Penjelasan Tentang Tawassul
PENJELASAN LEBIH RINCI TENTANG TAWASSUL
Secara bahasa, tawassul artinya taqarrub atau mendekatkan diri. Seperti kita berkata bahwa saya bertawassul kepada Allah dengan amal, maksudnya saya bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah lewat amal shalih.
Tawassul adalah salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan Allah SWT, dengan segala tata cara yang telah ditetapkan. Bahkan ada perintah khusus buat kita untuk bertawassul, sebagaimana firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah: 35)
Bahkan Allah SWT memuji orang yang bertawassul dalam salah satu firman-Nya:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورً
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang ditakuti. (QS. Al-Isra': 57)
Tata Cara Tawassul Yang Disepakati Kebolehannya
Namun seperti apa bentuk bertawassul ini, para ulama telah bersepakat pada beberapa cara dan tidak bersepakat dalam beberapa cara lainnya.
1. Tawassul dengan Iman dan Amal Shalih
Ini adalah tata cara tawassul yang disepakati ulama. Salah satu dalilnya yang paling masyhur adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dalam Shahih Bukhari tentang kisah tiga orang yang terkurung di dalam gua lalu berdoa kepada Allah dengan bertawassul lewat amal-amal shalih yang pernah mereka kerjakan.
Orang pertama berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah begadang semalaman menunggu kedua orang tuanya bangun dari tidur, dengan memegang susu yang ingin diberikan kepada mereka.
Orang kedua berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah hampir jatuh di lembah zina da hampir saja melakukanya, namun tiba-tiba dia tersadar dan tidak jadi melakukanya.
Orang ketiga berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah menjaga amanah harta milik karyawannya yang tidak diambil, sampai harta itu kemudian menjadi peternakan besar, lalu tiba-tiba karyawannya itu mengambil semuanya tanpa menyisakan sedikit pun.
Maka dengan dasar tawassul atas amal shalih ketiga orang itu, bergeserlah batu besar yang menutup gua dan selamatlah ketiga orang itu.
2. Tawassul Dengan Menyebut Nama dan Sifat Allah
Para ulama sepakat ketika kita berdoa, hendaklah kita memanggil Allah dengan nama-nama Allah SWT serta sifat-sifat-Nya. Sebagaimana tindakan Nabi Muhammad SAW yang bila mendapatkan beban tertentu, beliau berdoa dengan memanggil nama Allah.
ياحي يا قيوم برحمتك أستغيث
Wahai Tuhan Yang Maha Hidup dan Kekal, dengan rahmat-Mu aku bermohon.
Selain itu Rasulullah SAW juga diriwayatkan pernah berdoa dengan lafadz seperti ini:
أسألك بكل اسم سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أو استأثرت به في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلبي ونور بصري وجلاء حزني وذهاب همي
Aku meminta kepada Mu dengan semua nama yang Engkau namakan diri-Mu, atau nama-nama yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau nama-nama yang Engkau ajarkan seseorag dari makhluk-Mu, atau nama-nama yang Engkau khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu: Agar Engkau jadikan Al-Quran sebagai musim semi hatiku, cahaya pandanganku, pelipur laraku serta pengusir kesalku.
Maka bertawasul dengan menyebut nama-nama Allah yang indah adalah perintah agama.
3. Tawassul Dengan Nabi Muhammad di Masa Hidupnya
Ketika Rasulullah SAW masih hidup banyak para shahabat yang minta didoakan oleh Rasulullah SAW. Minta didoakan termasuk juga perkara tawassul, dan hukumnya dibolehkan para ulama dengan sepakat, tanpa ada yang berbeda pandangan.
Baik doa yang terkait dengan mashlahat dunia atau pun dengan mashlahat akhirat.
Cara Tawassul Yang Tidak Disepakati Kebolehannya
Yang jadi titik perbedaan pandangan para ulama adalah ketika sekarang Rasulullah SAW sudah wafat, apakah kita masih boleh bertawassul lewat beliau, dalam arti dengan menyebutkan dzat atau kedudukan (jaah) Rasulullah SAW ketika kita meminta kepada Allah.
Misalnya lafadz doa: Ya Allah, kami meminta kepada- Mu dengan perantaraan nabi-Mu. Atau lafadz lainnya seperti "Allahumma inni as'aluka bi jaahi nabiyyika", yang artinya, "Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan jaah nabi Mu."
Dalam masalah ini, memang kita dapati para ulama berbeda pendapat, sebagian ada yang membolehkan, namun sebagian lainnya tidak membolehkan. Dan sebagiannya sekedar memakruhkan. Tentunya masing-masing tidak asal berfatwa, sebab mereka bukan sekedar penceramah yang banyak bicara tapi tanpa punya ilmu.
Para ulama adalah ulama dalam arti kata yang sesungguhnya. Mereka punya ilmu dan telah memenuhi semua persyaratan sebagai mujtahid. Tentu semua ayat Quran dan hadits telah dilalap habis dan metodologi pengambilan hukum pun telah matang dikuasai. Kalau hasilnya berbeda, memang sesuatu yang sifatnya lumrah dan biasa terjadi.
1. Pendapat Yang Membolehkan
Di antara para ulama yang membolehkan adalah para jumhur ulama, di antaranya adalah para ulama mutaakhkhirin dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah. Juga para ulama dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Keterangan tentang hal itu bisa kita dapati di beberapa rujukan seperti kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab jilid 8 halaman 274. Juga kita dapati di dalam kitab Syarah Al-Mawahib jilid 8 halaman 304 dan kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah jilid 1 halaman 266 serta kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 148.
1.1. Pendapat Sebagian Ulama Hanafiyah (Mutaakhkhirin)
Al-Kamal bin Al-Hammam, ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah termasuk yang membolehkan bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
Dalam kitab Fathul Qadir, beliau menyebutkan bahwa hendaklah orang yang berziarah ke makam Rasulullah SAW itu mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW (assalamu 'alaika), lalu silahkan menyampaikan hajatnya kepada Allah dengan bertawassul kehadhirat Rasulullah SAW.
1. 2. Mazhab Malik
Diriwayatkan dalam kitab Fadhailu Malik (Keutamaan Imam Malik) karya Abul Hasan Ali bin Fihr, bahwa Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya oleh Abu Ja'far Al-Manshur, khalifah yang kedua dari dinasti Khilafah Abbasiyah.
"Wahai Aba Abdillah, apakah Aku harus menghadap kubur Rasulullah lalu berdoa, ataukah Aku menghadap kiblat lalu berdoa?"
Al-Imam Malik menjawab, "Kenapa Anda harus memalingkan wajah dari kubur Rasulullah SAW? Padahal Rasulullah SAW adalah wasilah (perantaraan) bagimu kepada Allah di hari kiamat, bahkan beliau SAW juga merupakan wasilah buat Nabi Adam alaihissalam kepada Allah. Silahkan hadapkan dirimu kepada Rasulullah SAW dan mintalah syafaat agar Allah SWT memberimu syafaat."
Kisah ini ternyata bukan hanya terdapat di satu kitab, tetapi ada kitab lain, misalnya kitab Asy-Syifa' karya Al-Qadhi 'Iyyadh lewat jalurnya dari para masyaikh-nya yang tsiqah.
1. 3. Mazhab Asy-Syafi'i
An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi yang menganut mazhab Syafi'i dalam adab ziarah kubur Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa di antara adabnya adalah hendaklah peziarah kembali ke arah kubur Rasulullah SAW, lalu bertawassul, dan meminta syafaat dengannya kepada tuhannya.
Al-'Izz ibnu Abdissalam yang juga masih dari kalangan mazhab Asy-Syafi'i mengatakan bahwa hendaknya urusan bertawassul ini satu-satunya yang dibenarkan lewat seseorang hanya lewat Rasulullah SAW saja, tidak lewat nabi yang lain, atau para malaikat, apalagi para wali. Sebab Rasulullah SAW adalah sayyidu waladi Adam, jujungan semua anak Adam.
As-Subki mengatakan bahwa hukum bertawassul, istighatsah serta meminta syafaat kepada Nabi Muhammad SAW adalah hal yang merupakan kebaikan.
1. 4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah dari kalangan ulama mazhab Al-Hanabilah dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:
"Dan dicintai bila seseorang masuk ke dalam masjid agar mendahulukan kaki kanannya. Sampai kepada kalimat: Kemudian hendaklah dia mendatangi kubur Nabi Muhammad SAW dan berdoa:
"Aku telah datang kepada Baginda dengan meminta ampun dari dosa-dosaku, dengan memohon syafaat lewatmu kepada tuhanku".
Kesimpulannya, umumnya para ulama dari berbagai mazhab tidak mengharamkan kita bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Lawan dari pendapat pertama adalah pendapat kedua, yaitu mereka yang mengharamkan bertawassul dengan diri Nabi Muhammad SAW.
Mereka yang termasuk mengharamkan bertawassul dengan diri Rasulullah SAW antara lain Ibnu Taimiyah dan sebagian dari ulama mutaakhkhirin dari kalangan mazhab Hambali.
Lebih detailnya, yang mereka haramkan adalah adalah bila bertawassul dengan dzat Rasulullah SAW. Sedangkan bertawassul kepada Rasulullah SAW dalam arti mentaati perintah beliau atau meminta didoakan oleh Rasulullah SAW dalam masa hidup beliau, tentu tidak termasuk yang diharamkan.
Namun penting untuk dicatat, bahwa bila Ibnu Taimiyah mengharamkan bertawassul kepada diri Nabi SAW, bukan berarti beliau membolehkan untuk menuduh kafir kepada mereka yang membolehkan bertawassul.
Ibnu Taimiyah tegas sekali menyebutkan bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah di tengah umat. Barangkali beliau tahu bahwa begitu banyak ulama besar di masa salah yang membolehkan bertawassul kepada diri nabi Muhammad SAW. Sehingga ada semacam pesan khusus untuk tidak boleh mengkafirkan pendapat yang membolehkan tawassul.
Silahkan periksa kitab Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 1 halaman 106 tentang pendapat beliau dalam masalah tawassul ini, serta pandangan beliau yang tidak mengkafirkan orang yang membolehkannya.
3. Pendapat Yang Memakruhkan
Kalau pendapat pertama membolehkan, dan pendapat kedua mengharamkan, maka pendapat yang ketiga memakruhkan. Benar juga apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa masalah ini ternyata adalah masalah khilafiyah.
Mereka yang mewakili pendapat ketiga ini adalah Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad. Mereka bertiga kompak untuk mengatakan bahwa tindakan bertawassul kepada diri Rasululllah SAW itu bukan haram, melainkan tindakan yang hukumnya makruh.
Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah, "Tidak pantas bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan menyebut nama dan sifat Allah. Sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berdoa dengan menyebut nama-nama indah (al-asma'ul husna)."
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raf: 180)
Di dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar disebutkan: Yang lebih hati-hati adalah tidak melakukan tawassul kepada Rasul. Sebab dalil yang membolehkannya hanya berupa khabar wahid, sedangkan yang tidak membolehkannnya adalah dalil yang qath'i.
Lihat dan periksa kitab Hasyiatu Ath-Thahawi ala Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 4 halaman 199.
Kesimpulan
1. Bertawassul adalah perintah Allah SWT dan bagian dari ibadah ritual yang punya dasar masyru''iyah.
2. Tawassul yang disepakati kebolehannya oleh para ulama adalah bertawassul dengan al-asmaul husna (nama Allah yang indah) serta lewat sifat-sifat-Nya. Dan juga bertawassul dengan iman serta amal shalih. Dan bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup dengan cara minta didoakan.
3. Bertawassul kepada diri Rasulullah SAW setelah beliau wafat hukumnya khilaf di tengah para ulama, ada yang membolehkan yaitu jumhur ulama, ada yang mengharamkan seperti Ibnu Taimiyah dan ada yang memakruhkan seperti Abu Hanifah dan dua muridnya.
4. Ibnu Taimiyah yang mengharamkan tawassul kepada Rasul setelah beliau wafat tidak mengkafirkan pihak-pihak yang membolehkan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
AJARAN KAUM SUFI TENTANG (BATAS) KEMAMPUAN
Mereka mengakui bahwa setiap tarikan nafas, setiap lirikan mata dan setiap gerakan mereka bisa terjadi berkat indera yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, dan merupakan suatu kemampuan yang Dia ciptakan untuk mereka bersamaan dengan tindakan-tindakan mereka, bukan sebelumnya atau sesudahnya, dan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilaksanakan tanpa ini semua; sebab, kalau tidak, berarti mereka memiliki sifat Tuhan, bisa melakukan segala yang mereka inginkan dan menetapkan segala yang mereka kehendaki, dan Tuhan tidak lagi akan menjadi Yang Maha Kuat, Yang Maha Berkuasa seperti dalam firman-Nya: "Begitulah Allah berbuat menurut kehendak-Nya, tidak lebih dari budak yang melarat, lemah dan hina.
Jika saja kemampuan ini ditentukan oleh pemilikan anggota badan yang sehat, maka tiap orang yang memiliki karunia itu akan dapat mencapai taraf yang sama; tapi pengalaman menunjukkan bahwa seseorang dapat saja memiliki anggota badan yang sehat, sedang tindakannya bisa jadi tidak sama sehatnya. Dengan demikian maka kemampuan tidak berasal dari indera dan menjelmakan dirinya dalam badan yang sehat; indera adalah sesuatu yang beragam tingkatannya pada berbagai saat, seperti yang bisa dilihat oleh orang pada dirinya sendiri. Lebih-lebih, karena indera itu merupakan suatu aksiden, dan aksiden itu tidak dapat bertahan sendiri, atau bertahan lewat sesuatu yang bertahan di dalamnya sebab jika sebuah benda tidak ada dengan sendirinya, dan tidak sesuatu pun bisa jadi ada karenanya, maka benda itu tidak dapat bertahan lewat pertahanan benda lain, sebab pertahanan benda lain itu tidak mengandung arti pertahanan untuknya, maka hal itu berarti benda itu tidak memiliki pertahanan sendiri; dan karenanya, tidak dapat tidak, kesimpulannya adalah indera masing-masing tindakan itu berbeda dari indera tindakan lain. Jika halnya tidak demikian, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Tuhan pada saat mereka bertindak, dan firman Tuhan, "Dan kepada Engkaulah kami mohon pertolongan", tidak akan ada artinya. Lebih jauh lagi, jika indera itu tidak ada sebelum adanya tindakan, dan tidak dapat bertahan sampai adanya tindakan tersebut, maka tindakan itu pasti dilakukan dengan indera yang telah tiada, yaitu tanpa indera apa pun; yang mengisyaratkan putusnya hubungan antara Tuhan dan hamba sekaligus. Sebab jika demikian halnya, maka jelas mungkin bahwa tindakan-tindakan itu bisa ada dengan sendirinya, tanpa perantara. Tapi Tuhan berfirman, dalam kisah Musa dan hamba-Nya yang kuat (Khidzir), "Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku" dan juga, "Demikianlah penjelasan persoalan yang kamu tidak sanggup sabar menghadapinya itu, yang Dia maksudkan sebagai yang tidak kamu miliki indera untuk melakukannya.
Mereka mengakui bahwa mereka diberi kepercayaan dengan tindakan-tindakan dan tanggung jawab dalam arti sejatinya, yang untuknya mereka diberi pahala dan dihukum; dan oleh sebab itu Tuhan mengeluarkan perintah dan larangan, dan menyampaikan berita gembira serta ancaman-ancaman. Arti istilah tanggung jawab itu adalah bahwa manusia bertindak karena sebuah indera yang dibuat (oleh Tuhan). Seorang tokoh Sufi berkata: Makna tanggung jawab adalah bahwa manusia itu bertindak demi mencari keuntungan atau menolak kesialan, maka Tuhan berfirman, Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri, dan yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri pula. Lebih jauh mereka akui bahwa mereka melaksanakan kehendak dan keinginan bebas yang menyangkut tanggung jawab mereka, dan bahwa mereka tidak dipaksa atau ditekan di luar kemauan mereka. Yang kami maksud dengan kehendak-bebas Tuhan dipatuhi bukan karena terpaksa, atau tidak dipatuhi dikarenakan tekanan yang berlebihan; Dia tidak meninggalkan hamba-Nya sama sekali tanpa melakukan sesuatu di kerajaan-Nya. Sahl ibn Abdillah berkata: Tuhan tidak memberi kekuatan kepada orang yang saleh lewat paksaan, Dia menguatkan mereka lewat iman. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata: Siapa pun yang tidak percaya pada takdir adalah orang kafir, dan siapa pun yang mengatakan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak patuh pada Tuhan adalah seorang pendosa.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PENGLIHATAN (NAZHAR)
Para Sufi mengakui bahwa Tuhan akan bisa dilihat dengan mata di dunia mendatang, dan bahwa orang-orang yang beriman akan bisa melihat-Nya sedang orang-orang yang tak beriman tidak. Sebab, itu merupakan karunia Tuhan sebagaimana yang difirmankan: "Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala dan bahkan ada pula tambahannya."
Mereka berpendapat bahwa penglihatan itu, lewat akal, mungkin, dan lewat pendengaran, pasti. Mengenai kemungkinan melihat melalui akal, hal ini mungkin karena Tuhan itu maujud, dan segala sesuatu yang maujud (logisnya) bisa dilihat. Sebab Tuhan telah menanamkan daya lihat dalam diri kita; dan jika daya lihat Tuhan itu tidak ada, maka permohonan Musa, "Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu," akan merupakan (bukti) kebodohan dan kekafiran. Lebih-lebih, ketika Tuhan menjadikan penglihatan itu tergantung pada syarat bahwa gunung itu harus tetap tegak (Dia berfirman, "Kalau bukit itu masih tetap tegak di tempatnya semula, mungkin engkau dapat melihat Aku."), dan mengingat juga bahwa tetap tegaknya bukit itu secara nalar mungkin kalau memang Tuhan membuatnya tetap tegak maka hal ini berarti bahwa penglihatan yang tergantung pada hal itu (tetap tegaknya gunung) pun secara nalar mungkin dan bisa diterima. Maka, karena telah ditetapkan bahwa penglihatan lewat akal itu mungkin, dan lebih-lebih karena telah dibuktikan bahwa penglihatan lewat pendengaran tersebut pasti Tuhan berfirman, "Saat wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri-seri, melepas pandang kepada Tuhan-nya," dan lagi, "Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang baik dan bahkan ada pula tambahannya," dan lagi, "Tidak, yang sebenarnya mereka pada waktu itu benar-benar ditutup dari rahmat Tuhan." dan karena hadits menegaskan bahwa penglihatan itu memang ada, seperti kata Nabi, "Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu seperti kamu melihat bulan purnama di malam hari, tanpa kebingungan mencari-cari Dia," yang mengenainya banyak kisah masyhur dan sahih, maka perlulah kita menegaskan hal ini, dan percaya bahwa hal itu benar.
Penafsiran esoteris (batiniah) orang-orang yang menyangkal kemungkinan penglihatan akan Tuhan, seperti misalnya mereka yang menafsirkan melepas pandang kepada Tuhannya, sebagai memandang kepada pahala Tuhannya, sama sekali tak bisa dibenarkan, sebab pahala dari Tuhan itu tidak sama dengan Tuhan. Demikian juga dengan mereka yang mengatakan bahwa perlihatkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu, merupakan permohonan akan sebuah tanda; hal ini tak bisa dibenarkan, sebab Tuhan sebelumnya telah memperlihatkan tanda-tanda-Nya kepada Musa. Demikian pula halnya dengan mereka yang menafsirkan ayat: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata," dengan pengertian: karena Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata di dunia ini, maka begitu juga di dunia nanti. Tuhan memang menyangkal bahwa Dia dapat dicapai oleh penglihatan, sebab penglihatan seperti itu akan mengisyaratkan cara (kaifiyah) dan pembatasan. Dengan demikian, yang disangkal-Nya adalah penglihatan yang mengisyaratkan cara dan pembatasan, bukan penglihatan yang di dalamnya tidak ada cara, tidak pula pembatasan.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, baik dengan mata maupun dengan hati, kecuali dari sudut pandang iman; sebab penglihatan ini merupakan puncak karunia dan rahmat paling mulia, dan karena itu tidak dapat terjadi kecuali di tempat yang paling mulia. Jika mereka telah diberi rahmat yang paling mulia itu di dunia ini, maka tidak akan ada bedanya antara dunia ini, yang akan lenyap nanti, dengan surga yang. abadi; dan karena Tuhan telah mencegah manusia yang diajak-Nya berbicara itu dari mendapatkannya di dunia kini, wajarlah kalau manusia-manusia lain yang berada di tingkat lebih di bawah dicegah juga. Lebih-lebih, dunia ini merupakan tempat tinggal sementara, sehingga mustahillah kalau Yang Kekal dapat dilihat di tempat tinggal yang sementara itu. Lebih jauh lagi, jika mereka telah melihat Tuhan di dunia ini, kepercayaan mereka terhadap-Nya akan bersifat aksiomatis (dharurah). Pendeknya, Tuhan telah menyatakan bahwa penglihatan itu akan diberikan-Nya di dunia nanti, bukan di dunia ini. Oleh sebab itu, perlulah seseorang membatasi diri pada apa yang telah dinyatakan dengan jelas oleh Tuhan.
DEFINISI TASAWUF
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.
Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.
Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:
Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.
Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):
Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".
Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.
Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik.
MAKNA BASMALLAH
Telah menjadi semacam keharusan pada setiap penulisan materi keagamaan untuk mengemukakan pembahasan kalimat Bismillâhirrahmânirrahîm (Basmallah) pada setiap Muqaddimah. Di sini makna Basmallah akan dibahas sebagai salah satu bagian pembahasan ilmu tasawuf.
Akan tetapi sebelum sampai kepada pembahasan kata demi kata dari makna Basmallah, karena kitab ini menguraikan sekitar ilmu tasawuf, maka terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian tasawuf secara singkat.
Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang membahas secara karakteristik sifat dan sikap manusia baik yang terpuji maupun yang tercela. Di sini terkandung maksud agar manusia mampu membersihkan hati dan jiwanya sebagai tujuan utama pengamalan ilmu tasawuf dan pintu gerbang memasuki alam shufiyah. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia ber-taqarrub dan ber-musyahadah dengan Allah SWT.
Hukum mempelajari ilmu tasawuf, melihat peranannya bagi jiwa manusia, adalah wajib 'ain bagi setiap mukallaf. Sebab apabila mempelajari semua hal yang akan memperbaiki dan memperbagus lahiriyah menjadi wajib, maka demikian juga halnya mempelajari semua ilmu yang akan memperbaiki dan memperbagus batiniyah manusia.
Karena fungsi ilmu tasawuf adalah untuk mensucikan batin agar dalam ber-musyahadah kepada Allah semakin kuat, maka kedudukan ilmu tasawuf diantara ajaran Islam merupakan induk dari semua ilmu. Hubungan tasawuf dengan aspek batin manusia, adalah seperti hubungan Fiqh dengan aspek lahiriyah manusia. Para ulama penegak pilar-pilar yang menjadi sandaran ilmu tasawuf telah menciptakan istilah-istilah untuk memudahkan jalan bagi mereka yang ingin menapak ilmu tasawuf yang sesuai dengan kedudukannya sebagai pembersih dan pensuci hati dan jiwa.
Sampailah kita pada uraian tentang makna Basmallah. Sunnah Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar setiap muslim sebelum memulai suatu perbuatan hendaklah didahului dengan mengucapkan kalimat Bismillâhirrahmânirrahîm. Sebab ucapan itu akan memberi keberkatan ketika bekerja dan mendapatkan rahmat Allah.
Ilmu tasawuf dengan rinci menguraikan makna Basmallah dari segi bahasa sebagai berikut:
Lafal bermakna (kemegahan Allah).
Lafal bermakna (keluhuran Allah).
Lafal bermakna (kemuliaan Allah).
Ulama tasawuf lainnya memberi makna:
Lafal bermakna (tangisan orang yang bertobat).
Lafal bermakna (lupanya orang-orang yang lalai).
Lafal bermakna (ampunan Allah bagi orang-orang berdosa).
Lafal bermakna (orang-orang yang suci).
Lafal bermakna (orang-orang yang menepati janji).
Lafal bermakna (orang-orang yang keras hati).
Dikatakan juga oleh para sufi bahwa Allah SWT menyimpan semua ilmu pada huruf Ba ( ) dalam ungkapan yang berbunyi BÎ KÂNA WA MÂ KÂNA ( ) BÎ YAKÛNU WA MÂ YAKÛNU ( ) artinya:
"Hanya dengan izin-Ku (Allah) jua segala sesuatu yang telah ada itu dapat terwujud, dan hanya dengan izin Allah sajalah semua yang akan ada dapat terwujud."
Sehingga dengan demikian lebih jelaslah, bahwa wujud alam dan seluruh isinya hanyalah karena izin Allah dan hakikat segala perwujudan ini adalah atas nama Allah belaka.
Syarat-syarat diterimanya doa seorang hamba diantaranya adalah makanan yang halal, perut dan anggota tubuh lainnya harus bebas dari makanan dan minuman yang haram.
Mengisi perut dengan makanan yang halal, yang kelak akan membentuk kebersihan seluruh jasad, mempercepat diterimanya doa dan permohonan kepada Allah SWT. Doa seperti dijelaskan, merupakan pembuka pintu langit, sedang kunci-kuncinya adalah makanan yang halal. Syarat lainnya adalah permohonan dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang khusu'.
Allah berfirman: "Mohonlah kepada Allah dengan penuh keikhlasan....."
Allah SWT pernah berfirman kepada Nabi Musa AS: "Wahai Musa, jika engkau berkeinginan agar doamu terkabul, maka hindarilah makanan yang masuk ke dalam perutmu dari makanan yang haram dan jagalah anggota tubuhmu dari perbuatan dosa."
Lafal ar-Rahmân ( ) adalah rahmat Allah yang sangat banyak bagi semua makhluk. Sesuai dengan rahmat Allah itu, maka hendaklah manusia menaruh rasa belas kasih kepada sesama makhluk.
Ka'bul Akhbar mengatakan bahwa di dalam Kitab Injil tertera kalimat yang berbunyi: "Wahai anak Adam, karena Allah telah mengasihimu, maka kasihi pula sesamamu. Bagaimana kalian akan mengharapkan rahmat Allah, apabila kalian tidak menaruh rasa kasih kepada sesama hamba Allah?"
Lafal ar-Rahîm ( ) adalah rahmat yang banyak dan khusus serta terinci dari Allah kepada hamba-hamba-Nya jika ia memohon. Bahkan Allah akan murka kepada hamba yang tidak berdoa kepada-Nya.
Dalam suatu riwayat Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Allah SWT sangat murka kepada orang yang enggan berdoa." (HR. Bukhari).
Dikatakan juga oleh seorang Sufi: Kami tidak melihat sesuatu kecuali kami melihat Allah berada padanya (di sisinya)."
Hikmah mengawali Basmallah dengan huruf Ba ( ) bukan huruf lain, lalu huruf alif ( ) ditiadakan pada lafal ismu ( ) diganti oleh huruf Ba ( ), sebab huruf Ba termasuk huruf syafawi yang memiliki sifat Infitah ( ) = terbuka. Diucapkan dengan bibir terbuka tidak sama dengan huruf-huruf lainnya.
Kaitannya ialah, karena huruf ba ( ) pertama-tama keluar dari mulut manusia di awal penciptaannya, seperti firman Allah ALASTU BIRABBIKUM ( ) artinya: "Bukankah Aku Tuhan kalian," kemudian dijawab dengan kalimat BALÂ ( ) artinya: "Benar Engkau Tuhan kami." Kalimat tersebut dimulai dengan huruf Ba.
Bismillâhirrahmânirrahîm huruf pertamanya adalah Ba ( ), terbaca kasrah ( ), karena di dalam ucapan itu terdapat sesuatu yamg rendah dan sulit, yang bermakna
"Aku menemukan bahwa kemuliaan yang sesungguhnya hanyalah pada Allah SWT."
Sebagaimana bunyi ungkapan:
"Saya bersama dengan orang-orang yang bersedih hati." Nabi SAW bersabda seperti bunyi ungkapan di atas: "Barangsiapa yang suka merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya."
Huruf alif dalam kalimat Basmallah dihilangkan karena huruf alif ( ) dianggap mengandung makna kesombongan.
Pendapat yang masyur tentang lafal Allâh ( ), karena lafal Allâh ( ), termasuk Ismul zham,( ) yakni nama-nama Allah yang Agung. Dengan isim ini manusia menjadikannya sebagai perantara ketika berdoa agar doanya dikabulkan Allah.
Dijelaskan bahwa setiap doa dan permohonan harus dengan adab dan sejumlah syarat. Tanpa dipenuhinya syarat-syarat dan adab ini maka doa sulit dikabulkan. Rasulullah SAW bersabda :
"Pada suatu malam ketika aku dimi'rajkan ke langit, maka diperlihatkan kepadaku keadaan-keadaan surga. Ada surga yang terdapat empat sungai di dalamnya. Satu sungai mengalirkan air tawar, ada sungai yang mengalirkan air susu, ada yang mengalirkan arak, dan satu lagi mengalirkan madu. Aku bertanya kepada malaikat fibril, dimana sumber air itu dan ke arah mana mengalirnya. Jibril menjawab, "Sungai-sungai itu mengalir ke sebuah telaga yang bernama al-Kautsar. Akan tetapi saya tidak mengetahui di mana letak sumbernya. Mohonlah kepada Allah agar engkau diberitahu sumber keempat sungai itu." Aku pun memohon kepada Allah, sehingga datang sesosok malaikat. Sambil mengucapkan salam malaikat itu berkata:
"Wahai Muhammad pejamkan kedua matamu". Setelah itu malaikat tersebut menyuruhku membuka mata kembali. Di saat aku membuka mataku, aku telah berada di samping sebuah pohon, dan di situ aku melihat sebuah Kubah yang terbuat dari mutiara burung-burung yang sedang bertengger di atas bukit-bukit. Adapun sumber air sungai yang empat itu berada di bawah Kubah. Ketika aku akan kembali pulang, malaikat itu memanggil seraya berkata: "Mengapa engkau tidak masuk ke dalam Kubah itu?" Aku menjawab, "bagaimana aku bisa masuk sedangkan pintunya masih terkunci. Malaikatitu berkata: "Kuncinya adalah membaca Bismilâhirrahmânirrahîm." Akupun mendekati pintu itu seraya mengucapkan Bismillâhirrahmânirrahîm. Maka terbukalah pintu itu sehingga aku masuk ke dalamnya. Maka tahulah aku sumber empat sungai tersebut yang airnya mengalir berasal dari empat sudut Kubah itu."
Sungai yang mengalirkan air tawar berasal dari huruf MIM ( ) dari lafal BISMI ( ). Sumber air susu, berasal dari HA ( ) dari lafal Allah. Sumber arak, berasal dari huruf MIM ( ) dari lafal Rahman. Sedangkan sumber madu berasal dari huruf MIM ( ), lafal Rahim dengan demikian tahulah aku bahwa sumber empat sungai itu berasal dari lafal BASMALLAH."
Allah SWT berfirman dalam salah satu Hadits Qudsi:
"Barangsiapa mengingat Aku dengan menyebut nama-nama-Ku (termasuk Asmaul Husna), dengan hati yang ikhlas, tidak diperlihatkan kepada orang lain, dimulai dengan mengucapkan Bismillâhirrahmânirrahîm, maka ia kan menikmati minuman dari air sungai-sungai itu." Diterangkan pula dalam hadits lain: "Allah SWT tidak menolak doa yang diawali dengan Bismillâhirrahmânirrahîm."
MAKNA AMALAN SUFI (HAMDALLAH)
Makna Hamdallah
"Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan Sang Penolong, bagi-Nya segala keagungan, terpujilah Dia sepadan dengan semua kemuliaan pada-Nya semua kebaikan dan kesempurnaan."
Syair di atas mengisyaratkan bahwa setelah bacaan basmallah maka dilanjutkan dengan hamdallah. Hal ini sesuai pula dengan sunnah Nabi SAW. Karena sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang suka mengucapkan puji dan puja kepada-Nya
Dalam hadits marfu' yang diriwayatkan oleh ad-Dailami diterangkan, "Sesungguhnya Allah senang akan pujian dari hamba yang suka memuji-Nya, dengan menjanjikan pahala. Diucapkan sebagai zikir bagi-Nya dan dijadikan tabungan yang sangat berharga baginya kelak di kemudian hari."
Dalam kitab Badrul Munir disebutkan "Zikir dengan memuji Allah, menjadi pemeliharaan kenikmatan yang dianugerahkan oleh Allah agar nikmat itu tidak lenyap. Sebagaimana Zikir ketika akan berpakaian, atau aktifitas lainnya, yang berisi pujian kepada Allah". Sedangkan Hamdallah yang paling utama adalah ucapan yang berbunyi :
"Segala Puji bagi Allah dengan semua pujian yang mampu memenuhi nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi tambahan-Nya." Seperti doa dan zikir Nabi Adam AS ketika Allah SWT menurunkannya ke bumi. Beliau memohon kepada Allah: "Wahai Tuhanku ajarilah kemahiran dalam mengerjakan sesuatu serta kalimat yang mengandung sebagus-bagus pujian". Maka Allah SWT menurunkan Wahyu kepada Nabi Adam agar membaca pujian seperti bunyi zikir di atas. Sebanyak 3 X setiap pagi dan sore hari.
Para 'arifin (orang-orang yang telah ma'rifah) menerangkan bahwa lafal Alhamdulillâh terdiri dari delapan huruf, sama jumlahnya dengan pintu surga. Barangsiapa yang mengucapkan dengan Ikhlas dan hati, ia berhak memasuki surga dari pintu mana dikehendakinya. Semua itu sebagai penghormatan baginya. Dan dalam hal ini dia akan memilih sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah kepadanya Allah jualah Al-Muwaffiq Lil 'Ûlâ (Penolong manusia untuk meraih jalan kemuliaan), karena ketaatan kepada Allah dan Rasul yang diikuti oleh rasa mahabbah yang sejati.
Pengertian Taufiq menurut bahasa adalah, mufaqat syai' li syai' (mufakatnya suatu dengan sesuatu lainnya). Menurut pengertian istilah, taufiq adalah merupakan kemampuan yang diciptakan Allah bagi hamba-Nya untuk memberi dorongan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya orang kafir tidak mendapatkan Taufiq dari Allah, karena tidak memiliki alat pendorong untuk melaksanakan ketaatan. Alah SWT Berfirman :
"Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah, maka ia akan memperoleh petunjuk. Allah akan melapangkan dadanya untuk memaham ajaran Islam ...".
Allah SWT telah menciptakan sesuatu yang dapat memberi dorongan kepada seseorang agar mampu melaksanakan ketaatan dan mahabbah kepada-Nya.
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya qudrah sebagai kata kemampuan melakukan takwa adalah sifat yang telah menyatu dengan ketaatan itu sendiri. Adapun sifat qudrah dan sifat taat, tidak dimiliki oleh orang kafir. Oleh karena itu ia tidak mendapat Taufiq dari Allah.
Ungkapan Hamdan Yuwâfî Birrahul Mutakâmilâ seperti tercantum dalam bunyi syair di atas, mengandung pengertian bahwa secara lahiriah pujian terhadap Allah sebanding dengan anugerah Allah. Sebab secara hakikat pujian manusia tidak akan mampu menandingi nikmat dan keagungan Allah, tidak mampu kamu menghitungnya.
MAKNA AMALAN SUFI (MAKNA TAKWA)
Makna Takwa
"Dakwah kepada Allah menjadi sentral seluruh kebahagiaan. Memperturutkan hawa nafsu menjadi pangkal semua kejahatan."
Syair di atas menjelaskan pokok dan asas kebaikan, asal kejahatan serta peranan hawa nafsu yang melingkupinya.
Takwa memiliki bermacam-macam pengertian. Pendapat yang terkenal adalah, menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Dikerjakan dengan tulus dengan mengagungkan Asma-Nya lahir batin. Dalam melakukan ketaqwaan, hendaklah tumbuh rasa kagum pada keagungan Allah.
Ada pendapat yang menerangkan bahwa takwa berarti waspada dan memelihara diri dari semua godaan yang akan menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan, atau menjaga diri dari semua hal yang akan memalingkan atau mengganggu taqarrub dan mahabbah kepada Allah.
Pendapat lain mengatakan bahwa, barangsiapa yang akan menjalankan ketakwaan hendaklah ia menghindari segala bentuk dosa besar dan kecil, lahir maupun batin.
An-Nasrabazy mengatakan : "Barangsiapa yang ingin istiqamah dalam takwanya maka hendaklah ia memiliki keinginan meninggalkan kehidupan dan hiruk pikuk duniawi. Apakah tidak kalian fahami."
Menurut Abu Abdullah, takwa adalah usaha manusia untuk meninggalkan dan menjauhi segala perilaku maksiat yang akan menjauhkan manusia dari Allah SWT. Sebagian ulama menerangkan bahwa takwa adalah ketaatan hamba kepada Allah, yang dilakukan oleh masa lalu hingga masa sekarang. Firman Allah SWT :
"Bahwa sesungguhnya Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan demikian juga kepada kalian, agar kalian selalu bertakwa kepada Allah."
Al-Qur'anul Karim menjelaskan pengertian takwa dalam beberapa ayat sebagai berikut :
"Takwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwasannya Allah bersama orang-orang yang takwa."
Allah menyampaikan pelajaran bagi orang yang takwa dengan pengetahuan ladunni
"Bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajarmu dengan (ilmu) karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Mendapat jalan keluar dari bermacam-macam masalah.
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya akan diberikan kepadanya jalan keluar serta rizki melalui jalan yang tidak terduga. Barangsiapa yang bertakwa kepadanya, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, ia ak ditutupi kesalahannya dan dilipatgandakan pahalanya."
Mendapat anugerah surga.
"Sesungguhnya orang-orang yang takwa berada di surga yang mengalir sungai-sungai."
Sebagai orang-orang mulia.
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling takwa."
Ungkapan ( ) memiliki makna hal yang mendasari semua kebahagiaan. ( ). Karena apa saja yang dibangun di atas dasar takwa akan selamat dan tidak mengalami kerusakan. Adapun kebahagiaan ( ) adalah kebalikan dari kecelakaan ( ) yang merupakan Taufiq, Hidayah dan Ma'unah Allah SWT. Kalimat ( ) sebagai bentuk jama' dari ( ). Kalimat ( ) adalah bentuk jama' dari ( ) mashdar dari kata kerja ( ) maksudnya ia mencintai.
Menurut ajaran Islam hawa nafsu adalah dorongan yang membuat seseorang cenderung kepada maksiat serta sangat bertentangan dengan syariat.
( ) Adalah bentuk jama' dari ( ) yang berarti alat penangkap binatang, maksudnya adalah jaring yang dibuat oleh setan untuk menjerat manusia.
Dari ungkapan dan penjelasan ini maka jelaslah bahwa mengikuti hawa nafsu adalah pangkal kejahatan dan kemaksiatan.
Adapun maksiat berupa sahwat badani akan bersatu dengan daging dan peredaran darah manusia. Demikian juga tipu daya dan muslihat setan berjalan melalui aliran darah dalam tubuh manusia. Ia mengepung dan menutup hati anak cucu Adam dari seluruh penjuru. Seperti sabda nabi Muhammad SAW bahwa setan akan masuk ke dalam diri seseorang melalui pembuluh-pembuluh darah.
Suatu hari Nabi Yahya AS berjumpa dengan Iblis yang sengaja menampakkan diri. Iblis sedang membawa semacam jaring, sehingga Yahya bertanya : "Untuk apa engkau membawa jaring seperti itu?". Iblis menjawab : "Ini adalah semacam lambang kenikmatan sahwat. Ia saya pergunakan untuk menjaring manusia yang tertipu oleh maksiat sahwat."
Firman Allah SWT :
"Adapun orang yang takut kepada kebesaran tuhannya, serta menahan diri dari keinginan hawa nafsuya, maka surga jua yang akan menjadi tempat tinggalnya."
MAKNA AMALAN SUFI (SHALAWAT NABI)
Makna Shalawat Nabi
Shalawat dan Sejahtera
"Shalawat kiranya berlimpah kepada al-Musthafa sang rasul yang terjaga dan mulia berlimpah pula kepada keluarga para sahabat dan pengikut yang setia."
Setelah hamdallah maka diikuti dengan mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, karena ini sunnah Nabi. Allah SWT berfirman :
"Wahai orang-orang yang beriman ucapkan shalawat dan salam penghormatan kepada Nabi"
Selain itu Nabi Muhammad SAW juga bersabda :
"Barangsiapa menulis shalawat, maka malaikat akan beristighfar untuknya, selama tulisan itu masih ada."
"Barangsiapa yang ingin berjumpa dan memperoleh ridla Allah, maka perbanyaklah membaca shalawat."
"Hendaklah kalian memperbanyak membaca shalawat karena akan menjadi cahaya dalam kubur, ketika melewati Shiratal Mustaqim, dan akan menjadi nur yang bercahaya di dalam surga."
"Dengan selalu membaca shalawat akan meredakan murka Allah serta mematahkan tipu daya setan."
Ibnu Jauzi dalam kitab al-Busthan menulis :
"Apabila ada orang dalam suatu majelis pertemuan tida membaca shalawat kepada Nabi SAW, maka ia akan keluar dari majelis itu dengan bau tak sedap. Sebaliknya jika orang yang keluar dari suatu majelis sambil membaca shalawat, maka baunya akan lebih harum daripada minyak wangi, sebab Rasulullah SAW adalah manusia yang paling harum diantara yang harum, yang paling suci diantara orang-orang suci. Jika Nabi SAW sedang menghadiri suatu majelis dan berbicara diantara mereka, maka majelis itu penuh dengan aroma Misik."
Besar sekali pahala dan kehebatan serta fadlilah shalawat kepada Nabi SAW. Hendaklah orang beriman selalu mengucapkan shalawat, karena Rasulullah SAW adalah perantara yang agung dari seluruh rahmat dan kenikmatan yang telah diterima manusia.
Fadlilah atau keutamaan membaca shalawat, diantaranya adalah untuk menerangi hati yang gelap, menghindari kepikunan, sebagai wasilah dengan Allah, memudahkan masuknya rizki.
Dalam sebuah hadits diterangkan :
"Pada suatu hari Jibril datang kepadaku, membawa berita gembira yang belum pernah disampaikan kepadaku. Ia menjelaskan bahwa barangsiapa diantara umatku mengucapkan shalawat satu kali, maka Allah akan menganugerahkan untuknya seratus kebaikan. Barangsiapa yang membaca shalawat seratus kali, maka Allah akan menganugerahkan untuknya seribu kebaikan, kemudian memasukkan mereka ke surga, dan mengharamkan mereka masuk neraka."
Akan sangat utama apabila orang yang membaca shalawat dalam keadaan suci. Didahului dengan berwudlu, menghadap kiblat dan dalam keadaan tafakur mensifati keagungan Nabi SAW. Mentartilkan bacaannya dan tidak tergesa-gesa.
Ungkapan al-Musthafa pada syair di atas bermakna "Orang yang terpilih" diantara semua makhluk, sehingga keutamaan Nabi Muhammad SAW melebihi malaikat di sisi Allah dan alam semesta.
Menurut Imam Syafi'i, Ahlul Bait Nabi SAW adalah keturunan Bani Hasyim dan Abdul Muthalib yang beriman. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Bait Nabi SAW adalah berasal dari turunan Fatimah az-Zahrah RA, satu-satunya puteri Rasulullah SAW yang hidup sampai meninggalnya Rasulullah SAW. Dialah yang menurunkan cucu-cucu Nabi SAW dan seterusnya.
Ada pengertian yang berbeda dari para ulama tentang Ahlul Bait Rasulullah SAW, seperti penjelasan berikut :
a. Mereka yang senantiasa meninggalkan hal-hal yang kotor, orang-orang yang senantiasa membersihkan dirinya menjadi manusia yang suci bersih, seperti terungkap dalam shalawat berikut :
b. Orang yang mendapat kebahagiaan dengan ketakwaannya dan mendapat ridla Allah SWT, seperti ditegaskan dalam shalawat berikut :
c. Umat Islam seluruhnya yang telah menerima Risalah Nabi SAW dan mengamalkannya (umat ijabah) seperti bacaan shalawat di bawah ini :
Dengan penjelasan di atas, sebagai ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ali Muhammad (Ahlul Bait) adalah semua umat Muhammad SAW yang telah menerima Islam dan mengamalkan Sunnah Nabi Muhammad SAW dehgan penuh kesungguhan dan keikhlasan.
MAKNA DZIKRULLAH - PRAKTIK SUFI BAG 4
Kata Arab untuk ingatan ialah dzikr. Ada beberapa
jenis atau tingkatan ingatan. Ada ingatan akan hal-hal fisik yang berada di depan kita,
dan ada ingatan akan hasrat, kecemasan, dan sebagainya.
Sepanjang jalan rohani, ingatan berhubungan dengan apa yang berada dalam fitrah manusia.Yakni ingatan akan Hakikat Allah Yang Mahakuasa, Sumber segala wujud dan sifat. Sumber itu berada dalam diri setiap orang. Pada jalan sufi, orang dituntut untuk tidak mengingat segala sesuatu lainnya yang dapat dilihat, segala sesuatu selain Allah, untuk kembali kepada ingatan yang sejati, Allah. Kata Arab untuk ingatan kepada Allah ialah Dzikrullah.
Jadi, ingatan sejati akan Allah telah ada dalam setiap hati, baik orang menyadarinya atau tidak. Melalui bimbingan seorang guru rohani, si pencari dibawa ke luar, ke suatu tingkatan di mana tidak ada ingatan akan apa pun yang dapat disebutkan. Kemudian apa yang telah selalu ada di sana, meliputi segala sesuatu, dialami dan disaksikan dengan jelas. Tujuan praktik sufi adalah untuk secara spontan sadar akan hakikat mutlak seraya tetap menyadari keterbatasan fisik dan material dari dunia fenomena yang mengelilingi kita. Yang pertama adalah kesadaran batin di luar indera, dan yang kedua adalah kesadaran lahiriah yang berdasarkan indera. Jadi, tujuan seorang guru sufi ialah memberikan praktik- praktik yang sesuai kepada muridnya dan mengawasi hasilnya.
Secara umum, sekitar dua jam dibutuhkan untuk mencapai maslahat Dzikrullah. Dalam setengah jam pertama pelaku berusaha menenangkan pikirannya. Selama setengah jam berikutnya, ia mulai memasuki keadaan meditasi. Pada setengah jam ketiga biasanya tidak ada pikiran atau pandangan batin, dan meditasi pun berlangsung. Selama setengah jam terakhir, manfaat nyata mulai muncul. Meditasi yang benar mulai bila seluruh kesadaran berangsur hilang dan keberadaan sederhana yang lebur muncul.
Setiap kesadaran selama Dzikrullah merupakan rintangan untuk memasuki alam kesadaran murni. Kesadaran murni tak dapat dibicarakan. la harus dialami, dan merupakan keadaan maujud.
Umumnya, semua proses mental dipandang sebagai kesadaran rendah. Semua aspek kehidupan fisik, material, dan kausal termasuk dalam kategori ini. Pikiran abstrak dan emosi dipandang sebagai lebih halus dan karena itu lebih tinggi. Dalam semua persepsi manusia ada skala kesadaran. Skala dalam kesadaran kita tentang pendengaran, penglihatan, pengertian dan sebagainya. Jadi kesadaran mengiuti skala vertikal. Orang dapat mengatakan hal yang sama tentang sifat-sifat Tuhan. Ada beberapa sifat yang berhubungan dengan mekanisme fisik yang menguasai zat, yang semuanya terserap oleh perintah Ilahi.
Kesadaran fisik berhubungan dengan zat dan massa, dan skala kesadarannya rendah karena ia kasar. Pada skala yang lebih tinggi ialah kesadaran pikiran, seperti perasaan, emosi, dan misalnya, ketidaksukaan akan sakit fisik. Lebih tinggi lagi adalah kesadaran intelektual akan nilai-nilai moral, perasaan akan keadilan dan persaman, dan seterusnya.
Tujuan seorang sufi ialah naik ke janjang yang lebih tinggi dari semua kesadaran intelektual. Dalam keadaan meditasi, pada awalnya, ada kesadaran akan jasad fisik. Kemudian jasad itu dilupakan, tetapi masih ada kesadaran tentang gagasan dan pikiran. Melalui teknik meditasi konsentrasi satu arah, semua gagasan dan pikiran dihaluskan. Di luar itu ialah keadaan kesadaran murni atau tertinggi di mana tidak ada kesadaran terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Inilah kesadaran sederhana yang tak terlukiskan. Adapun ini bukanlah akhir dari latihan meditasi, tetapi sebenarnya menandakan suatu permulaan baru. Akhjr dari semua pikiran adalah awal dari suatu dimensi baru.
Perumpamaan untuk proses meditasi ialah proses tidur. Apabila seseorang hendak tidur, ia mulai dengan melipat kain penutup lalu naik ke tempat tidur. Setelah itu bersiap untuk santai dan secara berangsur-angsur hilang kesadaran pikirannya sampai kesadaran fisik berakhir sama sekali. Tidur, sebagaimana meditasi, adalah bersifat subjektif dan eksperimental. Ha1 itu harus teIjadi, dan tidak dibicarakan. Tahap akhir dari meditasi tak dapat dilukiskan karena berhubungan dengan kesadaran murni. Setiap yang dapat digambarkan termasuk ke dalam wilayah dunia fisik. Kenyataan bahwa orang yang berbicara tentang pengalaman memberikan batasan-batasan kepadanya. Begitu orang me- masuki zona kesadaran yang lebih tinggi, ia tidak menyadari apa pun secara spesifik. Awal dari kesadaran yang lebih tinggi ialah akhir dari kesadaran lain. Maka, gambaran dan pembicaraan tentang itu juga berakhir. Memang ini suatu keadaan menakjubkan yang tak terlukiskan, luas dan tak berbatas waktu serta nondimensional. Bahagia!
MAKNA FITRAH - PRAKTIK SUFI BAG 3
Fitrah kita adalah sesuatu yang dikaruniakan
kepada setiap manusia. la seperti sumber air segar,
jernih, sejuk, atau sumur air manis
Menurut Al-Qur'an, penciptaan dimulai dengan perintah Ilahi, Jadilah! ( QS. 16:40; 19:35; 36:82) .Di bawah perintah itu terkandung seluruh kitab Hakikat. Dari sisi pandang sufi, setiap hati ( qalb ) mengandung cetak biru kebenaran. Kebanyakan orang tahu apa itu kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, kepuasan dan ketidakpuasan. Bagaimana mereka mengetahuinya? Bagaimana saya mengetahui bahwa saya tak bahagia? Bagaimana saya mengetahui bahwa saya sedang resah? Jasad saya boleh jadi sama sekali tak seimbang, namun saya tetap akan mengetahui apa itu keseimbangan dan ketenteraman, dan apa itu keresahan serta ketidakseimbangan. Ada sesuatu yang berharga di dalam inti setiap orang yang mengungkapkan kebenaran. Bahwa sesuatu tidak berubah, karena ia bersifat asali dan subgenetik. Secara fisik, setiap orang nampak berbeda, tetapi apa yang melekat secara subgenetik dalam diri manusia adalah sifatnya yang dibawa sejak lahir, seperti telah kami sebutkan sebelumnya. Dalam bahasa Arab kata untuk sifat bawaan lahir itu ialah fitrah. Cetak biru hukum Ilahi yang asli terpelihara dalam fitrah manusia ini. Kalau cetak biru tersebut tidak pudar, maka akan lebih mudah bagi manusia untuk mengenal dan mengakui para rasul dan Hakikat. Dengan kata lain, jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang sehat, bersih, dan alami maka peluang untuk menemukan kebenaran dan jalan menuju kebebasan lebih besar daripada peluang orang yang terperangkap dalam batas-batas lingkungan, rasial atau budaya yang tidak cocok.
Kaum sufi selalu mengatakan bahwa jika Anda mengikuti hati Anda, maka Anda akan selamat. Allah juga berkata dalam Al-Qur'an bahwa hati tak pernah berdusta. Bagaimana seseorang membedakan antara bimbingan yang datang dari hati, dan yang datang dari emosi, hawa nafsu, rasa takut dan imajinasi? Bagaimana orang membedakan fitrah dengan imajinasi? Fitrah pada diri setiap orang telah memudar hingga tingkat yang bermacam-macam karena pengaruh keluarga dan lain-lain selama masa muda kita. Untuk kembali kepada keadaan fitrah yang asli, kita memerlukan lagi bimbingan syariat Ilahi. Inilah sebabnya maka Islam yang asli jauh lebih mudah dijkuti oleh orang-orang yang tidak dididik atau dilatih untuk menganalisis, meragukan dan mendebat.
Pada zaman dahulu, di Cina, India, dan Timur Tengah, terdapat banyak nabi dan orang suci. Mereka semua memantulkan kebenaran yang asali (primal truth), yakni bahwa kita berasal dari satu Hakikat (realitas), dan keberadaan fisik kita bukan suatu realitas per- manen melainkan hanya sebuah bayang-bayang, dan kita harus belajar untuk mengatasinya; dengan berbuat demikian kita akan menemukan di dalam diri kita apa yang tidak berbatas waktu dan permanen. Orang-orang masa awal yang sederhana dari suku-suku dan desa-desa di zaman kuno dapat lebih mudah merefleksikan kebenaran akhir di balik penciptaan. Syekh besar sufi Ibn ' Arabi mengatakan bahwa kelompok orang pertama yang akan diterima di Taman Surga setelah meninggal adalah orang-orang sederhana.
Fitrah kita adalah sesuatu yang dikaruniakan kepada setiap manusia. la seperti sumber air segar, jernih, sejuk, atau sumur air manis. Namun, dalam masa pengasuhan dan pendidikan seseorang, dan karena kekusutan intelektual dan budaya yang berangsur-angsur terakumulasi, sumur itu mulai penuh dengan sampah, dan saat pun tiba ketika ternyata tidak ada lagi air segar yang mengalir, karena sumur fitrah telah dipenuhi puing. Banyak orang yang hidup dalam masyarakat industri di kota-kota modern yang padat penduduk, harus melakukan banyak penggalian dan pekerjaan arkeologi sebelum mencapai fondasi asli dan sumber mata air dalam sumur itu. Orang-orang ini memerlukan lebih banyak disiplin dan kerja keras, seperti meditasi, tafakur, dan pembersihan pikiran dari indoktrinasi ketimbang orang-orang yang hidup di lingkungan pedesaan yang sederhana yang terbuka ke alam di mana tuntutan materi dan persaingan lebih sedikit, dan fitrah mereka masih terpelihara sehingga bagian cetak biru dari hukum Ilahi yang asli masih dapat dibaca.
Perbedaan antara kaum sederhana yang bijaksana, yang masih mempunyai akses ke fitrah mereka, dan para nabi adalah bahwa nabi menerima ajaran Ilahi dengan jalan wahyu, sementara kaum sederhana itu menerima pemahaman melalui penyaksian, pemikiran dan wawasan. Banyak lainnya juga dianugerahi inspirasi (ilham) bilamana ada celah dalam selubung mereka; selubung itu tak lain dari nafsu rendah, dan begitu nafsu rendah tersebut disingkirkan, muncullah kilasan hakikat yang aneh dan menakjubkan.
Kita telah melihat bahwa Islam, tata perilaku asli yang dikehendaki Tuhan untuk manusia, yang, apabila ditaati, membawa manusia kepada Penciptanya, bukanlah agama yang baru muncul sekitar 1.400 tahun yang lalu, melainkan suatu jalan yang bermula sejak Nabi Adam, yang tercetak pada penciptaan pertama sejak permulaan umat manusia. Dengan bangkitnya kesadaran Adami, maka muncullah pula pada saat bersamaan suatu celah batin, atau pengetahuan atau pemahaman yang fitri, mengenai bagaimana berperilaku dalam kehidupan ini untuk menghindari kebingungan.
Jalan Islam adalah jalan perilaku Adami. Setiap nabi, setiap orang yang sadar dan merdeka, telah berada dalanl penyerahan, dan karena itu ia adalah seorang Muslim. Setiap pemikir, filosof dan orang bijak adalah seorang Muslim dalam berbagai derajat kejemihan dan kesadaran. Seluruh manusia sebenarnya dilahirkan dalam ketundukan kepada hakikat alami dan karena itu berada dalam Islam. Masyarakat dan orang tualah yang kemudian sering merusak keadaan Islami yang fitri itu. Ada orang-orang dari seluruh dunia yang menemukan Islam dalam dirinya pada suatu masa hidupnya, dan bukan karena telah menemukan agama Islam yang konvensional. Melainkan, lebih merupakan suatu gema dari sesuatu yangjauh lebih dalam dan azali yang terpusat dalam hati semua makhluk manusia. Namun, konvensi-konvensi, baik yang berhubungan dengan perilaku maupun konseptual, yang dipaksakan oleh kebiasaan masyarakat, komunitas dan pribadi terhadap seseorang itu, menabiri pengenalan atas hakikat tersebut. Karenanya kita memerlukan hukum Ilahi untuk membimbing kita menjalani kehidupan yang dipersatukan dan yang membawa kepada pengetahuan tentang keesaan.
Islam yang asli telah ada persis sejak awal umat manusia dan diwahyukan dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda sampai kesempurnaan totalnya diwahyukan melalui Nabi Muhammad, sedemikian rupa sehingga Allah berjanji kepada manusia bahwa wahyu itu akan terpelihara selama-lamanya. Karena itu, tak ada alasan bagi siapa pun untuk mencoba merusak atau mengubahnya. Perbedaan yang ada di antara berbagai mazhab hukum Islam adalah kecil dan tak berarti. Namun, apabila orang ingin melihat perbedaan, maka mereka melihat perbedaan-perbedaan besar, dan ini sering terjadi pada orang-orang yang tidak mempunyai akses kepada fitrah mereka.
MAKNA MURAQABAH (KETERJAGAAN) - PRAKTIK SUFI BAG 6
Keterjagan dan keterasingan kita dari kehidupan dapat membuat pikiran kita kembali segar dan jernih
Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik muraqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan "pembukaan " di dalam. Muraqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika "pembukaan " yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan kulminasi, boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud dari semua ini ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.
Makna Pengasingan Diri (Khalwat)
Sering praktik khalwat dipadu dengan praktik spiritual lain yang ditetapkan selama empat puluh hari. Mengapa empat puluh hari? Dalam dunia alamiah, terdapat banyak hukum alam, sebagian di antaranya berjalan menurut siklus. Juga terdapat banyak hukum biologi, seperti hukum-hukum yang mengatur perkembangbiakan dan pemberian makanan, yang mengikuti suatu ritme tertentu dan siklus waktu. Dalam hal makanan rohani atau rehabilitasi. ada pula tempo dan frekuensi optimum.
Dalam tradisi praktik khalwat sufi sering kita dapati waktu pengasingan diri ditetapkan oleh guru rohani bagi muridnya, biasanya untuk jangka waktu empat puluh hari, atau sepuluh hari, atau tujuh atau tiga hari, dan sebagainya. Misalnya, untuk waktu khalwat selama bulan Ramadan, hendaknya seseorang menyendiri (berkhalwat) di mesjid sedikitnya selama tiga hari dan biasanya sepuluh hari..
Syekh sufi menyuruh seorang pencari untuk berkhalwat apabila tubuh, pikiran dan hatinya telah sepenuhnya siap untuk itu. Kata Arab untuk pengasingan diri ialah khalwah (khalwat) Begitu memasuki khalwat, tujuannya ialah-dengan cara dzikrullah dan berjaga- untuk meninggalkan semua pikiran, dan melalui pemusatan pikiran ke satu titik mengalami kasadaran yang murni. Selama khalwatnya seorang murid, makannya harus diatur dengan cermat oleh syekh. Demikian pula, keadaan mental, emosi, dan rohaninya diawasi. Pengasingan spiritual dan dzikrullah tidak akan bermanfaat apabila si pencari tidak siap meninggalkan semua aspek kemakhlukkan. Salah satu bentuk pengasingan spiritual disebut chilla yang artinya empat puluh, dan jangka waktunya empat puluh hari. Dikatakan bahwa bila seseorang telah siap untuk dikurung selama empat puluh hari, suatu terobosan atau pembukaan dapat tercapai lebih awal, sebelum genap empat puluh hari.
Jangka waktu khalwat yang disebutkan dalam Al- Qur'an sehubungan dengan Nabi Musa adalah suatu janji karena Allah selama empat puluh hari (Q.2:.251), dimulai tiga puluh hari lalu ditambah sepuluh hari (Q.7:142). Nabi Zakaria diperintahkan untuk tidak berbicara selama tiga hari (Q. 19:10). Nabi Muhammad ditanya, "Berapa hari seseorang harus bertaubat agar diampuni [yakni sadar akan hakikat] ?" Nabi menjawab, "Setahun sebelum mati sudah cukup." Kemudian beliau segera berkata, "Setahun terlalu lama; sebulan sebelum mati cukuplah." Kemudian beliau berkata, "Sebulan terlalu lama." Kemudian beliau terus berkata semakin mengurangi jangka waktunya, sampai beliau berkata, "Langsung tobat, juga cukup."
PEMBAHASAN IBADAH-IBADAH
Shalat dengan Hati Khusyu
Apabila fajar sidiq telah terbit, maka bersegeralah melaksanakan Shalat Fajar, lalu fardlu Shubuh dengan hati yang khusyu. Pahamilah makna setiap bacaan tersebut. Dirikanlah shalat dengan sempurna sesuai dengan sunah Nabi SAW, kaifiyah dan adab-adabnya. Yang sangat penting adalah dengan khusyu.
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian khusyu, ada pendapat yang menyebutkan, bahwa khusyu dalam shalat dapat diperoleh dengan memejamkan mata, merendahkan suara dan tidak menoleh ke kiri dan ke kanan. Pendapat lain mengatakan, apabila shalat telah dimulai hendaklah tidak memperdulikan sekelilingnya, atau merasa tidak ada orang di kanan atau kirinya. Pendapat yang paling tepat adalah yang mengatakan bahwa khusyu adalah berkumpulnya perasaan takut dan merasa kuatir berpaling dari keadaan yang bukan shalat. Sebab khusyu adalah perbuatan badan dan hati.
Oleh sebab itu kekhusyuan itu akan diperoleh dengan hadirnya hati ketika shalat, pikiran yang terkonsentrasi secara penuh. Orang yang sedang shalat harus merasakan bahwa Allah selalu berada di hadapannya, menilai seluruh perbuatan dan ucapannya, dan mengetahui semua yang nampak dan dirahasiakan.
Hadirnya hati orang yang shalat di hadapan Allah menunjukkan keberadaanya dan penyerahannya sepenuh hati dan jiwa. Sehingga saat itu tinggallah dirinya sendiri di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui. Itulah cara shalat yang sebenarnya. Allah SWT selalu hadir serta menyirami orang yang shalat dengan rahmat-Nya disaat ia mengerjakannya dengan khusyu.
Hudlur
Dalam melaksanakan semua shalat wajib atau sunat, hendaklah diusahakan agar terjadinya hudlur (hadirnya hati), selama melakukan shalat. Sebab hanya dengan cara inilah seorang hamba akan mendapatkan keutamaan. Nabi SAW bersabda : "Sesungguhnya nilai shalat seseorang, bukan dinilai dari seperenam atau seperpuluh dari shalatnya itu, melainkan yang dinilai adalah yang dapat ia hayati dari shalatnya itu". Hadits yang semakna diriwayatkan pula oleh Abu Dawud.
Hasan al-Bashry berkata : "Shalat yang dikerjakan dengan kehadiran hati akan lebih membuat perasaan sangat tersiksa". An-Naisabury berkata : "Shalat itu mempunyai empat konsentrasi yaitu, khudlur, syuhud, khudlu dan khusyu." Khudlur adalah perilaku tubuh orang yang tidak menghadirkan dirinya ketika shalat dia termasuk orang yang lalai. Barangsiapa yang tidak syuhud hatinya, ia termasuk orang yang hanya bermain-main. Barangsiapa yang tidak khudlu dengan rukun-rukun shalat, maka ia termasuk orang yang lemah. Barangsiapa yang tidak khusyu maka ia termasuk orang yang sendirian, tidak merasa adanya kehadiran Allah bersamanya.
Allah SWT berfirman : "Sungguh berbahagialah orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyu dalam shalatnya". Sangat perlu untuk diingat bagi orang yang shalat, bahwasannya Allah adalah Dzat yang selalu memperhatikannya, hadir menyaksikan keadaannya di waktu shalat serta takutlah pada Allah bila melihat hatinya sedang lalai ketika shalat karena kelalaian seperti itu adalah sejelek-jelek perbuatan.
Kisah-kisah Indah.
Seorang guru Thariqat mengisahkan bahwa pada suatu malam ia mengerjakan shalat beberapa rakaat, lalu ia tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat sebuah istana yang besar dan tinggi. Ia sangat kagum melihat bangunan istana itu. Dalam hatinya ia berkata, "Aduhai untuk siapa kiranya bangunan istana ini? Siapakah pemiliknya?". Tiba-tiba ia mendengar suara jawaban, "Sesungguhnya istana ini adalah milikmu, dari pahala beberapa rakaat shalatmu semalam". Iapun berjalan mengelilinginya melihat-lihat keindahan istana itu.
Tiba-tiba ia melihat dua buah kubah yang telah jatuh. Dalam hati ia berkata, "Alangkah indahnya apabila dua kubah ini tetap berada di tempatnya". Terdengarlah kembali suara yang sama, "Sesungguhnya dua buah kubah itu semula masih berada di tempatnya, namun ketika shalat tadi malam, hatimu sedikit berpaling, sehingga jatuhlah dua kubah itu".
Rabi'ah al-Adawiyah, pada suatu malam melakukan shalat beberapa rakaat, lalu ia tidur. Dalam tidurnya ia melihat sebatang pohon yang indah subur menghijau, daunya rimbun, ranting-rantingnya kokoh, sangat banyak dan teratur. Buah-buahnya pun tampak begitu lebat. Yang sangat mengherankan adalah bahwa buah-buah tersebut berbentuk buah dada wanita. Pohon itu mengeluarkan sinarnya di waktu siang seperti matahari, dan di waktu malam seperti rembulan. Maka Rabi'ah al-Adawiyah bertanya dalam hati, "Siapakah gerangan pemilik pohon itu". Lalu terdengarlah jawaban, "Sesungguhnya pohon itu untukmu, sebagai anugerah dari shalatmu tadi malam". Ia berjalan-jalan di bawah rimbun pohon itu, ketika dia menemukan beberapa buahnya telah jatuh berwarna kuning emas murni, hati Rabi'ah al-Adawiyah berkata, "Alangkah indahnya jika buah-buah yang bagus ini tetap berada di rantingnya dan bergantungan di sana. Sungguh akan terlihat begitu indah". Lalu terdengarlah suara yang menjawab, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya buah-buahan ini semula berada di tempatnya. Namun ketika engkau mengerjakan shalat pikiranmu tergoda oleh pekerjaan dapurmu pada roti yang sedang engkau kukus maka jatuhlah buah-buah itu terlepas dari rantingnya".
Shalat Berjamaah
Perhatikanlah shalat berjamaah jangan engkau tinggalkan keutamaannya. Sungguh indah hidup bersama ketika berada dalam satu jamaah. Buat apa mendalami pelajaran, bila yang utama dikesampingkan. Jikalau jamaah ditinggalkan mudahlah dirimu diterkam serigala, karena melihat engkau berdiri sendirian. Itulah sunah Nabi SAW yang hidup sepanjang masa.
Janganlah meninggalkan shalat berjamaah, karena pahalanya besar dan berlipat ganda. Diriwayatkan dari hadits Nabi Muhammad SAW bahwa pahala shalat berjamaah dilipatkan hingga 25 atau 27 kali lipat. Sabda beliau, "Tiadalah tiga orang di suatu kota atau desa tidak mendirikan shalat berjamaah melainkan mereka akan dikalahkan oleh setan, sebab akan mudah bagi serigala menerkam seekor kambing yang terpisah dari kelompoknya". (HR. Abu Daud dan Nasai, dan disahihkan oleh Ibnu Hiban dan al-Hakim).
Rasulullah SAW bersabda pula : "Shalat satu orang, bersama satu orang lagi lebih utama daripada shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih utama daripada shalat bersama satu orang. Sedangkan shalat bersama banyak orang sangat disukai oleh Allah" (HR. Abu Daud dan lainnya, disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Sebagian ulama mengatakan bahwa jika shalat jamaah telah usai dikerjakan, maka Allah SWT memperhatikan hati dan keiklasan, lalu Allah menurunkan ridla-Nya kepada para jamaah itu, menerima shalat dan mengampuni dosa-dosa mereka. Jika kebaikan dan keiklasan tidak ditemukan pada hati imamnya, maka Allah melihat hati para makmumnya. Jika dalam hati salah seorang makmum itu ditemukan kebaikan dan keikhlasan maka Allah ridla dan menerima shalat mereka semuanya. Jika tidak ditemukan kebaikan-kebaikan tersebut, maka Allah melihat kaifiyah shalatnya, berdiri, ruku dan sujudnya, lalu Allah pun menurunkan keridlaan-Nya, mengampuni dosa-dosa mereka."
Diriwayatkan pula dari sabda Nabi SAW, bahwa Allah SWT menciptakan sebuah kota di surga yang dinamakan Madinatul Jalal. Di dalam kota itu terdapat bangunan istana yang bernama al-Uzmah. Di dalam istana itu terdapat kamar-kamar yang berisi yang diberi nama Baiturrahman. Setiap kamar berisi empat ribu tempat tidur dengan empat ribu Bidadari. Di dalam kota surgawi itu terdapat banyak hal yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, terlintas pada pikiran, atau pun terbetik dalam hati. Ditanyakan : "Ya Rasulullah untuk siapakah semuanya itu?" Beliau menjawab : "Itulah buah bagi orang-orang yang mendirikan shalat lima waktu dengan berjamaah."
Dalam ungkapan syair berhubungan dengan shalat berjamaah ini salah satu untaiannya berbunyi "Walima Ta'allum" artinya Untuk apa mempelajari ilmu apabila meninggalkan keutamaan sebagian pokok perdagangan di akhirat. Karena buah dari ilmu yang bermanfaat adalah dengan mengamalkannya. Itulah keutamaan shalat berjamaah di masjid. Kecuali jika berhalangan, maka boleh dilaksanakan di rumah bersama keluarga.
Kisah Teladan
Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki buta yang amat rajin mengerjakan shalat berjamaah. Pada suatu hari ia datang ke masjid untuk shalat berjamaah tanpa ada yang menuntunnya. Di tengah perjalanan ia terpeleset lalu jatuh, hingga kepalanya terluka. Ketika ia diangkat oleh jamaah lain pulang ke rumah, isterinya marah-marah seraya mengatakan bahwa orang seperti dia tidak wajib berjamaah di masjid. Laki-laki itu menanggapi kemarahan isterinya dengan kelembutan dan kasih sayang. Dia berkata: "jika Allah memberi cahaya di mata hatiku, mengapa aku tidak boleh berjamaah di masjid?". Pada suatu malam ia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, lalu beliau bersabda : "Mengapa engkau berbeda pendapat dengan isterimu?". Ia menjawab, "Karena aku ingin mengikuti sunahmu ya Rasulullah!", Nabi pun mengusapkan kedua telapak tangannya ke permukaan mata orang buta tersebut, dan saat itu pula matanya pulih kembali dan dapat melihat sebagai barakah Nabi dan Sunah Rasul yang telah dia kerjakan.
Mudah-mudahan kita semua mendapat pertolongan dari Allah, diberi kekuatan melaksanakan shalat berjamaah dan memakmurkan masjid, serta menjauhkan kaum muslimin dari kemalasan mendirikan shalat berjamaah.
Membaca Wirid dan Dzikir
Selesai mendirikan shalat Shubuh dengan menjaga seluruh adab shalat sebagaimana sudah dijelaskan maka ikutilah dengan mewirid dzikir, tasbih, tahmid, tahlil dan doa. Demikian juga membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang telah mashur keutamaannya, hingga terbit matahari.
Hujjatul Islam Al-Ghazali mengatakan, "Sesungguhnya waktu fajar, sebelum terbitnya matahari adalah waktu yang utama". Tanda keutamaannya adalah seperti firman Allah SWT berikut ini, Wasshubhi Idzâ Tanaffas, artinya : "Dan demi Shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing." (QS. At-Takwir : 18).
Faliqul Ashbah, "Dialah yang menyingsingkan pagi." (QS. Al-An'âm : 96). "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih juga di malam hari dan di siang hari, agar kamu mendapat keridlaan Allah". (QS. Thâha : 130).
"Dan berdzikirlah kepada Allah Tuhanmu di waktu pagi dan sore". (QS. Al-Insân : 25).
Apabila telah jelas keutamaannya seperti ini maka hendaklah para hamba Allah duduk (berzikir) dan tidak berbicara hingga matahari terbit.
Ada empat hal yang utama sekali diamalkan sebelum matahari terbit.
Mengadakan introspeksi diri (muhasabah) serta menghidupkan cita-cita untuk melaksanakan amal, mengingat kembali perbuatan dosa yang pernah dilakukan, diikuti dengan amal ibadah dan berniat memperbanyak amalan pada hari-hari selanjutnya.
Bertafakur untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya agar tampak nikmat-nikmat Allah yang telah dianugrahkan kepadanya. Agar makrifat tasyakkurnya bertambah. Terus menerus mengingat Allah merupakan ibadah karena pada dasarnya itulah makna dzikir kepada Allah.
Bertafakur itu sendiri akan menghasilkan dua hal. Yakni akan meningkatkan makrifat karena tafakkur merupakan kunci makrifat dan kasyaf. Akan meningkatkan rasa mahabbah, karena kecintaan itu tumbuh hanya kepada yang diagungkan. Sedangkan keagungan Allah dan keluhuran-Nya tidak akan terbuka kecuali dengan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dengan tafakur akan memperoleh makrifat, dengan makrifat akan mendapatkan ta'zhim, dengan ta'zhim akan memperoleh mahabbah.
Tata cara berwirid adalah tidak berbicara ketika subuh, menghadap kiblat, mengadakan muraqabah, lalu membaca tahlil. Ada yang dengan cara mengucapkan kalimat Lâ Ilâha Illallâh di dalam hati, seakan-akan dari hati suci ini keluar cahaya Allah. Menggerakkan leher ke kiri dan ke kanan, diikuti dengan mengucapkan kalimat Illallâh dari kedalaman hati, seakan-akan cahaya Allah masuk ke dalamnya.
Dengan melaksanakan tahlil seperti tata cara tersebut, dapat diketahui adanya nar sebagai api pembersih hawa nafsu, dan nur cahaya yang menerangi hati. Nur sebagai cahaya dzikrullâh, nar api pembakar hawa nafsu dan kelalaian manusia untuk berdzikir. Apabila nur itu telah menguasai hati, maka ia akan memberikan cahaya cemerlang meliputi seluruh permukaan hati.
Apabila hati sudah dibersihkan dari sifat-sifat yang tercela lalu terhias dengan sifat-sifat terpuji, maka nar itu akan berlipat ganda terangnya, kelak akan membentuk manusia musyâhadah sebagai karunia besar dari Allah. Itulah buah dari dzikir yang terus menerus diwiridkan.
Dengan zikir hati manusia akan terang benderang , menjadi segar dan longgar. Hilang rasa sedih, lalu hati menjadi lunak. Maka hilanglah bermacam-macam penyakit hati yang biasanya membelenggu manusia, karena sifat-sifat manusiawi yang biasa merongrong hingga sakit dan menderita.
Demikian juga dengan banyak membaca shalawat, akan membuat hati menjadi gembira, meneranginya dengan cahaya Allah dan berkah Nabi Muhammad SAW. Melanggengkan shalawat Nabi, baik diucapkan secara lahiriah atau batiniah akan memberi dorongan hamba Allah untuk senantiasa mensucikan hati dan jiwanya dari godaan hawa nafsu.
Shalat Isyraq
Shalat Isyraq dilakukan pada pagi hari, setelah matahari naik kira-kira empat hasta. Shalat Isyraq ini bukan shalat Dhuha. Dilakukan sebelum mengerjakan shalat Dhuha, sebanyak dua rakaat. Ini adalah amalan para sufi yang dilakukan secara rutin. Pada rakaat pertama setelah membaca surat al-Fâtihah, lalu membaca ayat-ayat Al-Qur'an surat an-Nûr ayat 35. (Allâhu Nûrus Samâwâti wal Ardh).
Pada rakaat kedua, setelah membaca al-Fâtihah, diikuti dengan membaca surat an-Nûr ayat 36-38. (Fî Buyûti Adzinallâh).
Para ulama berbeda pendapat tentang shalat Isyraq, apakah sama dengan shalat Dhuha atau tidak. Sebagian ulama berpendapat tidak sama dengan shalat Dhuha. Yang lain berpendapat sama dengan shalat Dhuha.
Setelah melaksanakan shalat Isyraq, lalu membaca Al-Qur'an untuk mendapat nasihat dari Kitab Suci, yang akan diperoleh dengan membaca secara tadabbur. Dalam membaca Al-Qur'an ini pun hendaklah dengan adab dan tata cara pula. Seperti tidak lalai dan tenang, suci, serta menghadap kiblat. Memakai pakaian yang sopan dan bersih, umpamanya berpakaian kebesaran Ulama, seperti mengenakan sorban di kepala dan berbaju jubah. Dikerjakan dengan sungguh-sungguh, khusyu, seakan-akan berdialog dengan Allah SWT, atau seakan-akan ia sedang menerima dan menelaah firman-firman Allah dan membahas kenikmatan Allah kepada dirinya. Nabi SAW bersabda : "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah. Jika tidak dapat menangis, maka berusahalah untuk menangis."
Demikian juga dalam membaca Al-Qur 'an hendaklah dengan tartil. Sebab tartil itu akan menghidupkan rasa tadabbur. Tartil artinya membaca semua huruf dengan jelas, memisahkan satu huruf dengan huruf lainnya, dan membaca setiap huruf sesuai dengan makhrajnya. Demikian juga menempatkan waqaf pada tempatnya masing-masing.
SYARI'AT, THARIQAT, HAQIQAT
Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.
Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.
Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).
Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.
Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".
Apabila Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta' anni.
Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya."
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya".
Syari'at
Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.
Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.
Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.
Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.
Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.
Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".
Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.
Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".
Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.
Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan
Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kapal, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.
Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".
Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib Bersyari'at
Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.
Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.
Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.
Karena syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.
Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?" Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.
Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.
Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.
Ma'rifatullah
Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman".
Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.
Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa".
TAREKAT-TAREKAT SUFI
Tarekat sufi atau kelompok-kelompok sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung.
Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual. Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusat-pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak-benua India, pusat sufi disebut Jama'at Khana atau Khaneqah.
Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka, atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun, terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan Islam
Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi'ah dan karenanya kembali melalui Imam 'Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya. Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi Muhammad SAW.
Berikut ini adalah beberapa tarekat sufi yang masih ada hingga kini, masing-masing dengan ciri-cirinya yang menonjol. Para pencari pengetahuan mungkin menjadi anggota dari satu atau beberapa tarekat, karena memang mereka sering mengikuti lebih dari seorang syekh sufi. Yang berikut ini hanya contoh dari beberapa tarekat sufi yang secara pribadi telah akrab dengan penulis.
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di Iran, yang kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya disebarkan oleh putra-putranya. Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.
Tarekat Rifa'iyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad ar-Rifa'i (m. 1182) di Basra, tarekat Rifa'i telah menyebar ke Mesir, Suriah, Anatolia di Turki, Eropa Timur dan wilayah Kaukasus, dan akhir-akhir ini di Amerika Utara.
Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadzili terealisasi di sekitar Syekh Abul Hasan asy-Syadzili dari Maroko (m. 1258) dan akhirnya menjadi salah satu tarekat terbesar yang mempunyai pengikut yang luar biasa banyaknya. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur Tengah, Sri Langka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Maulawiyah
Tarekat Maulawiyah berpusat di sekitar Maulana Jalaluddin Rumi dari Qonya di Turki (m. 1273). Sekarang kebanyakan terdapat di Anatolia di Turki, dan pada akhir-akhir ini di Amerika Utara. Para pengikut tarekat ini juga dikenal sebagai para darwis yang berputar-putar.
Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah mengambil nama dari Syekh Baha'uddin Naqsyaband dari Bukhara (m. 1390). Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah, Volga dan Kaukasus, Cina bagian baratlaut dan baratdaya, Indonesia, di anak-benua India, Turki, Eropa dan Amerika Utara. Ini adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah penyampaian ilmunya kembali melalui penguasa Muslim pertama, Abu Bakar, tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi'ah, dan dengan demikian melalui Imam 'Ali, sampai Nabi Muhammad SAW.
Tarekat Bektasyiyah
Tarekat Bektasyiyah didirikan oleh Haji Bektasy dari Khurasan (m. 1338). Gagasan Syi'ah merembes masuk dengan kuatnya pada tarekat sufi ini. Tarekat ini terbatas di Anatolia, Turki, dan yang paling berpengaruh hingga awal abad ke-20. Tarekat ini dipandang sebagai pengikut Mazhab Syi'ah.
Tarekat Ni'matullah
Tarekat Ni'matullah didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni'matullah (m. 1431) di Mahan dekat Kirman baratdaya Iran. Para pengikutnya terutama terdapat di Iran dan India.
Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijani didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad ibn at-Tijani, orang Berber Aljazair (rn. 1815). Tarekat ini telah menyebar dari Aljazair ke selatan Sahara dan masuk ke Sudan bagian barat dan tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat dan bagian utara Nigeria, dan telah diperkenalkan di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Jarrahiyah
Tarekat Jarrahi didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad al-Jarrah dari Istambul (m. 1720). Tarekat ini terutama terbatas di Turki, dengan beberapa cabang di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Chistiyah
Tarekat yang paling berpengaruh di anak-benua India-Pakistan adalah tarekat Chisti, yang dinamai dengan nama pendirinya Khwaja Abu Ishaq Syami Chisti (m. 966). Penyebarannya terutama di Asia Tenggara.
Tarekat-tarekat sufi, sebagaimana gerakan-gerakan lainnya, cenderung bersiklus. Siklus suatu tarekat sufi biasanya antara dua sampai tiga ratus tahun sebelum melemah dan merosot. Bilamana muncul suatu kebutuhan terhadap suatu tarekat sufi maka tarekat tersebut mulai bangkit, kemudian mencapai klimaksnya, lalu berangsur-angsur berkurang dan bubar.
Satu kecenderungan yang dapat diamati dalam sejarah tasawuf ialah bahwa bilamana terdapat kekurangan dalam materi sumber Islam, seperti Al-Qur'an atau sunnah Nabi Muhammad SAW, dalam suatu tarekat sufi, maka ia cenderung didominasi oleh kultur yang lebih kuat dan tua dari lingkungannya. Percampuran ini dapat dilihat pada tarekat Chistiyah di Asia Tenggara dan pada tarekat-tarekat sufi di Indonesia yang telah menyerap banyak unsur adat Hindu dan Buddha ke dalam praktik-praktiknya. Demikian pula, tarekat-tarekat sufi Afrika di bawah wilayah Sudan telah memadukan beberapa adat keagamaan suku-suku Afrika ke dalam praktik-praktik mereka. Nampaknya di kawasan-kawasan terpencil itu semua tarekat sufi telah mengambil warna kultus.
TUJUAN PRAKTIK SUFI
Tujuan utama dari praktik-praktik sufi adalah pemulihan keutuhan diri manusia. Oleh karena itu para syekh sufi memberikan obat yang berbeda-beda kepada para pengikutnya dalam bentuk berbagai jenis praktik dengan intensitas yang berlainan sesuai dengan jenis penyakit yang diobati. Ternyata setiap tarekat sufi mempunyai doa khususnya sendiri, wirid dan zikirnya sendiri, dan upacara serta metode duduk dan berdirinya sendiri. Sebagaimana praktik-praktik yang djlakukan secara kolektif, guru sufi sering memberikan obat khusus bagi individu tertentu, misalnya, apabila salah seseorang muridnya sakit atau membutuhkan pengobatan khusus, seperti periode jaga malam atau bangun malam yang padat. Apa pun perbedaan mereka yang nampak, satu unsur yang umum kita dapati pada semua tarekat ialah hubungan yang mendalam antara syekh sufi dengan muridnya. Hubungan itu didasarkan pada kepercayaan, cinta dan ketaatan kepada si syekh. Dikatakan bahwa pengikut terbaik itu bagaikan kain lap di tangan tukang cuci. Melalui kepasrahan dan ketaatan seperti itulah maka makna ajaran sang guru itu terserap dengan cepat.
Kita dapati pula dalam banyak lingkungan tarekat bahwa karena cinta dan hormat kepada gurunya, para pengikut bahkan meniru kebiasaan lahiriah dan pakaian guru mereka. Namun, kadang-kadang peniruan ini dilakukan secara ekstrem sehingga kehilangan maknanya dan lebih menjadi tiruan lahiriah yang kosong, yang tak ada manfaatnya, ketimbang menjadi tanda kesatuan atas dasar kesamaan satu sama lain.
Suatu contoh dari peniruan ekstrem ini nampak dalam kasus seorang guru yang, karena kondisi giginya yang buruk, kalau makan selalu bunyi mencapak-capak. Para muridnya, tanpa menyelidiki alasan dari kebiasaan itu, dengan bodoh menirunya. Imam Ja'far Shadiq tak pernah menggunakan siwak untuk membersihkan gigi-nya selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Beberapa pengikutnya berpikir bahwa ia telah menemukan cara baru untuk memelihara kebersihan gigi tanpa menggunakan siwak, walaupun ini suatu kebiasaan yang disenangi Nabi Muhammad, dan yang ingin ditiru oleh semua pengikutnya. Imam Ja'far mengatakan kepada mereka bahwa giginya telah demikian lemah sehingga apabila ia menggunakan siwak, maka akan lebih rusak. Yang penting ialah hubungan antara guru dan murid, karena dengan begitu keadaan si murid akan terangkat ke keadaan si guru.
Perhatian utama seorang sufi ialah bagaimana terlepas dari hal-hal fana yang menghalangi seseorang dari kemajuan spiritual. Agar seseorang tidak terus dihalangi oleh aspek kehidupan duniawi, ia memerlukan suatu cara untuk mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal duniawi itu. Berbagai doa, maupun perhatian yang terkonsentrasi yang hanya diarahkan kepada satu asma atau sifat Ilahi tertentu, atau bentuk zikir lainnya yang sesuai, dapat menyempitkan proses pemikiran dan menyalurkan energi. Jelaslah, mengulang-ulang suatu bunyi khusus dapat membantu usaha mencapai pemusatan ke satu titik. Praktik pemusatan ke satu titik itulah yang memungkinkan seseorang untuk tidak begitu terganggu perhatiannya. Pemusatan ke satu titik adalah suatu keadaan yang demikian didambakan oleh manusia sehingga kita dapati banyak kegiatan rekreasi, hobi, olah raga, dan tentu saja semua usaha ilmiah dan penelitian, terpusat padanya. Dengan mengikuti gerakan bola golf, perhatian orang tidak terganggu oleh peristiwa lain di sekitarnya sehingga pikirannya tidak langsung bingung dan ruwet.
Demikian pula, apabila seorang sufi mengulang-ulang kalimat la ilaha illallah, yang berati "tak ada tuhan selain Allah", maka pikirannya secara berangsur-angsur disapu bersih. Komputer pikirannya dibersihkan. Pikiran manusia cocok benar bila dipanggil untuk berurusan dengan hal-hal yang besifat alami, kausal atau eksistensial. Sebab persoalan tersebut sangat kondusif untuk pemikiran rasional atau logis dan harus bebas dari berbagai pertimbangan psikologis atau emosional yang berlebihan, yang cenderung memacetkannya. Jadi, tujuan dari mengingat Allah (zikir) ialah untuk membersihkan pikiran secara psikologis. Yakni membebaskannya dari doktrin serta membersihkan filter-filternya. Ada macam-macam bentuk zikir untuk jenis penyakit, orang, keadaan, waktu, dan kondisi yang berbeda-beda.
Sebagai sarana untuk sampai kepada konsentrasi tunggal, penyebutan sifat-sifat Allah adalah penting. Sifat-sifat seperti ar-Rahman (Penyayang) , ash-Shabur (Sabar) , al-Khaliq (Pencipta) , ar-Razaq (Pemberi Rezeki) , al-Lathif(Maha halus), al-Wadud (Cinta), as-Salam (Damai), dan seterusnya, secara berulang-ulang disebut dan diseru, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan seseorang. Kata Allah yang menunjukkan esensi realitas juga sering disebut-sebut Kedua sifat, Yang Hidup dan Yang Abadi ( al-Hayyu al-Qayyum), bunyinya sangat mirip dengan seruan AUM dalam bahasa Sansakerta ketika disebutkan berbarengan. Tak diragukan bahwa mengalunkan asma dan sifat-sifat Ilahi ini sangat banyak menolong dalam menimbulkan keadaan terpusat dan tenteram pikiran yang didambakan.
praktik-praktik dan zikir ini membantu semua level, tetapi sebaiknya dilakukan oleh guru spiritual. Memungut secara sembarangan dan mengulang-ulang beberapa zikir atau praktik sufi yang pernah dibaca atau didengar, bisa saja mendatangkan efek-efek yang bermanfaat, tetapi tidak bernilai langgeng. Lagi pula tak ada pengganti bagi kearifan dan pengetahuan serta pendampingan dari seorang guro spiritual yang sebenarnya.
Ada cerita tentang seorang kolektor barang antik yang menemukan sebuah naskah kuno dalam bahasa Arab. Di dalamnya terdapat resep untuk mengobati berbagai penyakit lever. di antara petunjuknya menyatakan bahwa seekor ular hitam harus digiling dan dicampur dengan ramuan-ramuan lainnya. Maka si kolektor barang antik itu mencari ular hitam, meracik obatnya, lalu menunggu orang kaya yang menderita penyakit hati. Ketika seorang pangeran muda terkena hepatitis, dokter yang mengangkat diri sendiri itu segera ke istana raja dengan ramuan rahasianya. Dalam satu hari pangeran itu mati dan si kolektor barang antik pun dipenjarakan seumur hidup.
Bagi orang awam, kata ular dan benih dalam bahasa Arab nampak sama, karena tertulis hampir secara identik kecuali tidak adanya satu titik. yang sangat penting adalah bahwa resep itu harus datang dari orang yang tepat Guru spiritual yang sejati, apabila ia baik, ikhlas dan dalam ketundukan, akan memberikan kepada muridnya obat yang spesifik dengan cara yang spesifik. Kira-kira seperti menginstruksikan kepada seseorang tentang di mana mendapatkan harta terpendam. Pengarahan yang tepat dan jumlah langkah yang tepat yang harus dilakukan mutlak harus diikuti; kalau tidak maka pencari yang penuh gairah tetapi sembrono mungkin memutuskan untuk menambah sendiri beberapa langkah dan sama sekali gagal mendapatkan harta itu.
Pendekatan yang sama berlaku pada instruksi-instruksi yang diberikan oleh guru spiritual mengenai berbagai bentuk zikir, salat, dan doa. Adakalanya, kita mendapat resep spiritual dari orang yang tak memenuhi syarat dan percaya takhayul dengan maksud baik, tetapi hasilnya tidak efektif atau hanya berlangsung sementara.
Tetapi, tak diragukan bahwa setiap meditasi atau pujian kepada Tuhan dan zikir itu secara spiritual bermanfaat Kira-kira seperti meminum tonikum umum yang menolong setiap orang, apa pun keluhannya. Namun, dalam hal penyakit yang akut atau khronis, tonikum hanya membawa kelegaan sementara dan terbatas, dan pelayanan seorang dokter yang cakap diperlukan. Berbagai bentuk zikrullah dari setiap tarekat sufi adalah bermanfaat. Setiap zikir yang datang dari guru spiritual sejati membawa manfaat, sekalipun tidak diresepkan khusus bagi orang yang melakukannya, tetapi bilamana suatu bentuk zikrullah diresepkan oleh guru rohani secara individual, dan disalurkan dari hati ke hati, maka suatu langka
MAKHLUK PERTAMA DICIPTAKAN ALLAH
Sikap yang diperlukan dari kita adalah sikap adil, tawazun dan menempat segala sesuatu tepat pada tempatnya. Misalnya dalam menilai pandangan saudara-saudara kita yang cenderung ke arah tasawuf.
Ketahuilah bahwa dunia tasawuf itu sangat luas, ragamnya sangat banyak, alirannya bermacam-macam serta variasinya juga tidak terkira. Maka bukan pada tempatnya untuk mem-black-list semua hal yang berbau tasawuf sebagai sesuatu yang pasti batilnya, sebagaimana juga kurang tepat kalau semua dianggap benar.
Kita perlu memilah dan membedakan antara satu dengan lainnya secara adil, sistematis dan cermat. Bukan asal hantam dan main caci maki, juga bukan dengan fanatisme buta. Diperlukan sedikit kecerdasan lebih untuk bisa melakukan pemetaan dan analisa.
Paramater Kebenaran
Untuk mengetahui apakah sebuah paham atau pemikiran itu benar atau tidak, ada hal-hal yang perlu kita perhatikan:
1. Pemikiran itu harus bersumber dari Al-Quran atau As-Sunnah. Kalau tidak ada dasar dari keduanya, maka kita tidak bisa menerimanya sebagai bagian dari aqidah dan syariah Islam.
2. Dalam memahami serta beristidlal kepada Al-Quran, harus dilakukan sesuai dengan urutannya. Tiap ayat dari Al-Quran harus dipahami sesuai dengan ayat lainnya yang juga ada di dalam Al-Quran. Tidak boleh pemahaman dari ayat tertentu menjadi bertentang dengan ayat lainnya.
Dan demikian seterusnya, pemahaman yang kita ambil dari suatu ayat juga harus sesuai dengan hadits nabawi.
3. Demikian juga ketika kita mengambil kesimpulan dari hadits-hadits nabawi,tidak boleh bertentangan dengan ayat Quran atau hadit nabawi yang lainnya.
4. Dan khusus untuk sunnah nabawiyah, selain masalah metode istimbathnya, juga harus dipastikan bahwa kita hanya merujuk kepadariwayat-riwayat yangbisa diterima derajatnya, meski tidak harus shahih.
Dan masalah derajat keshahihan suatu riwayat sudah ada metodologinya sendiri, tidak boleh membuat-buat jalur periwayatan sendiri yang tidak punya dasar.
Kebanyakan masalah yang paling sering dipertanyakan dari kalangan ahli tasawuf adalah pada penyandaran hadits yang kurang kuat periwayatannya. Seperti hadits pertama di atas yang tidak dicantumkan siapa perawinya, sehingga kita tidak tahu sejauhmana tingkat validitasnya.
Selain itu juga seringkali kesimpulannya terkesan parsial, tidak memperhatikan adanya dalil-dalil lainnya yang sebenarnya bertentangan. Padahal mengambil dalil secara parsial merupakan tindakan yang sangat berbahaya.
Contoh Aktifitas Tasawwuf yang Bertentangan dengan Syariat
a. Dalam Masalah Aqidah dan Keimanan
Keyakian bahwa bila telah mencapai tingkat ma`rifat (tingkatan yang tinggi) dalam pandangan mereka, maka seseorang tidak perlu lagi menjalankan syariat. Tidak perlu melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Mereka berkeyakinan manusia yang telah mencapai derajat itu sudah bebas tugas dari Allah.
Ini adalah paham yang salah dan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena Allah SWT berfirman:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.(QS. Al-Hasyr: 7)
b. Dalam masalah pandangan sempit pada Islam
Ada sebagian dari para pengikut tasawwuf adalah isolasi (memutuskan kontak) terhadap masalah sosial dan kerjanya hanya berzikir di dalam masjid. Mereka tidak bekerja mencari nafkah, tidak mencari ilmu, tidak berdakwah, tidak berjihad dan tidak menolong fakir miskin.
Alasan mereka bahwa semua itu adalah aktifitas keduniaan semata. Padahal Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan sosial bahkan mewajibkan bekerja karena kerja mencari nafkah adalah ibadah.
Padahal Allah SWT telah berfirman:
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS Al-Jumuah: 10)
Islam mencakup semua aspek kehidupan baik pribadi, keluarga, masyarakat, ekonomi, politik, perang bahkan mengatur negara. Islam adalah agama sekaligus negara. Rasulullah SAW adalah seorang Nabi, pemimpin masyarakat, ahli ekonomi, ahli tata negara, panglima perang, sekaligus juga seorang pendidik dan ayah teladan bagi anak-anaknya. Beliau bekerja mencari nafkah, melakukan aktifitas sosial dan transaksi perdagangan bahkan memimpin penyerbuan dalam perang.
Pandangan seperti sebenarnya tidak lain adalah beriman pada sebagian ayat dan mengingkari ayat yang lain. Al-Quran sendiri mengatur seluruh sisi kehidupan manusia.
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.(QS AL-Baqarah: 85)
c. Dalam Masalah Tata Cara
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, ada sebagain di antara mereka yang melakukan tari-tarian dan gerakan badan. Kadangpada titik tertentu seperti orang kesurupan, melafalkan kalimat-kalimat aneh yang tidak diajarkan oleh Nabi, bahkan terkadang meminum khamar dan cara-cara yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Dengan cara itu mereka beranggapan telah sampai dan bertemu dengan Allah.
Atau ada yang melakukan jenis ibadah tertentu seperti puasa wishal (bersambung) yang sebenarnya telah diharamkan. Sebagian lain ada yang mengharamkan jenis makanan tertentu yang Allah halalkan dan sebaliknya. Sikap seperti ini sebenarnya kurang tepat, sebab firman Allah SWT sangat jelas:
Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam. (QS. Al-Ankabut - 28)
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al-An`am: 108)
Sejarah Tasawuf dalam Islam
Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu. Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.
Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal. Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka, sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan isteri dan kewajibannya.
Lalu Nabi saw. menegurnya dengan sabdanya, "Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi isteri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya." Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada isteri-isteri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para isteri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya." Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan, "Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau, "Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku." Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini. Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam). Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja. Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktik yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktikkan teori di luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka. Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul, "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin."
Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam. Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni.
Di samping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
Kesimpulan:
Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.
Tidak semua tasawwuf bid`ah dan sesat, selama tasawwuf itu berpegang pada dasar syariat yang benar.
Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
MEMAHAMI TAKDIR DAN KEHENDAK ALLAH
Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah memang pernah untuk sesaat mengharu biru dunia Islam, setidaknya untuk kurun waktu tertentu di wilayah tertentu. Namun alhamdulillah keduanya sudah mati karena tidak ada pengikutnya.
Kematian kedua ajaran ekstrim dan fatalis itu tidak lain karena memang tidak sesuai dengan nurani dan logika berpikir yang sehat. Selain tentunya memang tidak sesuai dengan apa yang Allah SWT ajarakan di dalam kitab suci-Nya.
Paham Jabariyah
Paham Jabariyah yang sesat itu berpandangan bahwa peran usaha dan upaaya manusia tidak ada artinya dan percuma dilakukan. Sebaliknya, segala sesuatu sangat tergantung satu-satunya kepada kehendak Allah SWT.
Hanya kehendak Allah saja yang menentukan, menetapkan dan memutuskan segala nasib hingga amal perbuatan manusia. Hanya Qudrat dan Iradat Allah yang berlaku. Sedangkan usaha dan upaya manusia tidak ada artinya sama sekali.
Paham jabariyah muncul karena terpengaruh dengan pemikiran dari aliran Determinismus dalam Theologis Islam. Paham ini mula-mula timbul di Khurasan (Persia) dengan pemimpinnya yang pertama bernama Jaham bin Shafwan. Sehingga aliran sesat ini disebut juga Madzhab Jahamiyah. Jaham bin Shafwan mendirikan aliran Jabariyah ini belajar dari seorang Yahudi yang masuk Islam bernama Thalud bin A’sam.
Prinsip kesesatannya adalah bahwa manusia diibaratkan sebagai kapas yang berterbangan mengikuti tiupan angin. Manusia tidak mempunyai kemampuan memilih jalan hidupnya. Perbuatan baik atau jahat yang dilakukan manusia sudah ditetapkan Allah.
Untuk lebih keren, paham sesat Jabariyah suka pakai ayat Quran yang dipahami secara aneh dan keliru, sekedar untuk melegitimasi pendiriannya yang menyimpang. Misalnya ayat berikut ini:
Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ash-Shaffat: 96)
Qadariyah: Kontra Jabariyah
Dalam menentang paham Jabariyah, paham sesat Qadariyah justru secara ekstrim menyangkal adanya kekuasaan Allah. Manusia sebagai makhluk Allah secara mutlak dapat menentukan sendiri segala sesuatu dalam hidupnya.
Dalam pandangan aqidah sesat ini, Allah SWT sudah tidak berkuasa lagi setelah mencipta. Tugas Allah SWT hanya mencipta, setelah itu Allah sudah tidak punya kuasa apa-apa lagi kepada makhluk yang diciptakan-Nya iut. Kekuasan kemudian ada di tangan manusia. Manusia lah yang kemudian mengatur dirinya dan alam semesta melalui hukum sebab akibat.
Jelas sesat sekali paham ini dan benar-benar telah jauh menyimpang dari arah aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka sepakat para ulama akidah untuk menyebutkan bahwa akidah Qadariyah ini adalah akidah yang sesat dan menyimpang serta merupakan bid'ah yang sesat.
Tapi biar kelihatan benar, terpaksa para pemuka aliran ini menggunakan ayat Quran yang ditafsir-tafsrikan sekenanya sebagai dalil. Mumpung banyak umat Islam yang buta huruf Arab dan tidak mengerti tafsir dengan benar. Dan kenyataannya, kebodohan umat Islam itu memang sangat efektif untuk membawa mereka ke arah pengaburan akidah.
Biasanya yang paling sering dipakai dan jadi korbannya adalah ayat berikut ini:
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’ad: 11)
Paham ini tidak lain hanyalah sebuah Indeterminismus Theologis Islam. Tokoh yang sering disebut-sebut sebagai pelopornya antara lain Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan al-Ja’du bin Dirham, sekitar tahun 70 Hijriah atau 689 Masehi.
Jabariyah VS Qadariyah
Karena memang sangat bertentangan, terkadang terjadi hal yang lucu. Kedua aliran sesat itu kemudian saling bertikai dengan cara yang memalukan.
Tidak jarang mereka saling mencaci dan memaki, bahkan sampai ke tingkat pertumpahan darah. Repot juga ya, sudah sesat, eh masih saling menuduh lawannya sesat.
Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, bilamana masing-masing pihak mengetahui dan menyadari bahwa paham-paham tadi sebenarnya bersumber dari luar ajaran Islam.
Dua paham fatalis itu sesungguhnya lahir dari kerancuan berpikir pada filsouf jadul di masa Yunani Kuno. Pada masa penerjemahan besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan dari Eropa ke dalam bahasa Arab, rupanya ada orang-orang yang masih lemah iman ikut-ikutan mempelajari kerancuan filsafat Eropa itu.
Adalah Thalud bin A’sam, seorang yang asalnya beragama yahudi, lantas masuk Islam, yang sering disebut-sebut paling bertanggug-jawab dalam masalah penyebaran aliran ekstrim dan pemikiran fatalis ini.
Lalu Bagaimana Kita Memahami Takdir Allah?
Mungkin kita jadi bertanya, kalau dua kutub ekstrim itu sesat, yaitu Jabariyah dan Qadariyah, lalu bagaimana kita memahami takdir, kehendak atau ketentuan Allah itu?
Jawabnya sederhana saja dan kita tidak perlu jauh-jauh belajar kepada filsouf Yunani yang mereka sendiri saja rancu ketika menjawabnya.
Sesungguhnya taqdir atau kehendak Allah itu ada tiga lapis yang merupakan satu kesatuan.
1. Kehendak (Iradah) Kauniyah
Kehendak Allah ini disebut iradah (kehendak) kauniyah, yaitu berlakunya kehendak Allah itu sebagai ketentuan di alam semesta.
Contohnya adalah hukum kausalitas dalam segala sesuatu. Misalnya dalam hukum fisika yang ada di alam semesta ini. Ada grafitasi, ada berat, ada panas, dingin, dan seterusnya. Semua itu adalah iradah atau ketentuan Allah SWT. Dan semua merupakan sunnatullah yang berjalan.
Di dalam kehidupan ini juga ada hukum kausalitas yang berlaku. Mau pandai, ya harus belajar. Mau kaya dan banyak uang, ya tentu saja harus harus bekerja keras, efisien, berhemat, menabung dan lainnnya.
Dalam sunnatullah ini, segala sesuatu berjalan semata memang dengan hukum sebab akibat dan tidak ada kaitannya dengan apakah sesorang itu muslim atau tidak muslim.
Jika giat belajar akan menjadi pandai, jika rajin bekerja akan berhemat akan menjadi kaya. Semua ini merupakan bagian dari kehendak Allah yang berlaku umum.
2. Kehendak (Iradah) Syar'iyah
Selanjutnya, pada level berikutnya ada iradah (kehendak) syar'iyah. Di mana Allah secara khusus, Allah berkehendak agar umat manusia mengikuti ajaran yang telah diturunkan-Nya lewat para nabi dan kitab suci.
Iradah syar'iyah ini memang perintah, namun sifatnya khusus hanya kepada manusia saja. Sedangkan hewan, tumbuhan dan alam semesta yang lainnya, tidak ikutan dalam kehendak yang satu ini.
Bahkan buat manusia (dan jin), kehendak ini sifatnya tidak mengikat. Sifatnya pilihan, kalau mau silahkan ikuti kehendak (perintah Allah), tentu dengan segala resikonya. Dan kalau tidak mau, tidak lantas dibikin mati langsung atau disiksa. Silahkan saja tidak menjalankan kehendak Allah, tapi resikonya ada.
Cuma resikonya tidak langsung kelihatan, tidak seperti iradah kauniyah yang langsung bisa dirasakan. Orang betawi bilang, "Dosa tidak bejendol." Setidaknya orang atheis dan kafir memang suka memanfaatkan kesempatan bodoh ini.
Manusia diberi kebebasan untuk memilih pilihan yang mana. Untuk itu manusia sudah diberi fasilitas yang tidak pernah Allah SWT berikan kepada makhluk lainnya. Fasilitas itu amat berharga dan teramat unik. Belum pernah Allah berikan kepada makhuk lain, sehingga makhluk lain itu iri hati kepada manusia.
Fasilitas itu adalah akal dan hati. Jika ada manusia dengan akal dan hatinya menjatuhkan pilihan untuk menjadi pembangkang, begundal atau sekalian jadi orang kafir, ya resikonya harus ditanggung sendiri.
Pasti akal dan hatinya pasti bisa memberikan pertimbangan yang matang. Cuma sayangnya, seringkali akal dan kalbunya itu malah tidak dipakai. Seperti yang Allah SWT ceritakan di dalam Quran:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al-A'raf: 179)
Yang lebih parah lagi adalah ketika hati mereka sudah rusak atau sakit, sehingga tidak bisa berfungsi dengan benar. Ini juga diceritakan Allah SWT di dalam Quran:
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS. Al-Baqarah: 10)
3. Kehendak (Iradah) Khashshah
Kehendak yang terakhir ini sifatnya sangat khusus, dan memang kita mengenal adanya perlakuan kehendak yang teramat khusus dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, tapi hanya terbatas sekali.
Tentunya tidak terlalu banyak berlaku pada makhluk lainnya. Hanya kepada objek-objek tertentu saja kehendak itu dijalankan.
Misalnya, ada orang yang atas kehendak Allah, pada akhirnya mati husnul khatimah. Padahal sepanjang hidupnya bergelimang dengan dosa dan kesesatan.
Tentunya kita tidak bisa bilang begini, "Tuh kan, biar pun banyak dosa, tapi kan akhirnya masuk surga juga. Makanya sekarang ini bikin aja dosa-dosa sebanyak-banyaknya, toh akhirnya kan bakalan masuk surga juga."
Kalau memang begitu logikanya, lalu asyik bikin dosa terus mati dan masuk neraka, jangan protes. "Kok saya masuk neraka, ya Allah, bukankah itu orang lain bikin dosa akhirnya masuk surga?"
Tentu saja protes itu tidak berlaku. Sebab kehendak Allah SWT untuk memberi hidayah kepada orang itu bisa tobat tidak semata diberikan kepada siapa saja.
Biasanya para bencong yang sesat dan menyesatkan sering kali pakai dalil ini. "Biarin aja aku begini (jadi bencong), toh ini kehendak 'yang di atas' juga." Tidak jelas maksudnya, tapi barangkali dia mengangigap dirinya jadi bencong itu karena kehendak Allah, jadi mana mungkin Allah akan menyiksa dirinya?
Alangkah naif dan aneh pemikirannya. Dengar, bahkan sekedar menyebut nama Tuhan atau Allah pun tidak mau, najis barangkali dalam pandangannya. Maka dia sebut itu adala kehendak 'yang di atas'. Siapa yang dimaksud dengan 'yang di atas"? Monyet lagi nangkring atau tukang betulin genteng?
Kita sebenarnya merasa kasihan sekali kepada para bencong itu, sudah dosa, sesat pula akidahnya, mati neraka lagi. Eh, bangga pula dengan tindakannya. Na'udzubillahi min zhalik
Buat khalayak umum, yang berlaku adalah hukum pada level dasar. Di mana semua orang harus kerja keras untuk mendapatkan surga, tidak bisa enak-enakan menumpuk dosa lalu berpikir akan ada keajabian, lalu masuk surga.
Fasilitas seperti hidayah dan pengampunan ini tidak buat orang banyak, hanya berlaku buat kasus tertentu saja.
Ibarat seorang Presiden yang punya hak grasi dan pengampunan. Allah yang Maha Pencipta Alam Semesta mempunyai hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat. Jika kepada Presiden diajukan yang namanya grasi, maka seorang hamba Allah untuk menghadirkan hak prerogatif Allah yaitu dengan melalui do’a yang diikuti dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Jadi taqdir Allah itu didahului dengan usaha sungguh-sungguh dibarengi dengan do’a yang bersungguh-sungguh pula. Inilah pemahaman taqdir dalam Islam secara tepat dan benar.
Secara bahasa, tawassul artinya taqarrub atau mendekatkan diri. Seperti kita berkata bahwa saya bertawassul kepada Allah dengan amal, maksudnya saya bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah lewat amal shalih.
Tawassul adalah salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan Allah SWT, dengan segala tata cara yang telah ditetapkan. Bahkan ada perintah khusus buat kita untuk bertawassul, sebagaimana firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah: 35)
Bahkan Allah SWT memuji orang yang bertawassul dalam salah satu firman-Nya:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورً
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang ditakuti. (QS. Al-Isra': 57)
Tata Cara Tawassul Yang Disepakati Kebolehannya
Namun seperti apa bentuk bertawassul ini, para ulama telah bersepakat pada beberapa cara dan tidak bersepakat dalam beberapa cara lainnya.
1. Tawassul dengan Iman dan Amal Shalih
Ini adalah tata cara tawassul yang disepakati ulama. Salah satu dalilnya yang paling masyhur adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dalam Shahih Bukhari tentang kisah tiga orang yang terkurung di dalam gua lalu berdoa kepada Allah dengan bertawassul lewat amal-amal shalih yang pernah mereka kerjakan.
Orang pertama berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah begadang semalaman menunggu kedua orang tuanya bangun dari tidur, dengan memegang susu yang ingin diberikan kepada mereka.
Orang kedua berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah hampir jatuh di lembah zina da hampir saja melakukanya, namun tiba-tiba dia tersadar dan tidak jadi melakukanya.
Orang ketiga berdoa dengan menyebutkan bahwa dirinya pernah menjaga amanah harta milik karyawannya yang tidak diambil, sampai harta itu kemudian menjadi peternakan besar, lalu tiba-tiba karyawannya itu mengambil semuanya tanpa menyisakan sedikit pun.
Maka dengan dasar tawassul atas amal shalih ketiga orang itu, bergeserlah batu besar yang menutup gua dan selamatlah ketiga orang itu.
2. Tawassul Dengan Menyebut Nama dan Sifat Allah
Para ulama sepakat ketika kita berdoa, hendaklah kita memanggil Allah dengan nama-nama Allah SWT serta sifat-sifat-Nya. Sebagaimana tindakan Nabi Muhammad SAW yang bila mendapatkan beban tertentu, beliau berdoa dengan memanggil nama Allah.
ياحي يا قيوم برحمتك أستغيث
Wahai Tuhan Yang Maha Hidup dan Kekal, dengan rahmat-Mu aku bermohon.
Selain itu Rasulullah SAW juga diriwayatkan pernah berdoa dengan lafadz seperti ini:
أسألك بكل اسم سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أو استأثرت به في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلبي ونور بصري وجلاء حزني وذهاب همي
Aku meminta kepada Mu dengan semua nama yang Engkau namakan diri-Mu, atau nama-nama yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau nama-nama yang Engkau ajarkan seseorag dari makhluk-Mu, atau nama-nama yang Engkau khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu: Agar Engkau jadikan Al-Quran sebagai musim semi hatiku, cahaya pandanganku, pelipur laraku serta pengusir kesalku.
Maka bertawasul dengan menyebut nama-nama Allah yang indah adalah perintah agama.
3. Tawassul Dengan Nabi Muhammad di Masa Hidupnya
Ketika Rasulullah SAW masih hidup banyak para shahabat yang minta didoakan oleh Rasulullah SAW. Minta didoakan termasuk juga perkara tawassul, dan hukumnya dibolehkan para ulama dengan sepakat, tanpa ada yang berbeda pandangan.
Baik doa yang terkait dengan mashlahat dunia atau pun dengan mashlahat akhirat.
Cara Tawassul Yang Tidak Disepakati Kebolehannya
Yang jadi titik perbedaan pandangan para ulama adalah ketika sekarang Rasulullah SAW sudah wafat, apakah kita masih boleh bertawassul lewat beliau, dalam arti dengan menyebutkan dzat atau kedudukan (jaah) Rasulullah SAW ketika kita meminta kepada Allah.
Misalnya lafadz doa: Ya Allah, kami meminta kepada- Mu dengan perantaraan nabi-Mu. Atau lafadz lainnya seperti "Allahumma inni as'aluka bi jaahi nabiyyika", yang artinya, "Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan jaah nabi Mu."
Dalam masalah ini, memang kita dapati para ulama berbeda pendapat, sebagian ada yang membolehkan, namun sebagian lainnya tidak membolehkan. Dan sebagiannya sekedar memakruhkan. Tentunya masing-masing tidak asal berfatwa, sebab mereka bukan sekedar penceramah yang banyak bicara tapi tanpa punya ilmu.
Para ulama adalah ulama dalam arti kata yang sesungguhnya. Mereka punya ilmu dan telah memenuhi semua persyaratan sebagai mujtahid. Tentu semua ayat Quran dan hadits telah dilalap habis dan metodologi pengambilan hukum pun telah matang dikuasai. Kalau hasilnya berbeda, memang sesuatu yang sifatnya lumrah dan biasa terjadi.
1. Pendapat Yang Membolehkan
Di antara para ulama yang membolehkan adalah para jumhur ulama, di antaranya adalah para ulama mutaakhkhirin dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah. Juga para ulama dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Keterangan tentang hal itu bisa kita dapati di beberapa rujukan seperti kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab jilid 8 halaman 274. Juga kita dapati di dalam kitab Syarah Al-Mawahib jilid 8 halaman 304 dan kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah jilid 1 halaman 266 serta kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 148.
1.1. Pendapat Sebagian Ulama Hanafiyah (Mutaakhkhirin)
Al-Kamal bin Al-Hammam, ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah termasuk yang membolehkan bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
Dalam kitab Fathul Qadir, beliau menyebutkan bahwa hendaklah orang yang berziarah ke makam Rasulullah SAW itu mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW (assalamu 'alaika), lalu silahkan menyampaikan hajatnya kepada Allah dengan bertawassul kehadhirat Rasulullah SAW.
1. 2. Mazhab Malik
Diriwayatkan dalam kitab Fadhailu Malik (Keutamaan Imam Malik) karya Abul Hasan Ali bin Fihr, bahwa Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya oleh Abu Ja'far Al-Manshur, khalifah yang kedua dari dinasti Khilafah Abbasiyah.
"Wahai Aba Abdillah, apakah Aku harus menghadap kubur Rasulullah lalu berdoa, ataukah Aku menghadap kiblat lalu berdoa?"
Al-Imam Malik menjawab, "Kenapa Anda harus memalingkan wajah dari kubur Rasulullah SAW? Padahal Rasulullah SAW adalah wasilah (perantaraan) bagimu kepada Allah di hari kiamat, bahkan beliau SAW juga merupakan wasilah buat Nabi Adam alaihissalam kepada Allah. Silahkan hadapkan dirimu kepada Rasulullah SAW dan mintalah syafaat agar Allah SWT memberimu syafaat."
Kisah ini ternyata bukan hanya terdapat di satu kitab, tetapi ada kitab lain, misalnya kitab Asy-Syifa' karya Al-Qadhi 'Iyyadh lewat jalurnya dari para masyaikh-nya yang tsiqah.
1. 3. Mazhab Asy-Syafi'i
An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi yang menganut mazhab Syafi'i dalam adab ziarah kubur Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa di antara adabnya adalah hendaklah peziarah kembali ke arah kubur Rasulullah SAW, lalu bertawassul, dan meminta syafaat dengannya kepada tuhannya.
Al-'Izz ibnu Abdissalam yang juga masih dari kalangan mazhab Asy-Syafi'i mengatakan bahwa hendaknya urusan bertawassul ini satu-satunya yang dibenarkan lewat seseorang hanya lewat Rasulullah SAW saja, tidak lewat nabi yang lain, atau para malaikat, apalagi para wali. Sebab Rasulullah SAW adalah sayyidu waladi Adam, jujungan semua anak Adam.
As-Subki mengatakan bahwa hukum bertawassul, istighatsah serta meminta syafaat kepada Nabi Muhammad SAW adalah hal yang merupakan kebaikan.
1. 4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah dari kalangan ulama mazhab Al-Hanabilah dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:
"Dan dicintai bila seseorang masuk ke dalam masjid agar mendahulukan kaki kanannya. Sampai kepada kalimat: Kemudian hendaklah dia mendatangi kubur Nabi Muhammad SAW dan berdoa:
"Aku telah datang kepada Baginda dengan meminta ampun dari dosa-dosaku, dengan memohon syafaat lewatmu kepada tuhanku".
Kesimpulannya, umumnya para ulama dari berbagai mazhab tidak mengharamkan kita bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Lawan dari pendapat pertama adalah pendapat kedua, yaitu mereka yang mengharamkan bertawassul dengan diri Nabi Muhammad SAW.
Mereka yang termasuk mengharamkan bertawassul dengan diri Rasulullah SAW antara lain Ibnu Taimiyah dan sebagian dari ulama mutaakhkhirin dari kalangan mazhab Hambali.
Lebih detailnya, yang mereka haramkan adalah adalah bila bertawassul dengan dzat Rasulullah SAW. Sedangkan bertawassul kepada Rasulullah SAW dalam arti mentaati perintah beliau atau meminta didoakan oleh Rasulullah SAW dalam masa hidup beliau, tentu tidak termasuk yang diharamkan.
Namun penting untuk dicatat, bahwa bila Ibnu Taimiyah mengharamkan bertawassul kepada diri Nabi SAW, bukan berarti beliau membolehkan untuk menuduh kafir kepada mereka yang membolehkan bertawassul.
Ibnu Taimiyah tegas sekali menyebutkan bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah di tengah umat. Barangkali beliau tahu bahwa begitu banyak ulama besar di masa salah yang membolehkan bertawassul kepada diri nabi Muhammad SAW. Sehingga ada semacam pesan khusus untuk tidak boleh mengkafirkan pendapat yang membolehkan tawassul.
Silahkan periksa kitab Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 1 halaman 106 tentang pendapat beliau dalam masalah tawassul ini, serta pandangan beliau yang tidak mengkafirkan orang yang membolehkannya.
3. Pendapat Yang Memakruhkan
Kalau pendapat pertama membolehkan, dan pendapat kedua mengharamkan, maka pendapat yang ketiga memakruhkan. Benar juga apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa masalah ini ternyata adalah masalah khilafiyah.
Mereka yang mewakili pendapat ketiga ini adalah Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad. Mereka bertiga kompak untuk mengatakan bahwa tindakan bertawassul kepada diri Rasululllah SAW itu bukan haram, melainkan tindakan yang hukumnya makruh.
Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah, "Tidak pantas bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan menyebut nama dan sifat Allah. Sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berdoa dengan menyebut nama-nama indah (al-asma'ul husna)."
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raf: 180)
Di dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar disebutkan: Yang lebih hati-hati adalah tidak melakukan tawassul kepada Rasul. Sebab dalil yang membolehkannya hanya berupa khabar wahid, sedangkan yang tidak membolehkannnya adalah dalil yang qath'i.
Lihat dan periksa kitab Hasyiatu Ath-Thahawi ala Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 4 halaman 199.
Kesimpulan
1. Bertawassul adalah perintah Allah SWT dan bagian dari ibadah ritual yang punya dasar masyru''iyah.
2. Tawassul yang disepakati kebolehannya oleh para ulama adalah bertawassul dengan al-asmaul husna (nama Allah yang indah) serta lewat sifat-sifat-Nya. Dan juga bertawassul dengan iman serta amal shalih. Dan bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup dengan cara minta didoakan.
3. Bertawassul kepada diri Rasulullah SAW setelah beliau wafat hukumnya khilaf di tengah para ulama, ada yang membolehkan yaitu jumhur ulama, ada yang mengharamkan seperti Ibnu Taimiyah dan ada yang memakruhkan seperti Abu Hanifah dan dua muridnya.
4. Ibnu Taimiyah yang mengharamkan tawassul kepada Rasul setelah beliau wafat tidak mengkafirkan pihak-pihak yang membolehkan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
AJARAN KAUM SUFI TENTANG (BATAS) KEMAMPUAN
Mereka mengakui bahwa setiap tarikan nafas, setiap lirikan mata dan setiap gerakan mereka bisa terjadi berkat indera yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, dan merupakan suatu kemampuan yang Dia ciptakan untuk mereka bersamaan dengan tindakan-tindakan mereka, bukan sebelumnya atau sesudahnya, dan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilaksanakan tanpa ini semua; sebab, kalau tidak, berarti mereka memiliki sifat Tuhan, bisa melakukan segala yang mereka inginkan dan menetapkan segala yang mereka kehendaki, dan Tuhan tidak lagi akan menjadi Yang Maha Kuat, Yang Maha Berkuasa seperti dalam firman-Nya: "Begitulah Allah berbuat menurut kehendak-Nya, tidak lebih dari budak yang melarat, lemah dan hina.
Jika saja kemampuan ini ditentukan oleh pemilikan anggota badan yang sehat, maka tiap orang yang memiliki karunia itu akan dapat mencapai taraf yang sama; tapi pengalaman menunjukkan bahwa seseorang dapat saja memiliki anggota badan yang sehat, sedang tindakannya bisa jadi tidak sama sehatnya. Dengan demikian maka kemampuan tidak berasal dari indera dan menjelmakan dirinya dalam badan yang sehat; indera adalah sesuatu yang beragam tingkatannya pada berbagai saat, seperti yang bisa dilihat oleh orang pada dirinya sendiri. Lebih-lebih, karena indera itu merupakan suatu aksiden, dan aksiden itu tidak dapat bertahan sendiri, atau bertahan lewat sesuatu yang bertahan di dalamnya sebab jika sebuah benda tidak ada dengan sendirinya, dan tidak sesuatu pun bisa jadi ada karenanya, maka benda itu tidak dapat bertahan lewat pertahanan benda lain, sebab pertahanan benda lain itu tidak mengandung arti pertahanan untuknya, maka hal itu berarti benda itu tidak memiliki pertahanan sendiri; dan karenanya, tidak dapat tidak, kesimpulannya adalah indera masing-masing tindakan itu berbeda dari indera tindakan lain. Jika halnya tidak demikian, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Tuhan pada saat mereka bertindak, dan firman Tuhan, "Dan kepada Engkaulah kami mohon pertolongan", tidak akan ada artinya. Lebih jauh lagi, jika indera itu tidak ada sebelum adanya tindakan, dan tidak dapat bertahan sampai adanya tindakan tersebut, maka tindakan itu pasti dilakukan dengan indera yang telah tiada, yaitu tanpa indera apa pun; yang mengisyaratkan putusnya hubungan antara Tuhan dan hamba sekaligus. Sebab jika demikian halnya, maka jelas mungkin bahwa tindakan-tindakan itu bisa ada dengan sendirinya, tanpa perantara. Tapi Tuhan berfirman, dalam kisah Musa dan hamba-Nya yang kuat (Khidzir), "Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku" dan juga, "Demikianlah penjelasan persoalan yang kamu tidak sanggup sabar menghadapinya itu, yang Dia maksudkan sebagai yang tidak kamu miliki indera untuk melakukannya.
Mereka mengakui bahwa mereka diberi kepercayaan dengan tindakan-tindakan dan tanggung jawab dalam arti sejatinya, yang untuknya mereka diberi pahala dan dihukum; dan oleh sebab itu Tuhan mengeluarkan perintah dan larangan, dan menyampaikan berita gembira serta ancaman-ancaman. Arti istilah tanggung jawab itu adalah bahwa manusia bertindak karena sebuah indera yang dibuat (oleh Tuhan). Seorang tokoh Sufi berkata: Makna tanggung jawab adalah bahwa manusia itu bertindak demi mencari keuntungan atau menolak kesialan, maka Tuhan berfirman, Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri, dan yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri pula. Lebih jauh mereka akui bahwa mereka melaksanakan kehendak dan keinginan bebas yang menyangkut tanggung jawab mereka, dan bahwa mereka tidak dipaksa atau ditekan di luar kemauan mereka. Yang kami maksud dengan kehendak-bebas Tuhan dipatuhi bukan karena terpaksa, atau tidak dipatuhi dikarenakan tekanan yang berlebihan; Dia tidak meninggalkan hamba-Nya sama sekali tanpa melakukan sesuatu di kerajaan-Nya. Sahl ibn Abdillah berkata: Tuhan tidak memberi kekuatan kepada orang yang saleh lewat paksaan, Dia menguatkan mereka lewat iman. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata: Siapa pun yang tidak percaya pada takdir adalah orang kafir, dan siapa pun yang mengatakan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak patuh pada Tuhan adalah seorang pendosa.
AJARAN KAUM SUFI TENTANG PENGLIHATAN (NAZHAR)
Para Sufi mengakui bahwa Tuhan akan bisa dilihat dengan mata di dunia mendatang, dan bahwa orang-orang yang beriman akan bisa melihat-Nya sedang orang-orang yang tak beriman tidak. Sebab, itu merupakan karunia Tuhan sebagaimana yang difirmankan: "Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala dan bahkan ada pula tambahannya."
Mereka berpendapat bahwa penglihatan itu, lewat akal, mungkin, dan lewat pendengaran, pasti. Mengenai kemungkinan melihat melalui akal, hal ini mungkin karena Tuhan itu maujud, dan segala sesuatu yang maujud (logisnya) bisa dilihat. Sebab Tuhan telah menanamkan daya lihat dalam diri kita; dan jika daya lihat Tuhan itu tidak ada, maka permohonan Musa, "Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu," akan merupakan (bukti) kebodohan dan kekafiran. Lebih-lebih, ketika Tuhan menjadikan penglihatan itu tergantung pada syarat bahwa gunung itu harus tetap tegak (Dia berfirman, "Kalau bukit itu masih tetap tegak di tempatnya semula, mungkin engkau dapat melihat Aku."), dan mengingat juga bahwa tetap tegaknya bukit itu secara nalar mungkin kalau memang Tuhan membuatnya tetap tegak maka hal ini berarti bahwa penglihatan yang tergantung pada hal itu (tetap tegaknya gunung) pun secara nalar mungkin dan bisa diterima. Maka, karena telah ditetapkan bahwa penglihatan lewat akal itu mungkin, dan lebih-lebih karena telah dibuktikan bahwa penglihatan lewat pendengaran tersebut pasti Tuhan berfirman, "Saat wajah orang-orang yang beriman pada hari itu berseri-seri, melepas pandang kepada Tuhan-nya," dan lagi, "Untuk orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang baik dan bahkan ada pula tambahannya," dan lagi, "Tidak, yang sebenarnya mereka pada waktu itu benar-benar ditutup dari rahmat Tuhan." dan karena hadits menegaskan bahwa penglihatan itu memang ada, seperti kata Nabi, "Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu seperti kamu melihat bulan purnama di malam hari, tanpa kebingungan mencari-cari Dia," yang mengenainya banyak kisah masyhur dan sahih, maka perlulah kita menegaskan hal ini, dan percaya bahwa hal itu benar.
Penafsiran esoteris (batiniah) orang-orang yang menyangkal kemungkinan penglihatan akan Tuhan, seperti misalnya mereka yang menafsirkan melepas pandang kepada Tuhannya, sebagai memandang kepada pahala Tuhannya, sama sekali tak bisa dibenarkan, sebab pahala dari Tuhan itu tidak sama dengan Tuhan. Demikian juga dengan mereka yang mengatakan bahwa perlihatkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu, merupakan permohonan akan sebuah tanda; hal ini tak bisa dibenarkan, sebab Tuhan sebelumnya telah memperlihatkan tanda-tanda-Nya kepada Musa. Demikian pula halnya dengan mereka yang menafsirkan ayat: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata," dengan pengertian: karena Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata di dunia ini, maka begitu juga di dunia nanti. Tuhan memang menyangkal bahwa Dia dapat dicapai oleh penglihatan, sebab penglihatan seperti itu akan mengisyaratkan cara (kaifiyah) dan pembatasan. Dengan demikian, yang disangkal-Nya adalah penglihatan yang mengisyaratkan cara dan pembatasan, bukan penglihatan yang di dalamnya tidak ada cara, tidak pula pembatasan.
Mereka mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia ini, baik dengan mata maupun dengan hati, kecuali dari sudut pandang iman; sebab penglihatan ini merupakan puncak karunia dan rahmat paling mulia, dan karena itu tidak dapat terjadi kecuali di tempat yang paling mulia. Jika mereka telah diberi rahmat yang paling mulia itu di dunia ini, maka tidak akan ada bedanya antara dunia ini, yang akan lenyap nanti, dengan surga yang. abadi; dan karena Tuhan telah mencegah manusia yang diajak-Nya berbicara itu dari mendapatkannya di dunia kini, wajarlah kalau manusia-manusia lain yang berada di tingkat lebih di bawah dicegah juga. Lebih-lebih, dunia ini merupakan tempat tinggal sementara, sehingga mustahillah kalau Yang Kekal dapat dilihat di tempat tinggal yang sementara itu. Lebih jauh lagi, jika mereka telah melihat Tuhan di dunia ini, kepercayaan mereka terhadap-Nya akan bersifat aksiomatis (dharurah). Pendeknya, Tuhan telah menyatakan bahwa penglihatan itu akan diberikan-Nya di dunia nanti, bukan di dunia ini. Oleh sebab itu, perlulah seseorang membatasi diri pada apa yang telah dinyatakan dengan jelas oleh Tuhan.
DEFINISI TASAWUF
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.
Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.
Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:
Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.
Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):
Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".
Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.
Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik.
MAKNA BASMALLAH
Telah menjadi semacam keharusan pada setiap penulisan materi keagamaan untuk mengemukakan pembahasan kalimat Bismillâhirrahmânirrahîm (Basmallah) pada setiap Muqaddimah. Di sini makna Basmallah akan dibahas sebagai salah satu bagian pembahasan ilmu tasawuf.
Akan tetapi sebelum sampai kepada pembahasan kata demi kata dari makna Basmallah, karena kitab ini menguraikan sekitar ilmu tasawuf, maka terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian tasawuf secara singkat.
Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang membahas secara karakteristik sifat dan sikap manusia baik yang terpuji maupun yang tercela. Di sini terkandung maksud agar manusia mampu membersihkan hati dan jiwanya sebagai tujuan utama pengamalan ilmu tasawuf dan pintu gerbang memasuki alam shufiyah. Dengan cara ini akan mudah bagi manusia menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia ber-taqarrub dan ber-musyahadah dengan Allah SWT.
Hukum mempelajari ilmu tasawuf, melihat peranannya bagi jiwa manusia, adalah wajib 'ain bagi setiap mukallaf. Sebab apabila mempelajari semua hal yang akan memperbaiki dan memperbagus lahiriyah menjadi wajib, maka demikian juga halnya mempelajari semua ilmu yang akan memperbaiki dan memperbagus batiniyah manusia.
Karena fungsi ilmu tasawuf adalah untuk mensucikan batin agar dalam ber-musyahadah kepada Allah semakin kuat, maka kedudukan ilmu tasawuf diantara ajaran Islam merupakan induk dari semua ilmu. Hubungan tasawuf dengan aspek batin manusia, adalah seperti hubungan Fiqh dengan aspek lahiriyah manusia. Para ulama penegak pilar-pilar yang menjadi sandaran ilmu tasawuf telah menciptakan istilah-istilah untuk memudahkan jalan bagi mereka yang ingin menapak ilmu tasawuf yang sesuai dengan kedudukannya sebagai pembersih dan pensuci hati dan jiwa.
Sampailah kita pada uraian tentang makna Basmallah. Sunnah Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar setiap muslim sebelum memulai suatu perbuatan hendaklah didahului dengan mengucapkan kalimat Bismillâhirrahmânirrahîm. Sebab ucapan itu akan memberi keberkatan ketika bekerja dan mendapatkan rahmat Allah.
Ilmu tasawuf dengan rinci menguraikan makna Basmallah dari segi bahasa sebagai berikut:
Lafal bermakna (kemegahan Allah).
Lafal bermakna (keluhuran Allah).
Lafal bermakna (kemuliaan Allah).
Ulama tasawuf lainnya memberi makna:
Lafal bermakna (tangisan orang yang bertobat).
Lafal bermakna (lupanya orang-orang yang lalai).
Lafal bermakna (ampunan Allah bagi orang-orang berdosa).
Lafal bermakna (orang-orang yang suci).
Lafal bermakna (orang-orang yang menepati janji).
Lafal bermakna (orang-orang yang keras hati).
Dikatakan juga oleh para sufi bahwa Allah SWT menyimpan semua ilmu pada huruf Ba ( ) dalam ungkapan yang berbunyi BÎ KÂNA WA MÂ KÂNA ( ) BÎ YAKÛNU WA MÂ YAKÛNU ( ) artinya:
"Hanya dengan izin-Ku (Allah) jua segala sesuatu yang telah ada itu dapat terwujud, dan hanya dengan izin Allah sajalah semua yang akan ada dapat terwujud."
Sehingga dengan demikian lebih jelaslah, bahwa wujud alam dan seluruh isinya hanyalah karena izin Allah dan hakikat segala perwujudan ini adalah atas nama Allah belaka.
Syarat-syarat diterimanya doa seorang hamba diantaranya adalah makanan yang halal, perut dan anggota tubuh lainnya harus bebas dari makanan dan minuman yang haram.
Mengisi perut dengan makanan yang halal, yang kelak akan membentuk kebersihan seluruh jasad, mempercepat diterimanya doa dan permohonan kepada Allah SWT. Doa seperti dijelaskan, merupakan pembuka pintu langit, sedang kunci-kuncinya adalah makanan yang halal. Syarat lainnya adalah permohonan dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang khusu'.
Allah berfirman: "Mohonlah kepada Allah dengan penuh keikhlasan....."
Allah SWT pernah berfirman kepada Nabi Musa AS: "Wahai Musa, jika engkau berkeinginan agar doamu terkabul, maka hindarilah makanan yang masuk ke dalam perutmu dari makanan yang haram dan jagalah anggota tubuhmu dari perbuatan dosa."
Lafal ar-Rahmân ( ) adalah rahmat Allah yang sangat banyak bagi semua makhluk. Sesuai dengan rahmat Allah itu, maka hendaklah manusia menaruh rasa belas kasih kepada sesama makhluk.
Ka'bul Akhbar mengatakan bahwa di dalam Kitab Injil tertera kalimat yang berbunyi: "Wahai anak Adam, karena Allah telah mengasihimu, maka kasihi pula sesamamu. Bagaimana kalian akan mengharapkan rahmat Allah, apabila kalian tidak menaruh rasa kasih kepada sesama hamba Allah?"
Lafal ar-Rahîm ( ) adalah rahmat yang banyak dan khusus serta terinci dari Allah kepada hamba-hamba-Nya jika ia memohon. Bahkan Allah akan murka kepada hamba yang tidak berdoa kepada-Nya.
Dalam suatu riwayat Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Allah SWT sangat murka kepada orang yang enggan berdoa." (HR. Bukhari).
Dikatakan juga oleh seorang Sufi: Kami tidak melihat sesuatu kecuali kami melihat Allah berada padanya (di sisinya)."
Hikmah mengawali Basmallah dengan huruf Ba ( ) bukan huruf lain, lalu huruf alif ( ) ditiadakan pada lafal ismu ( ) diganti oleh huruf Ba ( ), sebab huruf Ba termasuk huruf syafawi yang memiliki sifat Infitah ( ) = terbuka. Diucapkan dengan bibir terbuka tidak sama dengan huruf-huruf lainnya.
Kaitannya ialah, karena huruf ba ( ) pertama-tama keluar dari mulut manusia di awal penciptaannya, seperti firman Allah ALASTU BIRABBIKUM ( ) artinya: "Bukankah Aku Tuhan kalian," kemudian dijawab dengan kalimat BALÂ ( ) artinya: "Benar Engkau Tuhan kami." Kalimat tersebut dimulai dengan huruf Ba.
Bismillâhirrahmânirrahîm huruf pertamanya adalah Ba ( ), terbaca kasrah ( ), karena di dalam ucapan itu terdapat sesuatu yamg rendah dan sulit, yang bermakna
"Aku menemukan bahwa kemuliaan yang sesungguhnya hanyalah pada Allah SWT."
Sebagaimana bunyi ungkapan:
"Saya bersama dengan orang-orang yang bersedih hati." Nabi SAW bersabda seperti bunyi ungkapan di atas: "Barangsiapa yang suka merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya."
Huruf alif dalam kalimat Basmallah dihilangkan karena huruf alif ( ) dianggap mengandung makna kesombongan.
Pendapat yang masyur tentang lafal Allâh ( ), karena lafal Allâh ( ), termasuk Ismul zham,( ) yakni nama-nama Allah yang Agung. Dengan isim ini manusia menjadikannya sebagai perantara ketika berdoa agar doanya dikabulkan Allah.
Dijelaskan bahwa setiap doa dan permohonan harus dengan adab dan sejumlah syarat. Tanpa dipenuhinya syarat-syarat dan adab ini maka doa sulit dikabulkan. Rasulullah SAW bersabda :
"Pada suatu malam ketika aku dimi'rajkan ke langit, maka diperlihatkan kepadaku keadaan-keadaan surga. Ada surga yang terdapat empat sungai di dalamnya. Satu sungai mengalirkan air tawar, ada sungai yang mengalirkan air susu, ada yang mengalirkan arak, dan satu lagi mengalirkan madu. Aku bertanya kepada malaikat fibril, dimana sumber air itu dan ke arah mana mengalirnya. Jibril menjawab, "Sungai-sungai itu mengalir ke sebuah telaga yang bernama al-Kautsar. Akan tetapi saya tidak mengetahui di mana letak sumbernya. Mohonlah kepada Allah agar engkau diberitahu sumber keempat sungai itu." Aku pun memohon kepada Allah, sehingga datang sesosok malaikat. Sambil mengucapkan salam malaikat itu berkata:
"Wahai Muhammad pejamkan kedua matamu". Setelah itu malaikat tersebut menyuruhku membuka mata kembali. Di saat aku membuka mataku, aku telah berada di samping sebuah pohon, dan di situ aku melihat sebuah Kubah yang terbuat dari mutiara burung-burung yang sedang bertengger di atas bukit-bukit. Adapun sumber air sungai yang empat itu berada di bawah Kubah. Ketika aku akan kembali pulang, malaikat itu memanggil seraya berkata: "Mengapa engkau tidak masuk ke dalam Kubah itu?" Aku menjawab, "bagaimana aku bisa masuk sedangkan pintunya masih terkunci. Malaikatitu berkata: "Kuncinya adalah membaca Bismilâhirrahmânirrahîm." Akupun mendekati pintu itu seraya mengucapkan Bismillâhirrahmânirrahîm. Maka terbukalah pintu itu sehingga aku masuk ke dalamnya. Maka tahulah aku sumber empat sungai tersebut yang airnya mengalir berasal dari empat sudut Kubah itu."
Sungai yang mengalirkan air tawar berasal dari huruf MIM ( ) dari lafal BISMI ( ). Sumber air susu, berasal dari HA ( ) dari lafal Allah. Sumber arak, berasal dari huruf MIM ( ) dari lafal Rahman. Sedangkan sumber madu berasal dari huruf MIM ( ), lafal Rahim dengan demikian tahulah aku bahwa sumber empat sungai itu berasal dari lafal BASMALLAH."
Allah SWT berfirman dalam salah satu Hadits Qudsi:
"Barangsiapa mengingat Aku dengan menyebut nama-nama-Ku (termasuk Asmaul Husna), dengan hati yang ikhlas, tidak diperlihatkan kepada orang lain, dimulai dengan mengucapkan Bismillâhirrahmânirrahîm, maka ia kan menikmati minuman dari air sungai-sungai itu." Diterangkan pula dalam hadits lain: "Allah SWT tidak menolak doa yang diawali dengan Bismillâhirrahmânirrahîm."
MAKNA AMALAN SUFI (HAMDALLAH)
Makna Hamdallah
"Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan Sang Penolong, bagi-Nya segala keagungan, terpujilah Dia sepadan dengan semua kemuliaan pada-Nya semua kebaikan dan kesempurnaan."
Syair di atas mengisyaratkan bahwa setelah bacaan basmallah maka dilanjutkan dengan hamdallah. Hal ini sesuai pula dengan sunnah Nabi SAW. Karena sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang suka mengucapkan puji dan puja kepada-Nya
Dalam hadits marfu' yang diriwayatkan oleh ad-Dailami diterangkan, "Sesungguhnya Allah senang akan pujian dari hamba yang suka memuji-Nya, dengan menjanjikan pahala. Diucapkan sebagai zikir bagi-Nya dan dijadikan tabungan yang sangat berharga baginya kelak di kemudian hari."
Dalam kitab Badrul Munir disebutkan "Zikir dengan memuji Allah, menjadi pemeliharaan kenikmatan yang dianugerahkan oleh Allah agar nikmat itu tidak lenyap. Sebagaimana Zikir ketika akan berpakaian, atau aktifitas lainnya, yang berisi pujian kepada Allah". Sedangkan Hamdallah yang paling utama adalah ucapan yang berbunyi :
"Segala Puji bagi Allah dengan semua pujian yang mampu memenuhi nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi tambahan-Nya." Seperti doa dan zikir Nabi Adam AS ketika Allah SWT menurunkannya ke bumi. Beliau memohon kepada Allah: "Wahai Tuhanku ajarilah kemahiran dalam mengerjakan sesuatu serta kalimat yang mengandung sebagus-bagus pujian". Maka Allah SWT menurunkan Wahyu kepada Nabi Adam agar membaca pujian seperti bunyi zikir di atas. Sebanyak 3 X setiap pagi dan sore hari.
Para 'arifin (orang-orang yang telah ma'rifah) menerangkan bahwa lafal Alhamdulillâh terdiri dari delapan huruf, sama jumlahnya dengan pintu surga. Barangsiapa yang mengucapkan dengan Ikhlas dan hati, ia berhak memasuki surga dari pintu mana dikehendakinya. Semua itu sebagai penghormatan baginya. Dan dalam hal ini dia akan memilih sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah kepadanya Allah jualah Al-Muwaffiq Lil 'Ûlâ (Penolong manusia untuk meraih jalan kemuliaan), karena ketaatan kepada Allah dan Rasul yang diikuti oleh rasa mahabbah yang sejati.
Pengertian Taufiq menurut bahasa adalah, mufaqat syai' li syai' (mufakatnya suatu dengan sesuatu lainnya). Menurut pengertian istilah, taufiq adalah merupakan kemampuan yang diciptakan Allah bagi hamba-Nya untuk memberi dorongan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya orang kafir tidak mendapatkan Taufiq dari Allah, karena tidak memiliki alat pendorong untuk melaksanakan ketaatan. Alah SWT Berfirman :
"Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah, maka ia akan memperoleh petunjuk. Allah akan melapangkan dadanya untuk memaham ajaran Islam ...".
Allah SWT telah menciptakan sesuatu yang dapat memberi dorongan kepada seseorang agar mampu melaksanakan ketaatan dan mahabbah kepada-Nya.
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya qudrah sebagai kata kemampuan melakukan takwa adalah sifat yang telah menyatu dengan ketaatan itu sendiri. Adapun sifat qudrah dan sifat taat, tidak dimiliki oleh orang kafir. Oleh karena itu ia tidak mendapat Taufiq dari Allah.
Ungkapan Hamdan Yuwâfî Birrahul Mutakâmilâ seperti tercantum dalam bunyi syair di atas, mengandung pengertian bahwa secara lahiriah pujian terhadap Allah sebanding dengan anugerah Allah. Sebab secara hakikat pujian manusia tidak akan mampu menandingi nikmat dan keagungan Allah, tidak mampu kamu menghitungnya.
MAKNA AMALAN SUFI (MAKNA TAKWA)
Makna Takwa
"Dakwah kepada Allah menjadi sentral seluruh kebahagiaan. Memperturutkan hawa nafsu menjadi pangkal semua kejahatan."
Syair di atas menjelaskan pokok dan asas kebaikan, asal kejahatan serta peranan hawa nafsu yang melingkupinya.
Takwa memiliki bermacam-macam pengertian. Pendapat yang terkenal adalah, menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Dikerjakan dengan tulus dengan mengagungkan Asma-Nya lahir batin. Dalam melakukan ketaqwaan, hendaklah tumbuh rasa kagum pada keagungan Allah.
Ada pendapat yang menerangkan bahwa takwa berarti waspada dan memelihara diri dari semua godaan yang akan menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan, atau menjaga diri dari semua hal yang akan memalingkan atau mengganggu taqarrub dan mahabbah kepada Allah.
Pendapat lain mengatakan bahwa, barangsiapa yang akan menjalankan ketakwaan hendaklah ia menghindari segala bentuk dosa besar dan kecil, lahir maupun batin.
An-Nasrabazy mengatakan : "Barangsiapa yang ingin istiqamah dalam takwanya maka hendaklah ia memiliki keinginan meninggalkan kehidupan dan hiruk pikuk duniawi. Apakah tidak kalian fahami."
Menurut Abu Abdullah, takwa adalah usaha manusia untuk meninggalkan dan menjauhi segala perilaku maksiat yang akan menjauhkan manusia dari Allah SWT. Sebagian ulama menerangkan bahwa takwa adalah ketaatan hamba kepada Allah, yang dilakukan oleh masa lalu hingga masa sekarang. Firman Allah SWT :
"Bahwa sesungguhnya Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan demikian juga kepada kalian, agar kalian selalu bertakwa kepada Allah."
Al-Qur'anul Karim menjelaskan pengertian takwa dalam beberapa ayat sebagai berikut :
"Takwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwasannya Allah bersama orang-orang yang takwa."
Allah menyampaikan pelajaran bagi orang yang takwa dengan pengetahuan ladunni
"Bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajarmu dengan (ilmu) karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Mendapat jalan keluar dari bermacam-macam masalah.
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya akan diberikan kepadanya jalan keluar serta rizki melalui jalan yang tidak terduga. Barangsiapa yang bertakwa kepadanya, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, ia ak ditutupi kesalahannya dan dilipatgandakan pahalanya."
Mendapat anugerah surga.
"Sesungguhnya orang-orang yang takwa berada di surga yang mengalir sungai-sungai."
Sebagai orang-orang mulia.
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling takwa."
Ungkapan ( ) memiliki makna hal yang mendasari semua kebahagiaan. ( ). Karena apa saja yang dibangun di atas dasar takwa akan selamat dan tidak mengalami kerusakan. Adapun kebahagiaan ( ) adalah kebalikan dari kecelakaan ( ) yang merupakan Taufiq, Hidayah dan Ma'unah Allah SWT. Kalimat ( ) sebagai bentuk jama' dari ( ). Kalimat ( ) adalah bentuk jama' dari ( ) mashdar dari kata kerja ( ) maksudnya ia mencintai.
Menurut ajaran Islam hawa nafsu adalah dorongan yang membuat seseorang cenderung kepada maksiat serta sangat bertentangan dengan syariat.
( ) Adalah bentuk jama' dari ( ) yang berarti alat penangkap binatang, maksudnya adalah jaring yang dibuat oleh setan untuk menjerat manusia.
Dari ungkapan dan penjelasan ini maka jelaslah bahwa mengikuti hawa nafsu adalah pangkal kejahatan dan kemaksiatan.
Adapun maksiat berupa sahwat badani akan bersatu dengan daging dan peredaran darah manusia. Demikian juga tipu daya dan muslihat setan berjalan melalui aliran darah dalam tubuh manusia. Ia mengepung dan menutup hati anak cucu Adam dari seluruh penjuru. Seperti sabda nabi Muhammad SAW bahwa setan akan masuk ke dalam diri seseorang melalui pembuluh-pembuluh darah.
Suatu hari Nabi Yahya AS berjumpa dengan Iblis yang sengaja menampakkan diri. Iblis sedang membawa semacam jaring, sehingga Yahya bertanya : "Untuk apa engkau membawa jaring seperti itu?". Iblis menjawab : "Ini adalah semacam lambang kenikmatan sahwat. Ia saya pergunakan untuk menjaring manusia yang tertipu oleh maksiat sahwat."
Firman Allah SWT :
"Adapun orang yang takut kepada kebesaran tuhannya, serta menahan diri dari keinginan hawa nafsuya, maka surga jua yang akan menjadi tempat tinggalnya."
MAKNA AMALAN SUFI (SHALAWAT NABI)
Makna Shalawat Nabi
Shalawat dan Sejahtera
"Shalawat kiranya berlimpah kepada al-Musthafa sang rasul yang terjaga dan mulia berlimpah pula kepada keluarga para sahabat dan pengikut yang setia."
Setelah hamdallah maka diikuti dengan mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, karena ini sunnah Nabi. Allah SWT berfirman :
"Wahai orang-orang yang beriman ucapkan shalawat dan salam penghormatan kepada Nabi"
Selain itu Nabi Muhammad SAW juga bersabda :
"Barangsiapa menulis shalawat, maka malaikat akan beristighfar untuknya, selama tulisan itu masih ada."
"Barangsiapa yang ingin berjumpa dan memperoleh ridla Allah, maka perbanyaklah membaca shalawat."
"Hendaklah kalian memperbanyak membaca shalawat karena akan menjadi cahaya dalam kubur, ketika melewati Shiratal Mustaqim, dan akan menjadi nur yang bercahaya di dalam surga."
"Dengan selalu membaca shalawat akan meredakan murka Allah serta mematahkan tipu daya setan."
Ibnu Jauzi dalam kitab al-Busthan menulis :
"Apabila ada orang dalam suatu majelis pertemuan tida membaca shalawat kepada Nabi SAW, maka ia akan keluar dari majelis itu dengan bau tak sedap. Sebaliknya jika orang yang keluar dari suatu majelis sambil membaca shalawat, maka baunya akan lebih harum daripada minyak wangi, sebab Rasulullah SAW adalah manusia yang paling harum diantara yang harum, yang paling suci diantara orang-orang suci. Jika Nabi SAW sedang menghadiri suatu majelis dan berbicara diantara mereka, maka majelis itu penuh dengan aroma Misik."
Besar sekali pahala dan kehebatan serta fadlilah shalawat kepada Nabi SAW. Hendaklah orang beriman selalu mengucapkan shalawat, karena Rasulullah SAW adalah perantara yang agung dari seluruh rahmat dan kenikmatan yang telah diterima manusia.
Fadlilah atau keutamaan membaca shalawat, diantaranya adalah untuk menerangi hati yang gelap, menghindari kepikunan, sebagai wasilah dengan Allah, memudahkan masuknya rizki.
Dalam sebuah hadits diterangkan :
"Pada suatu hari Jibril datang kepadaku, membawa berita gembira yang belum pernah disampaikan kepadaku. Ia menjelaskan bahwa barangsiapa diantara umatku mengucapkan shalawat satu kali, maka Allah akan menganugerahkan untuknya seratus kebaikan. Barangsiapa yang membaca shalawat seratus kali, maka Allah akan menganugerahkan untuknya seribu kebaikan, kemudian memasukkan mereka ke surga, dan mengharamkan mereka masuk neraka."
Akan sangat utama apabila orang yang membaca shalawat dalam keadaan suci. Didahului dengan berwudlu, menghadap kiblat dan dalam keadaan tafakur mensifati keagungan Nabi SAW. Mentartilkan bacaannya dan tidak tergesa-gesa.
Ungkapan al-Musthafa pada syair di atas bermakna "Orang yang terpilih" diantara semua makhluk, sehingga keutamaan Nabi Muhammad SAW melebihi malaikat di sisi Allah dan alam semesta.
Menurut Imam Syafi'i, Ahlul Bait Nabi SAW adalah keturunan Bani Hasyim dan Abdul Muthalib yang beriman. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Bait Nabi SAW adalah berasal dari turunan Fatimah az-Zahrah RA, satu-satunya puteri Rasulullah SAW yang hidup sampai meninggalnya Rasulullah SAW. Dialah yang menurunkan cucu-cucu Nabi SAW dan seterusnya.
Ada pengertian yang berbeda dari para ulama tentang Ahlul Bait Rasulullah SAW, seperti penjelasan berikut :
a. Mereka yang senantiasa meninggalkan hal-hal yang kotor, orang-orang yang senantiasa membersihkan dirinya menjadi manusia yang suci bersih, seperti terungkap dalam shalawat berikut :
b. Orang yang mendapat kebahagiaan dengan ketakwaannya dan mendapat ridla Allah SWT, seperti ditegaskan dalam shalawat berikut :
c. Umat Islam seluruhnya yang telah menerima Risalah Nabi SAW dan mengamalkannya (umat ijabah) seperti bacaan shalawat di bawah ini :
Dengan penjelasan di atas, sebagai ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ali Muhammad (Ahlul Bait) adalah semua umat Muhammad SAW yang telah menerima Islam dan mengamalkan Sunnah Nabi Muhammad SAW dehgan penuh kesungguhan dan keikhlasan.
MAKNA DZIKRULLAH - PRAKTIK SUFI BAG 4
Kata Arab untuk ingatan ialah dzikr. Ada beberapa
jenis atau tingkatan ingatan. Ada ingatan akan hal-hal fisik yang berada di depan kita,
dan ada ingatan akan hasrat, kecemasan, dan sebagainya.
Sepanjang jalan rohani, ingatan berhubungan dengan apa yang berada dalam fitrah manusia.Yakni ingatan akan Hakikat Allah Yang Mahakuasa, Sumber segala wujud dan sifat. Sumber itu berada dalam diri setiap orang. Pada jalan sufi, orang dituntut untuk tidak mengingat segala sesuatu lainnya yang dapat dilihat, segala sesuatu selain Allah, untuk kembali kepada ingatan yang sejati, Allah. Kata Arab untuk ingatan kepada Allah ialah Dzikrullah.
Jadi, ingatan sejati akan Allah telah ada dalam setiap hati, baik orang menyadarinya atau tidak. Melalui bimbingan seorang guru rohani, si pencari dibawa ke luar, ke suatu tingkatan di mana tidak ada ingatan akan apa pun yang dapat disebutkan. Kemudian apa yang telah selalu ada di sana, meliputi segala sesuatu, dialami dan disaksikan dengan jelas. Tujuan praktik sufi adalah untuk secara spontan sadar akan hakikat mutlak seraya tetap menyadari keterbatasan fisik dan material dari dunia fenomena yang mengelilingi kita. Yang pertama adalah kesadaran batin di luar indera, dan yang kedua adalah kesadaran lahiriah yang berdasarkan indera. Jadi, tujuan seorang guru sufi ialah memberikan praktik- praktik yang sesuai kepada muridnya dan mengawasi hasilnya.
Secara umum, sekitar dua jam dibutuhkan untuk mencapai maslahat Dzikrullah. Dalam setengah jam pertama pelaku berusaha menenangkan pikirannya. Selama setengah jam berikutnya, ia mulai memasuki keadaan meditasi. Pada setengah jam ketiga biasanya tidak ada pikiran atau pandangan batin, dan meditasi pun berlangsung. Selama setengah jam terakhir, manfaat nyata mulai muncul. Meditasi yang benar mulai bila seluruh kesadaran berangsur hilang dan keberadaan sederhana yang lebur muncul.
Setiap kesadaran selama Dzikrullah merupakan rintangan untuk memasuki alam kesadaran murni. Kesadaran murni tak dapat dibicarakan. la harus dialami, dan merupakan keadaan maujud.
Umumnya, semua proses mental dipandang sebagai kesadaran rendah. Semua aspek kehidupan fisik, material, dan kausal termasuk dalam kategori ini. Pikiran abstrak dan emosi dipandang sebagai lebih halus dan karena itu lebih tinggi. Dalam semua persepsi manusia ada skala kesadaran. Skala dalam kesadaran kita tentang pendengaran, penglihatan, pengertian dan sebagainya. Jadi kesadaran mengiuti skala vertikal. Orang dapat mengatakan hal yang sama tentang sifat-sifat Tuhan. Ada beberapa sifat yang berhubungan dengan mekanisme fisik yang menguasai zat, yang semuanya terserap oleh perintah Ilahi.
Kesadaran fisik berhubungan dengan zat dan massa, dan skala kesadarannya rendah karena ia kasar. Pada skala yang lebih tinggi ialah kesadaran pikiran, seperti perasaan, emosi, dan misalnya, ketidaksukaan akan sakit fisik. Lebih tinggi lagi adalah kesadaran intelektual akan nilai-nilai moral, perasaan akan keadilan dan persaman, dan seterusnya.
Tujuan seorang sufi ialah naik ke janjang yang lebih tinggi dari semua kesadaran intelektual. Dalam keadaan meditasi, pada awalnya, ada kesadaran akan jasad fisik. Kemudian jasad itu dilupakan, tetapi masih ada kesadaran tentang gagasan dan pikiran. Melalui teknik meditasi konsentrasi satu arah, semua gagasan dan pikiran dihaluskan. Di luar itu ialah keadaan kesadaran murni atau tertinggi di mana tidak ada kesadaran terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Inilah kesadaran sederhana yang tak terlukiskan. Adapun ini bukanlah akhir dari latihan meditasi, tetapi sebenarnya menandakan suatu permulaan baru. Akhjr dari semua pikiran adalah awal dari suatu dimensi baru.
Perumpamaan untuk proses meditasi ialah proses tidur. Apabila seseorang hendak tidur, ia mulai dengan melipat kain penutup lalu naik ke tempat tidur. Setelah itu bersiap untuk santai dan secara berangsur-angsur hilang kesadaran pikirannya sampai kesadaran fisik berakhir sama sekali. Tidur, sebagaimana meditasi, adalah bersifat subjektif dan eksperimental. Ha1 itu harus teIjadi, dan tidak dibicarakan. Tahap akhir dari meditasi tak dapat dilukiskan karena berhubungan dengan kesadaran murni. Setiap yang dapat digambarkan termasuk ke dalam wilayah dunia fisik. Kenyataan bahwa orang yang berbicara tentang pengalaman memberikan batasan-batasan kepadanya. Begitu orang me- masuki zona kesadaran yang lebih tinggi, ia tidak menyadari apa pun secara spesifik. Awal dari kesadaran yang lebih tinggi ialah akhir dari kesadaran lain. Maka, gambaran dan pembicaraan tentang itu juga berakhir. Memang ini suatu keadaan menakjubkan yang tak terlukiskan, luas dan tak berbatas waktu serta nondimensional. Bahagia!
MAKNA FITRAH - PRAKTIK SUFI BAG 3
Fitrah kita adalah sesuatu yang dikaruniakan
kepada setiap manusia. la seperti sumber air segar,
jernih, sejuk, atau sumur air manis
Menurut Al-Qur'an, penciptaan dimulai dengan perintah Ilahi, Jadilah! ( QS. 16:40; 19:35; 36:82) .Di bawah perintah itu terkandung seluruh kitab Hakikat. Dari sisi pandang sufi, setiap hati ( qalb ) mengandung cetak biru kebenaran. Kebanyakan orang tahu apa itu kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, kepuasan dan ketidakpuasan. Bagaimana mereka mengetahuinya? Bagaimana saya mengetahui bahwa saya tak bahagia? Bagaimana saya mengetahui bahwa saya sedang resah? Jasad saya boleh jadi sama sekali tak seimbang, namun saya tetap akan mengetahui apa itu keseimbangan dan ketenteraman, dan apa itu keresahan serta ketidakseimbangan. Ada sesuatu yang berharga di dalam inti setiap orang yang mengungkapkan kebenaran. Bahwa sesuatu tidak berubah, karena ia bersifat asali dan subgenetik. Secara fisik, setiap orang nampak berbeda, tetapi apa yang melekat secara subgenetik dalam diri manusia adalah sifatnya yang dibawa sejak lahir, seperti telah kami sebutkan sebelumnya. Dalam bahasa Arab kata untuk sifat bawaan lahir itu ialah fitrah. Cetak biru hukum Ilahi yang asli terpelihara dalam fitrah manusia ini. Kalau cetak biru tersebut tidak pudar, maka akan lebih mudah bagi manusia untuk mengenal dan mengakui para rasul dan Hakikat. Dengan kata lain, jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang sehat, bersih, dan alami maka peluang untuk menemukan kebenaran dan jalan menuju kebebasan lebih besar daripada peluang orang yang terperangkap dalam batas-batas lingkungan, rasial atau budaya yang tidak cocok.
Kaum sufi selalu mengatakan bahwa jika Anda mengikuti hati Anda, maka Anda akan selamat. Allah juga berkata dalam Al-Qur'an bahwa hati tak pernah berdusta. Bagaimana seseorang membedakan antara bimbingan yang datang dari hati, dan yang datang dari emosi, hawa nafsu, rasa takut dan imajinasi? Bagaimana orang membedakan fitrah dengan imajinasi? Fitrah pada diri setiap orang telah memudar hingga tingkat yang bermacam-macam karena pengaruh keluarga dan lain-lain selama masa muda kita. Untuk kembali kepada keadaan fitrah yang asli, kita memerlukan lagi bimbingan syariat Ilahi. Inilah sebabnya maka Islam yang asli jauh lebih mudah dijkuti oleh orang-orang yang tidak dididik atau dilatih untuk menganalisis, meragukan dan mendebat.
Pada zaman dahulu, di Cina, India, dan Timur Tengah, terdapat banyak nabi dan orang suci. Mereka semua memantulkan kebenaran yang asali (primal truth), yakni bahwa kita berasal dari satu Hakikat (realitas), dan keberadaan fisik kita bukan suatu realitas per- manen melainkan hanya sebuah bayang-bayang, dan kita harus belajar untuk mengatasinya; dengan berbuat demikian kita akan menemukan di dalam diri kita apa yang tidak berbatas waktu dan permanen. Orang-orang masa awal yang sederhana dari suku-suku dan desa-desa di zaman kuno dapat lebih mudah merefleksikan kebenaran akhir di balik penciptaan. Syekh besar sufi Ibn ' Arabi mengatakan bahwa kelompok orang pertama yang akan diterima di Taman Surga setelah meninggal adalah orang-orang sederhana.
Fitrah kita adalah sesuatu yang dikaruniakan kepada setiap manusia. la seperti sumber air segar, jernih, sejuk, atau sumur air manis. Namun, dalam masa pengasuhan dan pendidikan seseorang, dan karena kekusutan intelektual dan budaya yang berangsur-angsur terakumulasi, sumur itu mulai penuh dengan sampah, dan saat pun tiba ketika ternyata tidak ada lagi air segar yang mengalir, karena sumur fitrah telah dipenuhi puing. Banyak orang yang hidup dalam masyarakat industri di kota-kota modern yang padat penduduk, harus melakukan banyak penggalian dan pekerjaan arkeologi sebelum mencapai fondasi asli dan sumber mata air dalam sumur itu. Orang-orang ini memerlukan lebih banyak disiplin dan kerja keras, seperti meditasi, tafakur, dan pembersihan pikiran dari indoktrinasi ketimbang orang-orang yang hidup di lingkungan pedesaan yang sederhana yang terbuka ke alam di mana tuntutan materi dan persaingan lebih sedikit, dan fitrah mereka masih terpelihara sehingga bagian cetak biru dari hukum Ilahi yang asli masih dapat dibaca.
Perbedaan antara kaum sederhana yang bijaksana, yang masih mempunyai akses ke fitrah mereka, dan para nabi adalah bahwa nabi menerima ajaran Ilahi dengan jalan wahyu, sementara kaum sederhana itu menerima pemahaman melalui penyaksian, pemikiran dan wawasan. Banyak lainnya juga dianugerahi inspirasi (ilham) bilamana ada celah dalam selubung mereka; selubung itu tak lain dari nafsu rendah, dan begitu nafsu rendah tersebut disingkirkan, muncullah kilasan hakikat yang aneh dan menakjubkan.
Kita telah melihat bahwa Islam, tata perilaku asli yang dikehendaki Tuhan untuk manusia, yang, apabila ditaati, membawa manusia kepada Penciptanya, bukanlah agama yang baru muncul sekitar 1.400 tahun yang lalu, melainkan suatu jalan yang bermula sejak Nabi Adam, yang tercetak pada penciptaan pertama sejak permulaan umat manusia. Dengan bangkitnya kesadaran Adami, maka muncullah pula pada saat bersamaan suatu celah batin, atau pengetahuan atau pemahaman yang fitri, mengenai bagaimana berperilaku dalam kehidupan ini untuk menghindari kebingungan.
Jalan Islam adalah jalan perilaku Adami. Setiap nabi, setiap orang yang sadar dan merdeka, telah berada dalanl penyerahan, dan karena itu ia adalah seorang Muslim. Setiap pemikir, filosof dan orang bijak adalah seorang Muslim dalam berbagai derajat kejemihan dan kesadaran. Seluruh manusia sebenarnya dilahirkan dalam ketundukan kepada hakikat alami dan karena itu berada dalam Islam. Masyarakat dan orang tualah yang kemudian sering merusak keadaan Islami yang fitri itu. Ada orang-orang dari seluruh dunia yang menemukan Islam dalam dirinya pada suatu masa hidupnya, dan bukan karena telah menemukan agama Islam yang konvensional. Melainkan, lebih merupakan suatu gema dari sesuatu yangjauh lebih dalam dan azali yang terpusat dalam hati semua makhluk manusia. Namun, konvensi-konvensi, baik yang berhubungan dengan perilaku maupun konseptual, yang dipaksakan oleh kebiasaan masyarakat, komunitas dan pribadi terhadap seseorang itu, menabiri pengenalan atas hakikat tersebut. Karenanya kita memerlukan hukum Ilahi untuk membimbing kita menjalani kehidupan yang dipersatukan dan yang membawa kepada pengetahuan tentang keesaan.
Islam yang asli telah ada persis sejak awal umat manusia dan diwahyukan dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda sampai kesempurnaan totalnya diwahyukan melalui Nabi Muhammad, sedemikian rupa sehingga Allah berjanji kepada manusia bahwa wahyu itu akan terpelihara selama-lamanya. Karena itu, tak ada alasan bagi siapa pun untuk mencoba merusak atau mengubahnya. Perbedaan yang ada di antara berbagai mazhab hukum Islam adalah kecil dan tak berarti. Namun, apabila orang ingin melihat perbedaan, maka mereka melihat perbedaan-perbedaan besar, dan ini sering terjadi pada orang-orang yang tidak mempunyai akses kepada fitrah mereka.
MAKNA MURAQABAH (KETERJAGAAN) - PRAKTIK SUFI BAG 6
Keterjagan dan keterasingan kita dari kehidupan dapat membuat pikiran kita kembali segar dan jernih
Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik muraqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan "pembukaan " di dalam. Muraqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika "pembukaan " yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan kulminasi, boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud dari semua ini ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.
Makna Pengasingan Diri (Khalwat)
Sering praktik khalwat dipadu dengan praktik spiritual lain yang ditetapkan selama empat puluh hari. Mengapa empat puluh hari? Dalam dunia alamiah, terdapat banyak hukum alam, sebagian di antaranya berjalan menurut siklus. Juga terdapat banyak hukum biologi, seperti hukum-hukum yang mengatur perkembangbiakan dan pemberian makanan, yang mengikuti suatu ritme tertentu dan siklus waktu. Dalam hal makanan rohani atau rehabilitasi. ada pula tempo dan frekuensi optimum.
Dalam tradisi praktik khalwat sufi sering kita dapati waktu pengasingan diri ditetapkan oleh guru rohani bagi muridnya, biasanya untuk jangka waktu empat puluh hari, atau sepuluh hari, atau tujuh atau tiga hari, dan sebagainya. Misalnya, untuk waktu khalwat selama bulan Ramadan, hendaknya seseorang menyendiri (berkhalwat) di mesjid sedikitnya selama tiga hari dan biasanya sepuluh hari..
Syekh sufi menyuruh seorang pencari untuk berkhalwat apabila tubuh, pikiran dan hatinya telah sepenuhnya siap untuk itu. Kata Arab untuk pengasingan diri ialah khalwah (khalwat) Begitu memasuki khalwat, tujuannya ialah-dengan cara dzikrullah dan berjaga- untuk meninggalkan semua pikiran, dan melalui pemusatan pikiran ke satu titik mengalami kasadaran yang murni. Selama khalwatnya seorang murid, makannya harus diatur dengan cermat oleh syekh. Demikian pula, keadaan mental, emosi, dan rohaninya diawasi. Pengasingan spiritual dan dzikrullah tidak akan bermanfaat apabila si pencari tidak siap meninggalkan semua aspek kemakhlukkan. Salah satu bentuk pengasingan spiritual disebut chilla yang artinya empat puluh, dan jangka waktunya empat puluh hari. Dikatakan bahwa bila seseorang telah siap untuk dikurung selama empat puluh hari, suatu terobosan atau pembukaan dapat tercapai lebih awal, sebelum genap empat puluh hari.
Jangka waktu khalwat yang disebutkan dalam Al- Qur'an sehubungan dengan Nabi Musa adalah suatu janji karena Allah selama empat puluh hari (Q.2:.251), dimulai tiga puluh hari lalu ditambah sepuluh hari (Q.7:142). Nabi Zakaria diperintahkan untuk tidak berbicara selama tiga hari (Q. 19:10). Nabi Muhammad ditanya, "Berapa hari seseorang harus bertaubat agar diampuni [yakni sadar akan hakikat] ?" Nabi menjawab, "Setahun sebelum mati sudah cukup." Kemudian beliau segera berkata, "Setahun terlalu lama; sebulan sebelum mati cukuplah." Kemudian beliau berkata, "Sebulan terlalu lama." Kemudian beliau terus berkata semakin mengurangi jangka waktunya, sampai beliau berkata, "Langsung tobat, juga cukup."
PEMBAHASAN IBADAH-IBADAH
Shalat dengan Hati Khusyu
Apabila fajar sidiq telah terbit, maka bersegeralah melaksanakan Shalat Fajar, lalu fardlu Shubuh dengan hati yang khusyu. Pahamilah makna setiap bacaan tersebut. Dirikanlah shalat dengan sempurna sesuai dengan sunah Nabi SAW, kaifiyah dan adab-adabnya. Yang sangat penting adalah dengan khusyu.
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian khusyu, ada pendapat yang menyebutkan, bahwa khusyu dalam shalat dapat diperoleh dengan memejamkan mata, merendahkan suara dan tidak menoleh ke kiri dan ke kanan. Pendapat lain mengatakan, apabila shalat telah dimulai hendaklah tidak memperdulikan sekelilingnya, atau merasa tidak ada orang di kanan atau kirinya. Pendapat yang paling tepat adalah yang mengatakan bahwa khusyu adalah berkumpulnya perasaan takut dan merasa kuatir berpaling dari keadaan yang bukan shalat. Sebab khusyu adalah perbuatan badan dan hati.
Oleh sebab itu kekhusyuan itu akan diperoleh dengan hadirnya hati ketika shalat, pikiran yang terkonsentrasi secara penuh. Orang yang sedang shalat harus merasakan bahwa Allah selalu berada di hadapannya, menilai seluruh perbuatan dan ucapannya, dan mengetahui semua yang nampak dan dirahasiakan.
Hadirnya hati orang yang shalat di hadapan Allah menunjukkan keberadaanya dan penyerahannya sepenuh hati dan jiwa. Sehingga saat itu tinggallah dirinya sendiri di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui. Itulah cara shalat yang sebenarnya. Allah SWT selalu hadir serta menyirami orang yang shalat dengan rahmat-Nya disaat ia mengerjakannya dengan khusyu.
Hudlur
Dalam melaksanakan semua shalat wajib atau sunat, hendaklah diusahakan agar terjadinya hudlur (hadirnya hati), selama melakukan shalat. Sebab hanya dengan cara inilah seorang hamba akan mendapatkan keutamaan. Nabi SAW bersabda : "Sesungguhnya nilai shalat seseorang, bukan dinilai dari seperenam atau seperpuluh dari shalatnya itu, melainkan yang dinilai adalah yang dapat ia hayati dari shalatnya itu". Hadits yang semakna diriwayatkan pula oleh Abu Dawud.
Hasan al-Bashry berkata : "Shalat yang dikerjakan dengan kehadiran hati akan lebih membuat perasaan sangat tersiksa". An-Naisabury berkata : "Shalat itu mempunyai empat konsentrasi yaitu, khudlur, syuhud, khudlu dan khusyu." Khudlur adalah perilaku tubuh orang yang tidak menghadirkan dirinya ketika shalat dia termasuk orang yang lalai. Barangsiapa yang tidak syuhud hatinya, ia termasuk orang yang hanya bermain-main. Barangsiapa yang tidak khudlu dengan rukun-rukun shalat, maka ia termasuk orang yang lemah. Barangsiapa yang tidak khusyu maka ia termasuk orang yang sendirian, tidak merasa adanya kehadiran Allah bersamanya.
Allah SWT berfirman : "Sungguh berbahagialah orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyu dalam shalatnya". Sangat perlu untuk diingat bagi orang yang shalat, bahwasannya Allah adalah Dzat yang selalu memperhatikannya, hadir menyaksikan keadaannya di waktu shalat serta takutlah pada Allah bila melihat hatinya sedang lalai ketika shalat karena kelalaian seperti itu adalah sejelek-jelek perbuatan.
Kisah-kisah Indah.
Seorang guru Thariqat mengisahkan bahwa pada suatu malam ia mengerjakan shalat beberapa rakaat, lalu ia tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat sebuah istana yang besar dan tinggi. Ia sangat kagum melihat bangunan istana itu. Dalam hatinya ia berkata, "Aduhai untuk siapa kiranya bangunan istana ini? Siapakah pemiliknya?". Tiba-tiba ia mendengar suara jawaban, "Sesungguhnya istana ini adalah milikmu, dari pahala beberapa rakaat shalatmu semalam". Iapun berjalan mengelilinginya melihat-lihat keindahan istana itu.
Tiba-tiba ia melihat dua buah kubah yang telah jatuh. Dalam hati ia berkata, "Alangkah indahnya apabila dua kubah ini tetap berada di tempatnya". Terdengarlah kembali suara yang sama, "Sesungguhnya dua buah kubah itu semula masih berada di tempatnya, namun ketika shalat tadi malam, hatimu sedikit berpaling, sehingga jatuhlah dua kubah itu".
Rabi'ah al-Adawiyah, pada suatu malam melakukan shalat beberapa rakaat, lalu ia tidur. Dalam tidurnya ia melihat sebatang pohon yang indah subur menghijau, daunya rimbun, ranting-rantingnya kokoh, sangat banyak dan teratur. Buah-buahnya pun tampak begitu lebat. Yang sangat mengherankan adalah bahwa buah-buah tersebut berbentuk buah dada wanita. Pohon itu mengeluarkan sinarnya di waktu siang seperti matahari, dan di waktu malam seperti rembulan. Maka Rabi'ah al-Adawiyah bertanya dalam hati, "Siapakah gerangan pemilik pohon itu". Lalu terdengarlah jawaban, "Sesungguhnya pohon itu untukmu, sebagai anugerah dari shalatmu tadi malam". Ia berjalan-jalan di bawah rimbun pohon itu, ketika dia menemukan beberapa buahnya telah jatuh berwarna kuning emas murni, hati Rabi'ah al-Adawiyah berkata, "Alangkah indahnya jika buah-buah yang bagus ini tetap berada di rantingnya dan bergantungan di sana. Sungguh akan terlihat begitu indah". Lalu terdengarlah suara yang menjawab, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya buah-buahan ini semula berada di tempatnya. Namun ketika engkau mengerjakan shalat pikiranmu tergoda oleh pekerjaan dapurmu pada roti yang sedang engkau kukus maka jatuhlah buah-buah itu terlepas dari rantingnya".
Shalat Berjamaah
Perhatikanlah shalat berjamaah jangan engkau tinggalkan keutamaannya. Sungguh indah hidup bersama ketika berada dalam satu jamaah. Buat apa mendalami pelajaran, bila yang utama dikesampingkan. Jikalau jamaah ditinggalkan mudahlah dirimu diterkam serigala, karena melihat engkau berdiri sendirian. Itulah sunah Nabi SAW yang hidup sepanjang masa.
Janganlah meninggalkan shalat berjamaah, karena pahalanya besar dan berlipat ganda. Diriwayatkan dari hadits Nabi Muhammad SAW bahwa pahala shalat berjamaah dilipatkan hingga 25 atau 27 kali lipat. Sabda beliau, "Tiadalah tiga orang di suatu kota atau desa tidak mendirikan shalat berjamaah melainkan mereka akan dikalahkan oleh setan, sebab akan mudah bagi serigala menerkam seekor kambing yang terpisah dari kelompoknya". (HR. Abu Daud dan Nasai, dan disahihkan oleh Ibnu Hiban dan al-Hakim).
Rasulullah SAW bersabda pula : "Shalat satu orang, bersama satu orang lagi lebih utama daripada shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih utama daripada shalat bersama satu orang. Sedangkan shalat bersama banyak orang sangat disukai oleh Allah" (HR. Abu Daud dan lainnya, disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Sebagian ulama mengatakan bahwa jika shalat jamaah telah usai dikerjakan, maka Allah SWT memperhatikan hati dan keiklasan, lalu Allah menurunkan ridla-Nya kepada para jamaah itu, menerima shalat dan mengampuni dosa-dosa mereka. Jika kebaikan dan keiklasan tidak ditemukan pada hati imamnya, maka Allah melihat hati para makmumnya. Jika dalam hati salah seorang makmum itu ditemukan kebaikan dan keikhlasan maka Allah ridla dan menerima shalat mereka semuanya. Jika tidak ditemukan kebaikan-kebaikan tersebut, maka Allah melihat kaifiyah shalatnya, berdiri, ruku dan sujudnya, lalu Allah pun menurunkan keridlaan-Nya, mengampuni dosa-dosa mereka."
Diriwayatkan pula dari sabda Nabi SAW, bahwa Allah SWT menciptakan sebuah kota di surga yang dinamakan Madinatul Jalal. Di dalam kota itu terdapat bangunan istana yang bernama al-Uzmah. Di dalam istana itu terdapat kamar-kamar yang berisi yang diberi nama Baiturrahman. Setiap kamar berisi empat ribu tempat tidur dengan empat ribu Bidadari. Di dalam kota surgawi itu terdapat banyak hal yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, terlintas pada pikiran, atau pun terbetik dalam hati. Ditanyakan : "Ya Rasulullah untuk siapakah semuanya itu?" Beliau menjawab : "Itulah buah bagi orang-orang yang mendirikan shalat lima waktu dengan berjamaah."
Dalam ungkapan syair berhubungan dengan shalat berjamaah ini salah satu untaiannya berbunyi "Walima Ta'allum" artinya Untuk apa mempelajari ilmu apabila meninggalkan keutamaan sebagian pokok perdagangan di akhirat. Karena buah dari ilmu yang bermanfaat adalah dengan mengamalkannya. Itulah keutamaan shalat berjamaah di masjid. Kecuali jika berhalangan, maka boleh dilaksanakan di rumah bersama keluarga.
Kisah Teladan
Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki buta yang amat rajin mengerjakan shalat berjamaah. Pada suatu hari ia datang ke masjid untuk shalat berjamaah tanpa ada yang menuntunnya. Di tengah perjalanan ia terpeleset lalu jatuh, hingga kepalanya terluka. Ketika ia diangkat oleh jamaah lain pulang ke rumah, isterinya marah-marah seraya mengatakan bahwa orang seperti dia tidak wajib berjamaah di masjid. Laki-laki itu menanggapi kemarahan isterinya dengan kelembutan dan kasih sayang. Dia berkata: "jika Allah memberi cahaya di mata hatiku, mengapa aku tidak boleh berjamaah di masjid?". Pada suatu malam ia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, lalu beliau bersabda : "Mengapa engkau berbeda pendapat dengan isterimu?". Ia menjawab, "Karena aku ingin mengikuti sunahmu ya Rasulullah!", Nabi pun mengusapkan kedua telapak tangannya ke permukaan mata orang buta tersebut, dan saat itu pula matanya pulih kembali dan dapat melihat sebagai barakah Nabi dan Sunah Rasul yang telah dia kerjakan.
Mudah-mudahan kita semua mendapat pertolongan dari Allah, diberi kekuatan melaksanakan shalat berjamaah dan memakmurkan masjid, serta menjauhkan kaum muslimin dari kemalasan mendirikan shalat berjamaah.
Membaca Wirid dan Dzikir
Selesai mendirikan shalat Shubuh dengan menjaga seluruh adab shalat sebagaimana sudah dijelaskan maka ikutilah dengan mewirid dzikir, tasbih, tahmid, tahlil dan doa. Demikian juga membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang telah mashur keutamaannya, hingga terbit matahari.
Hujjatul Islam Al-Ghazali mengatakan, "Sesungguhnya waktu fajar, sebelum terbitnya matahari adalah waktu yang utama". Tanda keutamaannya adalah seperti firman Allah SWT berikut ini, Wasshubhi Idzâ Tanaffas, artinya : "Dan demi Shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing." (QS. At-Takwir : 18).
Faliqul Ashbah, "Dialah yang menyingsingkan pagi." (QS. Al-An'âm : 96). "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih juga di malam hari dan di siang hari, agar kamu mendapat keridlaan Allah". (QS. Thâha : 130).
"Dan berdzikirlah kepada Allah Tuhanmu di waktu pagi dan sore". (QS. Al-Insân : 25).
Apabila telah jelas keutamaannya seperti ini maka hendaklah para hamba Allah duduk (berzikir) dan tidak berbicara hingga matahari terbit.
Ada empat hal yang utama sekali diamalkan sebelum matahari terbit.
Mengadakan introspeksi diri (muhasabah) serta menghidupkan cita-cita untuk melaksanakan amal, mengingat kembali perbuatan dosa yang pernah dilakukan, diikuti dengan amal ibadah dan berniat memperbanyak amalan pada hari-hari selanjutnya.
Bertafakur untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya agar tampak nikmat-nikmat Allah yang telah dianugrahkan kepadanya. Agar makrifat tasyakkurnya bertambah. Terus menerus mengingat Allah merupakan ibadah karena pada dasarnya itulah makna dzikir kepada Allah.
Bertafakur itu sendiri akan menghasilkan dua hal. Yakni akan meningkatkan makrifat karena tafakkur merupakan kunci makrifat dan kasyaf. Akan meningkatkan rasa mahabbah, karena kecintaan itu tumbuh hanya kepada yang diagungkan. Sedangkan keagungan Allah dan keluhuran-Nya tidak akan terbuka kecuali dengan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dengan tafakur akan memperoleh makrifat, dengan makrifat akan mendapatkan ta'zhim, dengan ta'zhim akan memperoleh mahabbah.
Tata cara berwirid adalah tidak berbicara ketika subuh, menghadap kiblat, mengadakan muraqabah, lalu membaca tahlil. Ada yang dengan cara mengucapkan kalimat Lâ Ilâha Illallâh di dalam hati, seakan-akan dari hati suci ini keluar cahaya Allah. Menggerakkan leher ke kiri dan ke kanan, diikuti dengan mengucapkan kalimat Illallâh dari kedalaman hati, seakan-akan cahaya Allah masuk ke dalamnya.
Dengan melaksanakan tahlil seperti tata cara tersebut, dapat diketahui adanya nar sebagai api pembersih hawa nafsu, dan nur cahaya yang menerangi hati. Nur sebagai cahaya dzikrullâh, nar api pembakar hawa nafsu dan kelalaian manusia untuk berdzikir. Apabila nur itu telah menguasai hati, maka ia akan memberikan cahaya cemerlang meliputi seluruh permukaan hati.
Apabila hati sudah dibersihkan dari sifat-sifat yang tercela lalu terhias dengan sifat-sifat terpuji, maka nar itu akan berlipat ganda terangnya, kelak akan membentuk manusia musyâhadah sebagai karunia besar dari Allah. Itulah buah dari dzikir yang terus menerus diwiridkan.
Dengan zikir hati manusia akan terang benderang , menjadi segar dan longgar. Hilang rasa sedih, lalu hati menjadi lunak. Maka hilanglah bermacam-macam penyakit hati yang biasanya membelenggu manusia, karena sifat-sifat manusiawi yang biasa merongrong hingga sakit dan menderita.
Demikian juga dengan banyak membaca shalawat, akan membuat hati menjadi gembira, meneranginya dengan cahaya Allah dan berkah Nabi Muhammad SAW. Melanggengkan shalawat Nabi, baik diucapkan secara lahiriah atau batiniah akan memberi dorongan hamba Allah untuk senantiasa mensucikan hati dan jiwanya dari godaan hawa nafsu.
Shalat Isyraq
Shalat Isyraq dilakukan pada pagi hari, setelah matahari naik kira-kira empat hasta. Shalat Isyraq ini bukan shalat Dhuha. Dilakukan sebelum mengerjakan shalat Dhuha, sebanyak dua rakaat. Ini adalah amalan para sufi yang dilakukan secara rutin. Pada rakaat pertama setelah membaca surat al-Fâtihah, lalu membaca ayat-ayat Al-Qur'an surat an-Nûr ayat 35. (Allâhu Nûrus Samâwâti wal Ardh).
Pada rakaat kedua, setelah membaca al-Fâtihah, diikuti dengan membaca surat an-Nûr ayat 36-38. (Fî Buyûti Adzinallâh).
Para ulama berbeda pendapat tentang shalat Isyraq, apakah sama dengan shalat Dhuha atau tidak. Sebagian ulama berpendapat tidak sama dengan shalat Dhuha. Yang lain berpendapat sama dengan shalat Dhuha.
Setelah melaksanakan shalat Isyraq, lalu membaca Al-Qur'an untuk mendapat nasihat dari Kitab Suci, yang akan diperoleh dengan membaca secara tadabbur. Dalam membaca Al-Qur'an ini pun hendaklah dengan adab dan tata cara pula. Seperti tidak lalai dan tenang, suci, serta menghadap kiblat. Memakai pakaian yang sopan dan bersih, umpamanya berpakaian kebesaran Ulama, seperti mengenakan sorban di kepala dan berbaju jubah. Dikerjakan dengan sungguh-sungguh, khusyu, seakan-akan berdialog dengan Allah SWT, atau seakan-akan ia sedang menerima dan menelaah firman-firman Allah dan membahas kenikmatan Allah kepada dirinya. Nabi SAW bersabda : "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah. Jika tidak dapat menangis, maka berusahalah untuk menangis."
Demikian juga dalam membaca Al-Qur 'an hendaklah dengan tartil. Sebab tartil itu akan menghidupkan rasa tadabbur. Tartil artinya membaca semua huruf dengan jelas, memisahkan satu huruf dengan huruf lainnya, dan membaca setiap huruf sesuai dengan makhrajnya. Demikian juga menempatkan waqaf pada tempatnya masing-masing.
SYARI'AT, THARIQAT, HAQIQAT
Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.
Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.
Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).
Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.
Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".
Apabila Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta' anni.
Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya."
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya".
Syari'at
Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.
Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.
Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.
Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.
Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.
Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".
Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.
Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".
Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.
Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan
Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kapal, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.
Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".
Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib Bersyari'at
Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.
Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.
Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.
Karena syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.
Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?" Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.
Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.
Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.
Ma'rifatullah
Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman".
Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.
Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa".
TAREKAT-TAREKAT SUFI
Tarekat sufi atau kelompok-kelompok sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung.
Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual. Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusat-pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak-benua India, pusat sufi disebut Jama'at Khana atau Khaneqah.
Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka, atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun, terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan Islam
Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi'ah dan karenanya kembali melalui Imam 'Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya. Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi Muhammad SAW.
Berikut ini adalah beberapa tarekat sufi yang masih ada hingga kini, masing-masing dengan ciri-cirinya yang menonjol. Para pencari pengetahuan mungkin menjadi anggota dari satu atau beberapa tarekat, karena memang mereka sering mengikuti lebih dari seorang syekh sufi. Yang berikut ini hanya contoh dari beberapa tarekat sufi yang secara pribadi telah akrab dengan penulis.
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di Iran, yang kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya disebarkan oleh putra-putranya. Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.
Tarekat Rifa'iyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad ar-Rifa'i (m. 1182) di Basra, tarekat Rifa'i telah menyebar ke Mesir, Suriah, Anatolia di Turki, Eropa Timur dan wilayah Kaukasus, dan akhir-akhir ini di Amerika Utara.
Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadzili terealisasi di sekitar Syekh Abul Hasan asy-Syadzili dari Maroko (m. 1258) dan akhirnya menjadi salah satu tarekat terbesar yang mempunyai pengikut yang luar biasa banyaknya. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur Tengah, Sri Langka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Maulawiyah
Tarekat Maulawiyah berpusat di sekitar Maulana Jalaluddin Rumi dari Qonya di Turki (m. 1273). Sekarang kebanyakan terdapat di Anatolia di Turki, dan pada akhir-akhir ini di Amerika Utara. Para pengikut tarekat ini juga dikenal sebagai para darwis yang berputar-putar.
Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah mengambil nama dari Syekh Baha'uddin Naqsyaband dari Bukhara (m. 1390). Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah, Volga dan Kaukasus, Cina bagian baratlaut dan baratdaya, Indonesia, di anak-benua India, Turki, Eropa dan Amerika Utara. Ini adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah penyampaian ilmunya kembali melalui penguasa Muslim pertama, Abu Bakar, tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi'ah, dan dengan demikian melalui Imam 'Ali, sampai Nabi Muhammad SAW.
Tarekat Bektasyiyah
Tarekat Bektasyiyah didirikan oleh Haji Bektasy dari Khurasan (m. 1338). Gagasan Syi'ah merembes masuk dengan kuatnya pada tarekat sufi ini. Tarekat ini terbatas di Anatolia, Turki, dan yang paling berpengaruh hingga awal abad ke-20. Tarekat ini dipandang sebagai pengikut Mazhab Syi'ah.
Tarekat Ni'matullah
Tarekat Ni'matullah didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni'matullah (m. 1431) di Mahan dekat Kirman baratdaya Iran. Para pengikutnya terutama terdapat di Iran dan India.
Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijani didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad ibn at-Tijani, orang Berber Aljazair (rn. 1815). Tarekat ini telah menyebar dari Aljazair ke selatan Sahara dan masuk ke Sudan bagian barat dan tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat dan bagian utara Nigeria, dan telah diperkenalkan di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Jarrahiyah
Tarekat Jarrahi didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad al-Jarrah dari Istambul (m. 1720). Tarekat ini terutama terbatas di Turki, dengan beberapa cabang di Amerika Barat dan Utara.
Tarekat Chistiyah
Tarekat yang paling berpengaruh di anak-benua India-Pakistan adalah tarekat Chisti, yang dinamai dengan nama pendirinya Khwaja Abu Ishaq Syami Chisti (m. 966). Penyebarannya terutama di Asia Tenggara.
Tarekat-tarekat sufi, sebagaimana gerakan-gerakan lainnya, cenderung bersiklus. Siklus suatu tarekat sufi biasanya antara dua sampai tiga ratus tahun sebelum melemah dan merosot. Bilamana muncul suatu kebutuhan terhadap suatu tarekat sufi maka tarekat tersebut mulai bangkit, kemudian mencapai klimaksnya, lalu berangsur-angsur berkurang dan bubar.
Satu kecenderungan yang dapat diamati dalam sejarah tasawuf ialah bahwa bilamana terdapat kekurangan dalam materi sumber Islam, seperti Al-Qur'an atau sunnah Nabi Muhammad SAW, dalam suatu tarekat sufi, maka ia cenderung didominasi oleh kultur yang lebih kuat dan tua dari lingkungannya. Percampuran ini dapat dilihat pada tarekat Chistiyah di Asia Tenggara dan pada tarekat-tarekat sufi di Indonesia yang telah menyerap banyak unsur adat Hindu dan Buddha ke dalam praktik-praktiknya. Demikian pula, tarekat-tarekat sufi Afrika di bawah wilayah Sudan telah memadukan beberapa adat keagamaan suku-suku Afrika ke dalam praktik-praktik mereka. Nampaknya di kawasan-kawasan terpencil itu semua tarekat sufi telah mengambil warna kultus.
TUJUAN PRAKTIK SUFI
Tujuan utama dari praktik-praktik sufi adalah pemulihan keutuhan diri manusia. Oleh karena itu para syekh sufi memberikan obat yang berbeda-beda kepada para pengikutnya dalam bentuk berbagai jenis praktik dengan intensitas yang berlainan sesuai dengan jenis penyakit yang diobati. Ternyata setiap tarekat sufi mempunyai doa khususnya sendiri, wirid dan zikirnya sendiri, dan upacara serta metode duduk dan berdirinya sendiri. Sebagaimana praktik-praktik yang djlakukan secara kolektif, guru sufi sering memberikan obat khusus bagi individu tertentu, misalnya, apabila salah seseorang muridnya sakit atau membutuhkan pengobatan khusus, seperti periode jaga malam atau bangun malam yang padat. Apa pun perbedaan mereka yang nampak, satu unsur yang umum kita dapati pada semua tarekat ialah hubungan yang mendalam antara syekh sufi dengan muridnya. Hubungan itu didasarkan pada kepercayaan, cinta dan ketaatan kepada si syekh. Dikatakan bahwa pengikut terbaik itu bagaikan kain lap di tangan tukang cuci. Melalui kepasrahan dan ketaatan seperti itulah maka makna ajaran sang guru itu terserap dengan cepat.
Kita dapati pula dalam banyak lingkungan tarekat bahwa karena cinta dan hormat kepada gurunya, para pengikut bahkan meniru kebiasaan lahiriah dan pakaian guru mereka. Namun, kadang-kadang peniruan ini dilakukan secara ekstrem sehingga kehilangan maknanya dan lebih menjadi tiruan lahiriah yang kosong, yang tak ada manfaatnya, ketimbang menjadi tanda kesatuan atas dasar kesamaan satu sama lain.
Suatu contoh dari peniruan ekstrem ini nampak dalam kasus seorang guru yang, karena kondisi giginya yang buruk, kalau makan selalu bunyi mencapak-capak. Para muridnya, tanpa menyelidiki alasan dari kebiasaan itu, dengan bodoh menirunya. Imam Ja'far Shadiq tak pernah menggunakan siwak untuk membersihkan gigi-nya selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Beberapa pengikutnya berpikir bahwa ia telah menemukan cara baru untuk memelihara kebersihan gigi tanpa menggunakan siwak, walaupun ini suatu kebiasaan yang disenangi Nabi Muhammad, dan yang ingin ditiru oleh semua pengikutnya. Imam Ja'far mengatakan kepada mereka bahwa giginya telah demikian lemah sehingga apabila ia menggunakan siwak, maka akan lebih rusak. Yang penting ialah hubungan antara guru dan murid, karena dengan begitu keadaan si murid akan terangkat ke keadaan si guru.
Perhatian utama seorang sufi ialah bagaimana terlepas dari hal-hal fana yang menghalangi seseorang dari kemajuan spiritual. Agar seseorang tidak terus dihalangi oleh aspek kehidupan duniawi, ia memerlukan suatu cara untuk mengalihkan pikiran dari memikirkan hal-hal duniawi itu. Berbagai doa, maupun perhatian yang terkonsentrasi yang hanya diarahkan kepada satu asma atau sifat Ilahi tertentu, atau bentuk zikir lainnya yang sesuai, dapat menyempitkan proses pemikiran dan menyalurkan energi. Jelaslah, mengulang-ulang suatu bunyi khusus dapat membantu usaha mencapai pemusatan ke satu titik. Praktik pemusatan ke satu titik itulah yang memungkinkan seseorang untuk tidak begitu terganggu perhatiannya. Pemusatan ke satu titik adalah suatu keadaan yang demikian didambakan oleh manusia sehingga kita dapati banyak kegiatan rekreasi, hobi, olah raga, dan tentu saja semua usaha ilmiah dan penelitian, terpusat padanya. Dengan mengikuti gerakan bola golf, perhatian orang tidak terganggu oleh peristiwa lain di sekitarnya sehingga pikirannya tidak langsung bingung dan ruwet.
Demikian pula, apabila seorang sufi mengulang-ulang kalimat la ilaha illallah, yang berati "tak ada tuhan selain Allah", maka pikirannya secara berangsur-angsur disapu bersih. Komputer pikirannya dibersihkan. Pikiran manusia cocok benar bila dipanggil untuk berurusan dengan hal-hal yang besifat alami, kausal atau eksistensial. Sebab persoalan tersebut sangat kondusif untuk pemikiran rasional atau logis dan harus bebas dari berbagai pertimbangan psikologis atau emosional yang berlebihan, yang cenderung memacetkannya. Jadi, tujuan dari mengingat Allah (zikir) ialah untuk membersihkan pikiran secara psikologis. Yakni membebaskannya dari doktrin serta membersihkan filter-filternya. Ada macam-macam bentuk zikir untuk jenis penyakit, orang, keadaan, waktu, dan kondisi yang berbeda-beda.
Sebagai sarana untuk sampai kepada konsentrasi tunggal, penyebutan sifat-sifat Allah adalah penting. Sifat-sifat seperti ar-Rahman (Penyayang) , ash-Shabur (Sabar) , al-Khaliq (Pencipta) , ar-Razaq (Pemberi Rezeki) , al-Lathif(Maha halus), al-Wadud (Cinta), as-Salam (Damai), dan seterusnya, secara berulang-ulang disebut dan diseru, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan seseorang. Kata Allah yang menunjukkan esensi realitas juga sering disebut-sebut Kedua sifat, Yang Hidup dan Yang Abadi ( al-Hayyu al-Qayyum), bunyinya sangat mirip dengan seruan AUM dalam bahasa Sansakerta ketika disebutkan berbarengan. Tak diragukan bahwa mengalunkan asma dan sifat-sifat Ilahi ini sangat banyak menolong dalam menimbulkan keadaan terpusat dan tenteram pikiran yang didambakan.
praktik-praktik dan zikir ini membantu semua level, tetapi sebaiknya dilakukan oleh guru spiritual. Memungut secara sembarangan dan mengulang-ulang beberapa zikir atau praktik sufi yang pernah dibaca atau didengar, bisa saja mendatangkan efek-efek yang bermanfaat, tetapi tidak bernilai langgeng. Lagi pula tak ada pengganti bagi kearifan dan pengetahuan serta pendampingan dari seorang guro spiritual yang sebenarnya.
Ada cerita tentang seorang kolektor barang antik yang menemukan sebuah naskah kuno dalam bahasa Arab. Di dalamnya terdapat resep untuk mengobati berbagai penyakit lever. di antara petunjuknya menyatakan bahwa seekor ular hitam harus digiling dan dicampur dengan ramuan-ramuan lainnya. Maka si kolektor barang antik itu mencari ular hitam, meracik obatnya, lalu menunggu orang kaya yang menderita penyakit hati. Ketika seorang pangeran muda terkena hepatitis, dokter yang mengangkat diri sendiri itu segera ke istana raja dengan ramuan rahasianya. Dalam satu hari pangeran itu mati dan si kolektor barang antik pun dipenjarakan seumur hidup.
Bagi orang awam, kata ular dan benih dalam bahasa Arab nampak sama, karena tertulis hampir secara identik kecuali tidak adanya satu titik. yang sangat penting adalah bahwa resep itu harus datang dari orang yang tepat Guru spiritual yang sejati, apabila ia baik, ikhlas dan dalam ketundukan, akan memberikan kepada muridnya obat yang spesifik dengan cara yang spesifik. Kira-kira seperti menginstruksikan kepada seseorang tentang di mana mendapatkan harta terpendam. Pengarahan yang tepat dan jumlah langkah yang tepat yang harus dilakukan mutlak harus diikuti; kalau tidak maka pencari yang penuh gairah tetapi sembrono mungkin memutuskan untuk menambah sendiri beberapa langkah dan sama sekali gagal mendapatkan harta itu.
Pendekatan yang sama berlaku pada instruksi-instruksi yang diberikan oleh guru spiritual mengenai berbagai bentuk zikir, salat, dan doa. Adakalanya, kita mendapat resep spiritual dari orang yang tak memenuhi syarat dan percaya takhayul dengan maksud baik, tetapi hasilnya tidak efektif atau hanya berlangsung sementara.
Tetapi, tak diragukan bahwa setiap meditasi atau pujian kepada Tuhan dan zikir itu secara spiritual bermanfaat Kira-kira seperti meminum tonikum umum yang menolong setiap orang, apa pun keluhannya. Namun, dalam hal penyakit yang akut atau khronis, tonikum hanya membawa kelegaan sementara dan terbatas, dan pelayanan seorang dokter yang cakap diperlukan. Berbagai bentuk zikrullah dari setiap tarekat sufi adalah bermanfaat. Setiap zikir yang datang dari guru spiritual sejati membawa manfaat, sekalipun tidak diresepkan khusus bagi orang yang melakukannya, tetapi bilamana suatu bentuk zikrullah diresepkan oleh guru rohani secara individual, dan disalurkan dari hati ke hati, maka suatu langka
MAKHLUK PERTAMA DICIPTAKAN ALLAH
Sikap yang diperlukan dari kita adalah sikap adil, tawazun dan menempat segala sesuatu tepat pada tempatnya. Misalnya dalam menilai pandangan saudara-saudara kita yang cenderung ke arah tasawuf.
Ketahuilah bahwa dunia tasawuf itu sangat luas, ragamnya sangat banyak, alirannya bermacam-macam serta variasinya juga tidak terkira. Maka bukan pada tempatnya untuk mem-black-list semua hal yang berbau tasawuf sebagai sesuatu yang pasti batilnya, sebagaimana juga kurang tepat kalau semua dianggap benar.
Kita perlu memilah dan membedakan antara satu dengan lainnya secara adil, sistematis dan cermat. Bukan asal hantam dan main caci maki, juga bukan dengan fanatisme buta. Diperlukan sedikit kecerdasan lebih untuk bisa melakukan pemetaan dan analisa.
Paramater Kebenaran
Untuk mengetahui apakah sebuah paham atau pemikiran itu benar atau tidak, ada hal-hal yang perlu kita perhatikan:
1. Pemikiran itu harus bersumber dari Al-Quran atau As-Sunnah. Kalau tidak ada dasar dari keduanya, maka kita tidak bisa menerimanya sebagai bagian dari aqidah dan syariah Islam.
2. Dalam memahami serta beristidlal kepada Al-Quran, harus dilakukan sesuai dengan urutannya. Tiap ayat dari Al-Quran harus dipahami sesuai dengan ayat lainnya yang juga ada di dalam Al-Quran. Tidak boleh pemahaman dari ayat tertentu menjadi bertentang dengan ayat lainnya.
Dan demikian seterusnya, pemahaman yang kita ambil dari suatu ayat juga harus sesuai dengan hadits nabawi.
3. Demikian juga ketika kita mengambil kesimpulan dari hadits-hadits nabawi,tidak boleh bertentangan dengan ayat Quran atau hadit nabawi yang lainnya.
4. Dan khusus untuk sunnah nabawiyah, selain masalah metode istimbathnya, juga harus dipastikan bahwa kita hanya merujuk kepadariwayat-riwayat yangbisa diterima derajatnya, meski tidak harus shahih.
Dan masalah derajat keshahihan suatu riwayat sudah ada metodologinya sendiri, tidak boleh membuat-buat jalur periwayatan sendiri yang tidak punya dasar.
Kebanyakan masalah yang paling sering dipertanyakan dari kalangan ahli tasawuf adalah pada penyandaran hadits yang kurang kuat periwayatannya. Seperti hadits pertama di atas yang tidak dicantumkan siapa perawinya, sehingga kita tidak tahu sejauhmana tingkat validitasnya.
Selain itu juga seringkali kesimpulannya terkesan parsial, tidak memperhatikan adanya dalil-dalil lainnya yang sebenarnya bertentangan. Padahal mengambil dalil secara parsial merupakan tindakan yang sangat berbahaya.
Contoh Aktifitas Tasawwuf yang Bertentangan dengan Syariat
a. Dalam Masalah Aqidah dan Keimanan
Keyakian bahwa bila telah mencapai tingkat ma`rifat (tingkatan yang tinggi) dalam pandangan mereka, maka seseorang tidak perlu lagi menjalankan syariat. Tidak perlu melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Mereka berkeyakinan manusia yang telah mencapai derajat itu sudah bebas tugas dari Allah.
Ini adalah paham yang salah dan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena Allah SWT berfirman:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.(QS. Al-Hasyr: 7)
b. Dalam masalah pandangan sempit pada Islam
Ada sebagian dari para pengikut tasawwuf adalah isolasi (memutuskan kontak) terhadap masalah sosial dan kerjanya hanya berzikir di dalam masjid. Mereka tidak bekerja mencari nafkah, tidak mencari ilmu, tidak berdakwah, tidak berjihad dan tidak menolong fakir miskin.
Alasan mereka bahwa semua itu adalah aktifitas keduniaan semata. Padahal Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan sosial bahkan mewajibkan bekerja karena kerja mencari nafkah adalah ibadah.
Padahal Allah SWT telah berfirman:
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS Al-Jumuah: 10)
Islam mencakup semua aspek kehidupan baik pribadi, keluarga, masyarakat, ekonomi, politik, perang bahkan mengatur negara. Islam adalah agama sekaligus negara. Rasulullah SAW adalah seorang Nabi, pemimpin masyarakat, ahli ekonomi, ahli tata negara, panglima perang, sekaligus juga seorang pendidik dan ayah teladan bagi anak-anaknya. Beliau bekerja mencari nafkah, melakukan aktifitas sosial dan transaksi perdagangan bahkan memimpin penyerbuan dalam perang.
Pandangan seperti sebenarnya tidak lain adalah beriman pada sebagian ayat dan mengingkari ayat yang lain. Al-Quran sendiri mengatur seluruh sisi kehidupan manusia.
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.(QS AL-Baqarah: 85)
c. Dalam Masalah Tata Cara
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, ada sebagain di antara mereka yang melakukan tari-tarian dan gerakan badan. Kadangpada titik tertentu seperti orang kesurupan, melafalkan kalimat-kalimat aneh yang tidak diajarkan oleh Nabi, bahkan terkadang meminum khamar dan cara-cara yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Dengan cara itu mereka beranggapan telah sampai dan bertemu dengan Allah.
Atau ada yang melakukan jenis ibadah tertentu seperti puasa wishal (bersambung) yang sebenarnya telah diharamkan. Sebagian lain ada yang mengharamkan jenis makanan tertentu yang Allah halalkan dan sebaliknya. Sikap seperti ini sebenarnya kurang tepat, sebab firman Allah SWT sangat jelas:
Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam. (QS. Al-Ankabut - 28)
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al-An`am: 108)
Sejarah Tasawuf dalam Islam
Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu. Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.
Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal. Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka, sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan isteri dan kewajibannya.
Lalu Nabi saw. menegurnya dengan sabdanya, "Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi isteri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya." Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada isteri-isteri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para isteri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya." Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan, "Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau, "Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku." Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini. Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam). Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja. Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktik yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktikkan teori di luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka. Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul, "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin."
Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam. Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni.
Di samping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
Kesimpulan:
Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.
Tidak semua tasawwuf bid`ah dan sesat, selama tasawwuf itu berpegang pada dasar syariat yang benar.
Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
MEMAHAMI TAKDIR DAN KEHENDAK ALLAH
Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah memang pernah untuk sesaat mengharu biru dunia Islam, setidaknya untuk kurun waktu tertentu di wilayah tertentu. Namun alhamdulillah keduanya sudah mati karena tidak ada pengikutnya.
Kematian kedua ajaran ekstrim dan fatalis itu tidak lain karena memang tidak sesuai dengan nurani dan logika berpikir yang sehat. Selain tentunya memang tidak sesuai dengan apa yang Allah SWT ajarakan di dalam kitab suci-Nya.
Paham Jabariyah
Paham Jabariyah yang sesat itu berpandangan bahwa peran usaha dan upaaya manusia tidak ada artinya dan percuma dilakukan. Sebaliknya, segala sesuatu sangat tergantung satu-satunya kepada kehendak Allah SWT.
Hanya kehendak Allah saja yang menentukan, menetapkan dan memutuskan segala nasib hingga amal perbuatan manusia. Hanya Qudrat dan Iradat Allah yang berlaku. Sedangkan usaha dan upaya manusia tidak ada artinya sama sekali.
Paham jabariyah muncul karena terpengaruh dengan pemikiran dari aliran Determinismus dalam Theologis Islam. Paham ini mula-mula timbul di Khurasan (Persia) dengan pemimpinnya yang pertama bernama Jaham bin Shafwan. Sehingga aliran sesat ini disebut juga Madzhab Jahamiyah. Jaham bin Shafwan mendirikan aliran Jabariyah ini belajar dari seorang Yahudi yang masuk Islam bernama Thalud bin A’sam.
Prinsip kesesatannya adalah bahwa manusia diibaratkan sebagai kapas yang berterbangan mengikuti tiupan angin. Manusia tidak mempunyai kemampuan memilih jalan hidupnya. Perbuatan baik atau jahat yang dilakukan manusia sudah ditetapkan Allah.
Untuk lebih keren, paham sesat Jabariyah suka pakai ayat Quran yang dipahami secara aneh dan keliru, sekedar untuk melegitimasi pendiriannya yang menyimpang. Misalnya ayat berikut ini:
Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Ash-Shaffat: 96)
Qadariyah: Kontra Jabariyah
Dalam menentang paham Jabariyah, paham sesat Qadariyah justru secara ekstrim menyangkal adanya kekuasaan Allah. Manusia sebagai makhluk Allah secara mutlak dapat menentukan sendiri segala sesuatu dalam hidupnya.
Dalam pandangan aqidah sesat ini, Allah SWT sudah tidak berkuasa lagi setelah mencipta. Tugas Allah SWT hanya mencipta, setelah itu Allah sudah tidak punya kuasa apa-apa lagi kepada makhluk yang diciptakan-Nya iut. Kekuasan kemudian ada di tangan manusia. Manusia lah yang kemudian mengatur dirinya dan alam semesta melalui hukum sebab akibat.
Jelas sesat sekali paham ini dan benar-benar telah jauh menyimpang dari arah aqidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka sepakat para ulama akidah untuk menyebutkan bahwa akidah Qadariyah ini adalah akidah yang sesat dan menyimpang serta merupakan bid'ah yang sesat.
Tapi biar kelihatan benar, terpaksa para pemuka aliran ini menggunakan ayat Quran yang ditafsir-tafsrikan sekenanya sebagai dalil. Mumpung banyak umat Islam yang buta huruf Arab dan tidak mengerti tafsir dengan benar. Dan kenyataannya, kebodohan umat Islam itu memang sangat efektif untuk membawa mereka ke arah pengaburan akidah.
Biasanya yang paling sering dipakai dan jadi korbannya adalah ayat berikut ini:
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’ad: 11)
Paham ini tidak lain hanyalah sebuah Indeterminismus Theologis Islam. Tokoh yang sering disebut-sebut sebagai pelopornya antara lain Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan al-Ja’du bin Dirham, sekitar tahun 70 Hijriah atau 689 Masehi.
Jabariyah VS Qadariyah
Karena memang sangat bertentangan, terkadang terjadi hal yang lucu. Kedua aliran sesat itu kemudian saling bertikai dengan cara yang memalukan.
Tidak jarang mereka saling mencaci dan memaki, bahkan sampai ke tingkat pertumpahan darah. Repot juga ya, sudah sesat, eh masih saling menuduh lawannya sesat.
Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, bilamana masing-masing pihak mengetahui dan menyadari bahwa paham-paham tadi sebenarnya bersumber dari luar ajaran Islam.
Dua paham fatalis itu sesungguhnya lahir dari kerancuan berpikir pada filsouf jadul di masa Yunani Kuno. Pada masa penerjemahan besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan dari Eropa ke dalam bahasa Arab, rupanya ada orang-orang yang masih lemah iman ikut-ikutan mempelajari kerancuan filsafat Eropa itu.
Adalah Thalud bin A’sam, seorang yang asalnya beragama yahudi, lantas masuk Islam, yang sering disebut-sebut paling bertanggug-jawab dalam masalah penyebaran aliran ekstrim dan pemikiran fatalis ini.
Lalu Bagaimana Kita Memahami Takdir Allah?
Mungkin kita jadi bertanya, kalau dua kutub ekstrim itu sesat, yaitu Jabariyah dan Qadariyah, lalu bagaimana kita memahami takdir, kehendak atau ketentuan Allah itu?
Jawabnya sederhana saja dan kita tidak perlu jauh-jauh belajar kepada filsouf Yunani yang mereka sendiri saja rancu ketika menjawabnya.
Sesungguhnya taqdir atau kehendak Allah itu ada tiga lapis yang merupakan satu kesatuan.
1. Kehendak (Iradah) Kauniyah
Kehendak Allah ini disebut iradah (kehendak) kauniyah, yaitu berlakunya kehendak Allah itu sebagai ketentuan di alam semesta.
Contohnya adalah hukum kausalitas dalam segala sesuatu. Misalnya dalam hukum fisika yang ada di alam semesta ini. Ada grafitasi, ada berat, ada panas, dingin, dan seterusnya. Semua itu adalah iradah atau ketentuan Allah SWT. Dan semua merupakan sunnatullah yang berjalan.
Di dalam kehidupan ini juga ada hukum kausalitas yang berlaku. Mau pandai, ya harus belajar. Mau kaya dan banyak uang, ya tentu saja harus harus bekerja keras, efisien, berhemat, menabung dan lainnnya.
Dalam sunnatullah ini, segala sesuatu berjalan semata memang dengan hukum sebab akibat dan tidak ada kaitannya dengan apakah sesorang itu muslim atau tidak muslim.
Jika giat belajar akan menjadi pandai, jika rajin bekerja akan berhemat akan menjadi kaya. Semua ini merupakan bagian dari kehendak Allah yang berlaku umum.
2. Kehendak (Iradah) Syar'iyah
Selanjutnya, pada level berikutnya ada iradah (kehendak) syar'iyah. Di mana Allah secara khusus, Allah berkehendak agar umat manusia mengikuti ajaran yang telah diturunkan-Nya lewat para nabi dan kitab suci.
Iradah syar'iyah ini memang perintah, namun sifatnya khusus hanya kepada manusia saja. Sedangkan hewan, tumbuhan dan alam semesta yang lainnya, tidak ikutan dalam kehendak yang satu ini.
Bahkan buat manusia (dan jin), kehendak ini sifatnya tidak mengikat. Sifatnya pilihan, kalau mau silahkan ikuti kehendak (perintah Allah), tentu dengan segala resikonya. Dan kalau tidak mau, tidak lantas dibikin mati langsung atau disiksa. Silahkan saja tidak menjalankan kehendak Allah, tapi resikonya ada.
Cuma resikonya tidak langsung kelihatan, tidak seperti iradah kauniyah yang langsung bisa dirasakan. Orang betawi bilang, "Dosa tidak bejendol." Setidaknya orang atheis dan kafir memang suka memanfaatkan kesempatan bodoh ini.
Manusia diberi kebebasan untuk memilih pilihan yang mana. Untuk itu manusia sudah diberi fasilitas yang tidak pernah Allah SWT berikan kepada makhluk lainnya. Fasilitas itu amat berharga dan teramat unik. Belum pernah Allah berikan kepada makhuk lain, sehingga makhluk lain itu iri hati kepada manusia.
Fasilitas itu adalah akal dan hati. Jika ada manusia dengan akal dan hatinya menjatuhkan pilihan untuk menjadi pembangkang, begundal atau sekalian jadi orang kafir, ya resikonya harus ditanggung sendiri.
Pasti akal dan hatinya pasti bisa memberikan pertimbangan yang matang. Cuma sayangnya, seringkali akal dan kalbunya itu malah tidak dipakai. Seperti yang Allah SWT ceritakan di dalam Quran:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. Al-A'raf: 179)
Yang lebih parah lagi adalah ketika hati mereka sudah rusak atau sakit, sehingga tidak bisa berfungsi dengan benar. Ini juga diceritakan Allah SWT di dalam Quran:
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(QS. Al-Baqarah: 10)
3. Kehendak (Iradah) Khashshah
Kehendak yang terakhir ini sifatnya sangat khusus, dan memang kita mengenal adanya perlakuan kehendak yang teramat khusus dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, tapi hanya terbatas sekali.
Tentunya tidak terlalu banyak berlaku pada makhluk lainnya. Hanya kepada objek-objek tertentu saja kehendak itu dijalankan.
Misalnya, ada orang yang atas kehendak Allah, pada akhirnya mati husnul khatimah. Padahal sepanjang hidupnya bergelimang dengan dosa dan kesesatan.
Tentunya kita tidak bisa bilang begini, "Tuh kan, biar pun banyak dosa, tapi kan akhirnya masuk surga juga. Makanya sekarang ini bikin aja dosa-dosa sebanyak-banyaknya, toh akhirnya kan bakalan masuk surga juga."
Kalau memang begitu logikanya, lalu asyik bikin dosa terus mati dan masuk neraka, jangan protes. "Kok saya masuk neraka, ya Allah, bukankah itu orang lain bikin dosa akhirnya masuk surga?"
Tentu saja protes itu tidak berlaku. Sebab kehendak Allah SWT untuk memberi hidayah kepada orang itu bisa tobat tidak semata diberikan kepada siapa saja.
Biasanya para bencong yang sesat dan menyesatkan sering kali pakai dalil ini. "Biarin aja aku begini (jadi bencong), toh ini kehendak 'yang di atas' juga." Tidak jelas maksudnya, tapi barangkali dia mengangigap dirinya jadi bencong itu karena kehendak Allah, jadi mana mungkin Allah akan menyiksa dirinya?
Alangkah naif dan aneh pemikirannya. Dengar, bahkan sekedar menyebut nama Tuhan atau Allah pun tidak mau, najis barangkali dalam pandangannya. Maka dia sebut itu adala kehendak 'yang di atas'. Siapa yang dimaksud dengan 'yang di atas"? Monyet lagi nangkring atau tukang betulin genteng?
Kita sebenarnya merasa kasihan sekali kepada para bencong itu, sudah dosa, sesat pula akidahnya, mati neraka lagi. Eh, bangga pula dengan tindakannya. Na'udzubillahi min zhalik
Buat khalayak umum, yang berlaku adalah hukum pada level dasar. Di mana semua orang harus kerja keras untuk mendapatkan surga, tidak bisa enak-enakan menumpuk dosa lalu berpikir akan ada keajabian, lalu masuk surga.
Fasilitas seperti hidayah dan pengampunan ini tidak buat orang banyak, hanya berlaku buat kasus tertentu saja.
Ibarat seorang Presiden yang punya hak grasi dan pengampunan. Allah yang Maha Pencipta Alam Semesta mempunyai hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat. Jika kepada Presiden diajukan yang namanya grasi, maka seorang hamba Allah untuk menghadirkan hak prerogatif Allah yaitu dengan melalui do’a yang diikuti dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Jadi taqdir Allah itu didahului dengan usaha sungguh-sungguh dibarengi dengan do’a yang bersungguh-sungguh pula. Inilah pemahaman taqdir dalam Islam secara tepat dan benar.
Komentar