Senin, 22 Oktober 2012

Potret Sholat Tahajud Generasi Rasulullah SAW


Potret Sholat Tahajud Generasi Rasulullah
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah."(QS 9:100).

"Janganlah kalian mencaci sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya saja salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu belum bisa menyamai nilai satu atah setengah mud dari infak yang mereka keluarkan."
HR. Bukhori (3673) dan Muslim (2540).

"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka dan mereka lagi. " HR. Bukhori (3650) dan Muslim (2535).

Potret Sholat Tahajud Abu Bakr r.a
Diriwayatkan dari Qotadah r.a, bahwa ia berkata, "Pada suatu malam, Nabi s.a.w keluar rumah (menuju masjid), dan ternyata beliau mendapati Abu Bakr r.a sedang mengerjakan sholat dengan merendahkan suaranya. Selanjutnya beliau melewati Umar r.a yang juga sedang mengerjakan sholat, namun dengan suara keras. Ketika keduanya berkumpul di sisi Nabi s.a.w, maka beliau bertanya, ' Wahai Abu Bakr, aku tadi melewati dirimu, sedang engkau mengerjakan sholat dengan melirihkan suaramu.' (Mengapa begitu?) Abu Bakr menjawab, ' Ya Rosulullah, sungguh aku telah cukup memperdengarkan munajatku kepada Allah Swt.

Potret Sholat Tahajud Robi' bin Khoitsam
Ia adalah seorang yang selalu khusyuk, dan sangat menundukkan pandangan, sehingga ada sebagian orang yang mengira bahwa ia buta. Ketika budak wanita milik Ibnu Mas'ud melihatnya, maka ia berkata, "Temanmu yang buta itu datang." Ibnu Mas'ud pun tertawa karenanya. - Shifatush Shofwah (III/37).

Setiap kali melihat orang ini, Ibnu Mas'ud berkata (dengan mengutip ayat Al-Qur'an), "Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang patuh kepada Allah. Demi Allah, seandainya Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasalam melihatmu, tentu beliau akan mencintaimu." - Hilyatun Aulia (II/106).

Potret Sholat Tahajud Abu Sulaiman Ad-Daroni
Jika malam tiba, maka Abu Sulaiman Ad-Daroni berdiri (mengerjakan sholat) di mihrobnya. Jika ia tak kuasa menahan kantuk, maka ia segera berkata, "Wahai jiwa, ingatlah kematian dan segala yang terjadi sesudahnya!" Akhirnya, ia pun terus mengerjakan sholat malam hingga fajar. Mukhtashor Rounaqil Majalis, hal 67.

Mughiroh bin Habib berkata, "Aku pernah mengawasi Abdul Wahid bin Zaid selama sebulan. Aku lihat beliau tidak tidur malam sedikit pun. Setiap satu saat berlalu dari waktu malam, ia berkata kepada penduduk kampung, "Wahai penduduk, bangunlah! Dunia ini tidaklah tempat untuk tidur, karena sebentar lagi kalian akan segera dimakan oleh cacing. Tanbihul Mughtarrin, hal.97

Tags: ayat tentang tahajud, keajaiban shalat tahajud, doa tahajud, tata cara shalat tahajud, tahajud yang benar, keutamaan tahajud, hikmah tahajud, tahajud dan kesehatan, keajaiban sholat tahajud, tahajud cinta.

Minggu, 21 Oktober 2012

Penjelasan QS Ad Dhuha

Pokok pembicaraan surah Ad Dhuha ini, pengungkapannya dan pemandangan-pemandangannya,  bayangan-bayangan dan nada-nada pernyataannya merupakan suatu sentuhan kasih mesra, suatu hembusan rasa sayang, suatu belaian tangan yang belas kasihan yang menghilangkan sakit derita, suatu tiupan bayu yang membawa kerehatan, kerelaan dan harapan di samping mencurahkan rasa ketenteraman dan keyakinan. Semua
Semuanya itu merupakan tiupan bayu rahmat, bisikan kasih, perdampingan yang mesra, timangan-timangan kepada jiwa yang lesu, fikiran yang gelabah dan hati yang menderita. Berbagai-bagai riwayat telah memberikan bahawa penurunan wahyu telah putus seketika kepada Rasulullah s.a.w. Malaikat Jibril telah terlambat membawa wahyu Allah kepadanya kerana itu kaum Musyrikin melancarkan kempen bahawa Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya! Lalu Allah turunkan surah ini.

Penerimaan wahyu, pertemuan dengan Jibril dan perhubungan dengan Allah, merupakan bekalan-bekalan kepada Rasulullah dalam mengharungi jalan da’wah yang sukar, merupakan air minum di panas yang terik dalam menghadapi keingkaran. Dan merupakan angin sepoi bahasa dalam cuaca panas menghadapi pendustaan kaum Musyrikin. Dengan inilah Rasulullah s.a.w. dapat hidup dalam panas terik yang membakar yang dialami beliau ketika menghadapi manusia-manusia yang liar, penderhaka dan degil, dan ketika menghadapi tipudaya, gangguan dan penindasan yang ditimpakan ke atas da’wah, keimanan dan hidayat oleh pelampau-pelampau kaum Musyrikin.

Apabila wahyu terputus seketika, maka putuslah bekalannya, keringlah matairnya dan sepilah hatinya dari kekasih, dan tinggallah beliau seorang diri di tengah panas terik tanpa bekalan, tanpa air dan tanpa bau kekasih tercinta yang biasa dini’matinya. Dan ini menjadikan Rasulullah s.a.w. begitu sengsara menanggungnya dari segala sudut.

Ketika itulah turunnya surah ad Dhuha ini membawa kasih mesra, rahmat,pe rdampingan, kerelaan, ketenteraman dan keyakinan:
( مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا َقَلى ( 3
3. “Tiada sekali-kali Tuhanmu meninggalkanmu dan tiada pula Ia murkakanmu.”
( وََللْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ اْلُأوَلى ( 4
4. “Dan sesungguhnya Akhirat itu lebih baik untukmu dari dunia.”
( وََلسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ َفتَرْضَى ( 5
5. “Dan sesungguhnya Allah akan memberi (limpah kurnia) kepadamu dan engkau tetap berpuas hati.”
Yakni Tuhanmu tidak pernah sekalipun meninggalmu sebelum ini dan tidak pernah sekalipun membiarkanmu dari limpah rahmat, naungan dan perlindungannya.
( َأَلمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا َفآوَى ( 6
6. “Bukankah dahulunya engkau seorang anak yatim piatu, lalu Allah memberi perlindungan kepadamu?”
( وَوَجَدَكَ ضَالًّا َفهَدَى ( 7
7. “Dan bukankah dahulunya Allah dapatimu dalam keadaan tiada pedoman, lalu Ia memberi hidayat kepadamu?”
( وَوَجَدَكَ عَائًِلا َفَأ ْ غنَى ( 8
8. “Dan bukankah dahulunya Allah dapatimu miskin, lalu Ia memberi kekayaan kepadamu?”
Tidakkah ini benar-benar berlaku dalam kehidupanmu? Tidakkah engkau merasa kesannya dalam hatimu dan dalam realiti kehidupanmu?
Tidak, tidak.
( مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا َقَلى ( 3
3. “Tiada sekali-kali Tuhanmu meninggalkanmu, dan tiada pula Ia murkakanmu.” Yakni rahmat kebajikan-Nya tidak pernah putus darimu dan tidak akan putus buat selama-lamanya.
( وََللْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ اْلُأوَلى ( 4
4. “Dan sesungguhnya Akhirat itu lebih baik untukmu dari dunia.”Ya kni di sana terdapat balasan-balasan untukmu yang lebih besar dan lebih sempurna:
( وََلسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ َفتَرْضَى ( 5
5. “Dan sesungguhnya Allah akan memberi (limpah kurnia-Nya) kepadamu dan engkau tetap berpuas hati”

Turut bersama tiupan bayu hakikat ini ialah tiupan bayu yang lembut yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan ayat dan nada-nada pernyataannya, juga dalam frem alam yang diletakkan hakikat ini yaitu ungkapan:
( وَالضُّحَى ( 1
1. “Demi waktu pagi.”
( وَاللَّيْلِ إَِذا سَجَى ( 2
2. “Dan demi waktu malam ketika sunyi sepi”
Ungkapan ini melahirkan suasana mesra yang lemah-lembut dan kasih yang tenang di samping melahirkan kerelaan yang syumul dan rindu dendam yang halus:
( مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا َقَلى ( 3
3. “Tiada sekali-kali Tuhanmu meninggalkanmu dan tiada pula Ia murkakanmu.”
( وََللْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ اْلُأوَلى ( 4
4. “Dan sesungguhnya Akhirat itu lebih baik untukmu dari dunia.”
( وََلسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ َفتَرْضَى ( 5
5. “Dan sesungguhnya Allah akan memberi (limpah kurnia) kepadamu dan engkau tetap berpuas hati.”
( َأَلمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا َفآوَى ( 6
6. “Bukankah dahulunya engkau seorang anak yatim piatu, lain Allah memberi perlindungan kepadamu?”
( وَوَجَدَكَ ضَالًّا َفهَدَى ( 7
7. “Dan bukankah dahulunya Allah dapatimu dalam keadaan tiada pedoman, lalu Ia memberi hidayat kepadamu?”
( وَوَجَدَكَ عَائًِلا َفَأ ْ غنَى ( 8
8. “Dan bukankah dahulunya Allah dapatimu miskin, lalu Ia memberi kekayaan kepadamu?”

Seluruh perasaan kasih mesra, kerelaan dan kerinduan itu adalah mengalir dari suasana ungkapan yang seni, kata-kata yang lembut, dan irama indah yang keluar dari ungkapan-ungkapan itu iaitu irama yang bergerak dan melangkah tenang dan melahirkan gema yang halus dan sayu. Apabila Allah hendak mengadakan satu frem bagi mengungkapkan perasaan kasih sayang, rahmat yang tenang, kerelaan yang menyeluruh dan kerinduan yang halus ini maka Dia telah memilih waktu pagi yang terang cemerlang dan malam yang sunyi itu sebagai frem yang amat sesuai dengannya. Itulah dua Surah waktu yang paling jernih hening dan bening dari waktu-waktu siang dan malam.

Itulah dua waktu yang merangsangkan manusia melepaskan menungan-menungan dan pengamatan-pengamatannya, merangsang jiwanya berhubung dengan alam buana dan dengan Allah Penciptanya dan mengarahkannya supaya bertawajjuh kepada Allah dengan tasbih-tasbih dan dengan melahirkan perasaan yang gembira dan jernih. Allah telah menggambarkan dua waktu itu dengan kata-kata yang sesuai.

( وَاللَّيْلِ إَِذا سَجَى ( 2
2. “Dan demi waktu malam ketika sunyi sepi.”
Yakni malam yang dimaksudkan di sini bukannya seluruh waktu malam yang sepi dan gelap-gelita, malah yang dimaksudkan ialah waktu malam yang tenang, jernih, hening, diselubungi tompokan-tompokan awan
yang tipis yang merangsangkan perasaan sedih, bimbang dan terharu yang halus dan renungan yang tenang seperti suasana hidup yatim dan menumpang orang lain. Kemudian ia menyerlah tenang bersama waktu pagi
yang hening. Demikianlah warna-warna gambaran itu sesuai dengan warna-warna fremnya. Dengan ini pengungkapan ayat-ayat ini menjadi begitu serasi. Gubahan ungkapan yang cukup indah ini membuktikan bahawa al-Qur’an itu dan gubahan Allah yang indah, tidak dapat ditandingi dan ditiru

Mengapa minoritas penghuni Syurga adalah WANITA?

Mengapa Minoritas Penghuni Surga adalah Kaum Wanita?

Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)
Apatah lagi bila pendamping hidup itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.
Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.
Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.
Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan Mu’adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)
Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya.
Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.
Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):
أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ, لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah. Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengisahkan:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ
Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)
Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.” Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?“. “Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)
Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:
إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ
Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)
Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya. Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya. Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)
Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)
Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).
Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka. Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya:
أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ
Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)
Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya. Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ, فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372) . Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Judul asli : Kekufuran Istri Berbuah

Chapter 1: The Hidden Secrets of Trade

I. Introduction In the bustling world of global commerce, where goods and services flow across borders with the speed of light, there exists...