam kerja shift bagi setiap divisi (contoh divisi produksi, keamanan, dan lain-lain).
lama waktu istirahat kerja dalam sehari yang berhak didapatkan karyawan, Setiap karyawan berhak atas istirahat antara jam kerja dalam sehari, sekurang kurangnya 1/2 jam setelah bekerja 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Selain itu, pengusaha wajib memberikan waktu secukupnya bagi karyawannya untuk melaksanakan ibadah.

Pengaturan jam kerja dalam sistem shift diatur dalam Undang-Undang no.13/2003 mengenai Ketenagakerjaan yaitu diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

·    Jika jam kerja di lingkungan suatu perusahaan atau badan hukum lainnya (selanjutnya disebut “perusahaan”) ditentukan 3 (tiga) shift, pembagian setiap shift adalah maksimum 8 jam per-hari, termasuk istirahat antar jam kerja (Pasal 79 ayat 2 huruf a Undang-Undang No.13/2003)
·   Jumlah jam kerja secara akumulatif masing-masing shift tidak boleh lebih dari 40 jam per minggu (Pasal 77 ayat 2 Undang-Undang No.13/2003).
·    Setiap pekerja yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja 8 jam/hari per-shift atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40  jam per minggu, harus sepengetahuan dan dengan surat perintah (tertulis) dari pimpinan (management) perusahaan yang diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur (Pasal 78 ayat 2 Undang-Undang No.13/2003).

Dalam penerapannya, terdapat pekerjaan yang dijalankan terus-menerus yang dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift. Menurut Kepmenakertrans No.233/Men/2003, yang dimaksud dengan pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus disini adalah pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha. Contoh-contoh pekerjaan yang jenis dan sifatnya harus dilakukan terus menerus adalah : pekerjaan bidang jasa kesehatan, pariwisata, transportasi, pos dan telekomunikasi, penyediaan listrik, pusat perbelanjaan, media massa, pengamanan dan lain lain yang diatur dalam Kep.233/Men/2003 pasal 2.

Ada pula peraturan khusus yang mengatur mengenai pembagian waktu kerja bagi para Satpam yaitu SKB Menakertrans dan Kapolri Nomor Kep.275/Men/1989 dan Nomor Pol.Kep/04/V/1989. Dan juga peraturan khusus mengenai waktu kerja bagi pekerja di sektor usaha energi dan sumber daya mineral yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.234//Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.

Undang-Undang mengenai pekerja perempuan yang bekerja shift malam
Menurut pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, yang artinya pekerja perempuan diatas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 sampai 07.00). Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Perjanjian Kerja Bersama mengatur mengenai kerja shift pagi, siang dan malam Karena tidak diatur secara spesifik mengenai pembagian jam kerja ke dalam shift-shift dalam Undang-Undang No.13/2003, berapa jam seharusnya 1 shift dilakukan, maka pihak manajemen perusahaan dapat melakukan pengaturan jam kerja shift (baik melalui Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja maupun Perjanjian Kerja Bersama) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kabaj, 1978;  Tilley et al., 1982; Schultz and Schultz, 1986, dalam . Tayari  and Smith (1997) mengungkapkan bahwa  kerja shift dapat mempengaruhi kinerja karyawan dalam berbagai cara. Namun demikian  pengaruh sekunder tidak penting dibandingkan  pengaruh lain dari kerja shift. Pengaruh utama adalah psikologis, sosial dan pribadi. Pengaruh dari kerja shift pada kinerja karyawan dapat diringkas sebagai berikut:
1)   Secara umum, kinerja kerja shift dipengaruhi oleh kombinasi  dari faktor-faktor berikut:
Tipe pekerjaan. Pekerjaaan yang menuntut  secara mental (seperti inspeksi dan  kontrol kualitas) memerlukan  kesabaran dan kehati-hatian. Pekerja shift  mungkin  akan kekurangan dua hal tersebut.
Tipe sistem shift. Gangguan irama tubuh (circadian rhythms) dapat  menimbulkan kerugian  terhadap kemampuan fisik dan mental pekerja shift,  khususnya ketika  perubahan shift kerja dan shift malam.
Tipe pekerja. Untuk contoh, pekerja yang telah berusia tua memiliki kemampuan yang minimal untuk  untuk menstabilkan irama tubuh ketika perubahan shift kerja.
2)   Kinerja shift malam  yang rendah dapat dikaitkan dengan;
Ritme tubuh yang terganggu
Adaptasi yang lambat terhadap kerja shift malam
Pekerja lebih produktif  pada shift siang daripada shift malam
Pekerja membuat sedikit kesalahan  dan kecelakaan pada  shift siang daripada shift malam.
Kehati-hatian pekerja  menurun selama kerja shift malam,  khususnya ketika pagi-pagi sekali. Hal ini mungkin penting diperhatikan terutama untuk tugas-tugas yang memerlukan pengawasan yang terus-menerus (seperti operator mesin)
Jika pekerja  tidak mendapatkan tidur yang cukup  untuk shift kerja, kinerja  dapat dipengaruhi secara buruk khususnya  pekerjaan yang memerlukan  tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Sudah merupakan kewajiban dari perusahaan untuk memberikan waktu istirahat kepada pekerjanya. Masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari setelah 6 (enam) hari kerja atau tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari setelah 5 (lima) hari kerja dalam satu minggu dan berdasarkan Undang – Undang no. 13 pasal 85 tahun 2003, pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi ataupun hari libur yang ditetapkan oleh perusahaan. Karena waktu istirahat itu merupakan hak kita, maka perusahaan wajib memberikan upah penuh. Akan tetapi, ada kalanya perusahaan menuntut pekerja untuk tetap bekerja pada hari-hari libur karena sifat pekerjaan yang harus dilaksanakan terus-menerus. Perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya di hari libur, wajib membayar upah lembur.

Jam kerja yang sesuai dengan Undang-Undang di Indonesia adalah 40 jam/minggu, untuk jam kerja lebih dari itu, perusahaan wajib membayarkan upah lembur. Apabila perusahaan tidak memberikan upah lembur, pekerja bisa menuntut via manajemen sumber daya manusia di perusahaan tersebut ataupun berkonsultasi dengan serikat buruh dan perusahaan pun bisa terkena sanksi pidana/administratif.
Akan tetapi, terkadang ada perusahaan di jenis pekerjaan tertentu yang memang mengharuskan pekerjanya untuk bekerja lebih dari jam kerja standar. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu harus memenuhi syarat :

ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu

Biasanya perusahaan akan memberi tahu jam kerja kita yang melebihi standar dan sistem pengupahannya pada saat interview dan kita berhak melakukan negosiasi mengenai hal ini. Kesepakatan jam kerja itu akan ditulis dalam Surat Perjanjian Kerja. Jika telah terjadi kesepakatan mengenai hal ini, kita tidak bisa menuntut.


Chapter 1: The Hidden Secrets of Trade

I. Introduction In the bustling world of global commerce, where goods and services flow across borders with the speed of light, there exists...